HIV/AIDS Memprihatinkan
HIV (Human Immuno Deficiency Virus ), virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia, merupakan virus yang paling popular di dunia saat ini yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome ). Sudah lebih 20 tahun berbagai bangsa di dunia berupaya untuk menanggulangi HIV/AIDS, tetapi penyakit ini terus berkembang dengan peningkatan yang cepat dan mengkhawatirkan. Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1981 di California, Amerika Serikat, HIV/AIDS berkembang cepat ke seluruh dunia dengan modus penularan utama melalui hubungan seksual, jarum suntik, dan transfusi darah (Beni,2006).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan lembaga khusus untuk menanggulangi AIDS dari PBB (UNAIDS), melaporkan estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh dunia pada tahun 1990 adalah 7,8 juta dan pada akhir Desember 2007 mencapai 33,2 juta, dimana 90% berasal dari negara berkembang. Estimasi jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS mencapai 2,1 juta orang, dimana 76% terjadi di wilayah Sub Sahara Afrika yang merupakan penyebab kematian utama di wilayah tersebut. Sedangkan jumlah infeksi baru HIV/AIDS adalah 2,5 juta dan 68% terjadi di Sub Sahara Afrika.(WHO&UNAIDS, 2007).
Benua Asia diindikasikan memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia, sedangkan Afrika tengah mengalami perluasan dampak buruk HIV/AIDS di berbagai sektor pembangunan ( Beni, 2004). Prevalensi HIV tertinggi terdapat di wilayah Asia Tenggara dengan tren epidemik yang bervariasi di setiap negara. Tren epidemik di Kamboja, Myanmar dan Thailand menunjukkan penurunan, sedangkan di Indonesia dan Vietnam malah semakin meningkat. Secara keseluruhan estimasi jumlah orang yang mengidap HIV/ AIDS pada akhir 2007 di Asia adalah 4,9 juta orang, termasuk 440.000 orang yang merupakan kasus baru dan mencapai 300.000 orang meninggal karena AIDS ( WHO&UNAIDS, 2007).
Perkembangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia termasuk dalam kelompok tercepat di Asia. Bahkan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menyatakan bahwa fase epidemik HIV/AIDS di Indonesia telah berubah dari “ low” menjadi “concentrated” (Usman&Apriyanthi, 2005).
Kasus AIDS di Indonesia pertama kali diidentifikasi di Bali pada tanggal 5 April 1987 pada seorang wisatawan Belanda, Edward Hop, 44 tahun, yang meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali (Beni, 2006). Sejak saat itu , perlahan tapi pasti , jumlah orang terinfeksi HIV dan jumlah kasus AIDS terus meningkat. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) melaporkan pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel. Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5%. Jumlah kasus AIDS pada tahun 2002 menjadi 1016 kasus dan HIV positif 2552 kasus. Jumlah ini jauh masih sangat rendah bila dibandingkan dengan estimasi Departemen Kesehatan bahwa pada tahun 2002 terdapat 90.000–120.000 kasus. Peningkatan yang cukup tajam disebabkan penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril di sub-populasi pengguna napza suntik (penasun) meningkat pesat sementara penularan melalui hubungan seksual berisiko tetap berlangsung (KPAN, 2008).
Sejak awal abad ke 21 peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan.Pada akhir tahun 2003 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan bertambah 355 kasus sehingga berjumlah 1371 kasus, sementara jumlah kasus HIV positif mejadi 2720 kasus. Pada akhir tahun 2003, 25 provinsi telah melaporkan adanya kasus AIDS. Penularan di sub-populasi penasun meningkat menjadi 26,26%. Peningkatan jumlah kasus AIDS terus terjadi, pada akhir Desember 2004 berjumlah 2682 kasus, pada akhir Desember 2005 naik hampir dua kali lipat menjadi 5321 kasus dan pada akhir September 2006 sudah menjadi 6871 kasus dan dilaporkan oleh 32 dari 33 provinsi. Sementara estimasi tahun 2006, jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan 169.000-216.000 orang (Ditjen PPM & PL, 2006).
