Imunisasi dan Faktor Yang Mempengaruhinya
2.1. Imunisasi
2.1.1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 1994)
Dalam ilmu kedokteran, imunitas adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibody spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). (Musa, 1985)
Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.
2.1.2. Program Imunisasi
Di Indonesia, program imunisasi telah dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakit cacar di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi dinyatakan Negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenal kan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum. Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI). (Depkes RI, 2000)
Pada tahun 1984, cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4%. Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989. Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin . Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur. (Abednego, 1997)
Dengan status program demikian, pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990. Dengan penerapan strategi mobilisasi social dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990. Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama. (Depkes RI, 2000)
2.2. Pentingnya Imunisasi dan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif dan efisien dalam mencegah penyakit dan merupakan bagian kedokteran preventif yang mendapatkan prioritas. Sampai saat ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak yang dapat menyebabkan kematian dan cacat, walaupun sebagian anak dapat bertahan dan menjadi kebal. Ketujuh penyakit tersebut dimasukkan pada program imunisasi yaitu penyakit tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak dan hepatitis-B.
2.2.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Penyakit TBC ini dapat menyerang semua golongan umur dan diperkirakan terdapat 8 juta penduduk dunia diserang TB denga kematian 3 juta orang per tahun. Di negara-negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang. (Depkes RI, 1992).
2.2.2. Difteri
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae merangsang saluran pernafasan terutama terjadi pada balita. Penyakit difteri mempunyai kasus kefatalan yang tinggi. Pada penduduk yang belum divaksinasi ternyata anak yang berumur 1-5 tahun paling banyak diserang karena kekebalan (antibodi) yang diperolah dari ibunya hanya berumur satu tahun.
2.2.3. Pertusis
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Bordotella pertusis pada saluran pernafasan. Penyakit ini merupakan penyakit yang cukup serius pada bayi usia dini dan tidak jarang menimbulkan kamatian. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat penularannya. Penyakit ini dapat merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan terutama di daerah yang padat penduduk.
2.2.4. Tetanus
Penyakit tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman bakteri Clostridium tetani. Kejadian tetanus jarang dijumpai di negara yang telah berkembang tetapi masih banyak terdapat di negara yang sedang berkembang, terutama dengan masih seringnya kejadian tetanus pada bayi baru lahir (tetanus neonatorum). Penyakit terjadi karena kuman Clostridium tetani memasuki tubuh bayi lahir melalui tali pusat yang kurang terawat. Kejadian seperti ini sering kali ditemukan pada persalinan yang dilakukan oleh dukun kampong akibat memotong tali pusat memakai pisau atau sebilah bambu yang tidak steril. Tali pusat mungkin pula dirawat dengan berbagai ramuan, abu, daun-daunan dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mencegah kejadian tetanus neonatorum ini adalah dengan pemberian imunisasi.
2.2.5. Poliomielitis
Polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus polio. Berdasarkan hasil surveilans AFP (Acute Flaccide Paralysis) dan pemeriksaan laboratorium, penyakit ini sejak tahun 1995 tidak ditemukan di Indonesia. Namun kasus AFP ini dalam beberapa tahun terkahir kembali ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.
2.2.6. Campak
Penyakit campak (Measles) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus campak, dan termasuk penyakit akut dan sangat menular, menyerang hampir semua anak kecil. Penyebabnya virus dan menular melalui saluran pernafasan yang keluar saat penderita bernafas, batuk dan bersin (droplet). Penyakit ini pada umumnya sangat dikenal oleh masyarakat terutama para ibu rumah tangga. Dibeberapa daerah penyakit ini dikaitkan dengan nasib yang harus dialamai oleh semua anak, sedangkan di daerah lain dikaitkan dengan pertumbuhan anak.
2.2.7. Hepatitis B
Penyakit hepatitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Penyakit ini masih merupakan satu masalah kesehatan di Indonesia karena prevalensinya cukup tinggi. Prioritas pencegahan terhadap penyakit ini yaitu melalui pemberian imunisasi hepatitis pada bayi dan anak-anak. Hal ini dimaksudkan agar mereka terlindungi dari penularan hepatitis B sedini mungkin dalam hidupnya. Dengan demikian integrasi imunisasi Hepatitis B ke dalam imunisasi dasar pada kelompok bayi dan anak-anak merupakan langkah yang sangat diperlukan.