Peningkatan prevalensi HIV positif terjadi di kota-kota besar, sementara peningkatan prevalensi di kalangan penjaja seks terjadi baik di kota maupun di kota kecil bahkan di pedesaan terutama di provinsi Papua dan Irian Jaya Barat. Di kedua provinsi terakhir ini epidemi sudah cenderung memasuki populasi umum (generalized epidemic ) (Harian Terbit, 11 Februari 2008).
Sampai akhir tahun 2007, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Dit.Jen PPM&PL), Departemen Kesehatan RI melaporkan secara kumulatif jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS adalah 5904 HIV dan 10384 AIDS yang tersebar di 33 provinsi. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional hingga September 2007 sebesar 4,57 per 100.000 penduduk. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal sebesar 22,02% (Dit.Jen PPM&PL, 2007).
Angka-angka HIV/AIDS yang dilaporkan adalah angka estimasi/perkiraan, bukan angka sesungguhnya, mengingat bahwa jumlah sesungguhnya penderita HIV/AIDS di Indonesia ibarat gunung es (iceberg phenomenon), sebab belum semua kasus HIV/AIDS terdeteksi dengan baik ( Beni, 2004).
Sujudi (2002), mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan prevalensi kasus HIV/AIDS terus melonjak di Indoneia, yaitu karena kemiskinan, tingginya mobilitas penduduk, suburnya industri seks, masih rendahnya pengetahuan HIV/AIDS di kalangan kelompok beresiko tinggi, terbatasnya sarana medis, kurangnya komitmen pemerintah dalam aplikasi penanggulangan HIV/AIDS padahal dukungan kebijakan sudah baik, perilaku tidak sehat, kurangnya kesadaran dan tanggung jawab pria yang berperilaku risiko tinggi, penggunaan bersama jarum suntik di kalangan pecandu narkotika, kurangnya akses informasi dan pelayanan kesehatan, serta lemahnya aturan dan penegakan hukum ( Kompas, 22 April 2002).
Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kajiannya tentang kecenderungan epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang (Aditya, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor pada tahun 2005 memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak ditingkatkan maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS di Indonesia secara umum dan di Papua mencapai 14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut akan menjadi 11% dan 29% (Beni, 2005).
Media penyebaran virus HIV cukup beragam antara lain hubungan seksual dengan pengidap HIV, transfusi darah, transplantasi organ tubuh, alat suntik, jarum untuk membuat tatto atau tindikan, dan penularan secara perinatal (Prasetyo, 2008). Berdasarkan data Family Health International (FHI), persentase mereka yang memiliki risiko tinggi terjangkit HIV/AIDS di Indonesia antara lain, pengguna narkoba (34%), PSK (7%), pelanggan PSK (31%), waria (1%), gay (8%), partner group berisiko tinggi (12%), dan lain-lain (7%) dan terjadinya peningkatan prevalensi HIV positif pada sub-populasi berperilaku berisiko, dikalangan penjaja seks tertinggi 22,8% dan di kalangan penasun 48% dan pada penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 68% (Martono.N, 2006). Sedangkan menurut data Dit.Jen PPM&PL, Depkes RI (2007) melaporkan jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor risiko adalah heteroseksual 4361 kasus, homo-biseksual 416 kasus, IDU (Injection Drug User) 5140 kasus, transfusi darah 10 kasus, perinatal 166 kasus dan tak diketahui 291 kasus. Secara persentase cara penularan utama kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui IDU (Injection Drug User) 49,5%, Heteroseksual 42%, dan Homoseksual 4%.
M enurut survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan tahun 2003 jumlah pekerja seks komersial di tanah air mencapai 190.000-270.000 orang dengan 7-10 juta pelanggan dan diperkirakan beresiko menularkan penyakit infeksi menular seksual kepada 12 juta hingga 19 juta penduduk lainnya (Arjoso.S, dalam Media Indonesia,20 Juli 2006). Lebih dari 50% lelaki pelanggan WPS ternyata mempunyai pasangan tetap atau berstatus kawin (ASA-INSIST, 2003).