2.3. Tujuan Pelaksanaan Imunisasi
Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit yang dapat menyerang anak-anak. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian imuniasi sedini mungkin kepada bayi dan anak-anak.
Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita/ anak-anak pra sekolah.
Untuk tercapainya program tersebut perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi. Tujuan pemantauan menurut Azwar (2003) adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja, mengetahui permasahan yang ada. Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program.
Hal-hal yang perlu dilakukan pemantauan (dimonitor) sebagaimana disebutkan oleh Sarwono (1998) adalah sebagai berikut :
Pemantauan ringan adalah memantau hal-hal sebagai berikut apakah pelaksanaan pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin ckup tersedia, pengecekan lemari es normal, hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan sterl, apakah diantara 6 penyakit yang dapat discegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.
Cara memantau cakupan imunisasi dapat dilakukan melalui cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-masing desa. Untuk mengetahui keberhasilan program dapat dengan melihat seperti, bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 75-100% dari target, berarti program sangat berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 50-75% dari target, berarti prgram cukup berhasil dan bila garis pencapaian dalam 1 tahun dibawah 50% dari target berabrti program belum berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat dibawah 25% dari target berarti program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten. Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu mempertimbangkan pula memonotoring evaluasi pemakaian vaksin. (Notoatmodjo, 2003)
2.4. Jadwal Pemberian Imunisasi
2.4.1. Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C. (Depkes RI, 2005)
2.4.2. Vaksinasi DPT
Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005)
2.4.3. Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung viruis polio yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu. (Depkes RI, 2005)
2.4.4. Vaksinasi Campak
Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freezeried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Di negara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai abak berumur 9 bulan. (Depkes RI, 2005)
Adapun jadwal pemberian imunisasi dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1
Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Anak
Jenis Imunisasi |
Umur (bulan) |
|
|||||||||||||||
Lahir |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
9 |
10 |
|||||||||
Program Pengembangan Imunisasi (PPI), diwajibkan |
|
||||||||||||||||
BCG |
BCG |
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||
Hepatitis B |
Hepatitis B1 |
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||
|
|
Hepatitis B2 |
|
Hepatitis B3 |
|||||||||||||
DPT |
|
|
DPT1 |
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
DPT2 |
|
|
|
|||||||||||
|
|
|
DPT3 |
|
|
||||||||||||
Polio |
Polio 1 |
|
Polio 2 |
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
Polio 3 |
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
Polio 4 |
|
|
||||||||||
Campak |
|
|
|
|
|
|
Campak |
|
|
||||||||
Sumber : Depkes RI, Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi
2.5. Manfaat dan Efek Samping Imunisasi
Imunisasi bertujuan untuk merangsang system imunologi tubuh untuk membentuk antibody spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit. (Musa, 1985). Walaupun cakupan imunisasi tidak sama dengan 100% tetapi sudah mencapai 70% maka anal-anak yang tidak mendapatkan imunisasi pun akan terlindungi oleh adanya suatu “herd immunity”.
Berdasarkan hasil penelitian Ibrahim (1991), menyatakan bahwa bila imunisasi dasar dilaksanakan dengan lengkap dan teratur, maka imunisasi dapat menguragi angka kesakitan dan kematian balita sekitar 80-95%. Pengertian teratur dalam hal ini adalah teratur dalam mentaati jadwal dan jumlah frekuensi imunisasi, sedangkan yang dimaksud imunisasi dasar lengkap adalah telah mendapat semua jenis imunisasi dasar (BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali dan Campak 1 kali) pada waktu anak berusia kurang dari 11 bulan. Imunisasi dasar yang tidak lengkap, maksimal hanya dapat memberikan perlindungan 25-40%. Sedangkan anak yang sama sekali tidak diimunisasi tentu tingkat kekebalannya lebih rendah lagi.
Pemberian tetanus toksoid pada ibu hamil dapat mencegah terjadinya tetanus neonatorum pada bayi baru lahir yang ditolong dengan tidak steril dan pemotongan tali pusat memakai alat tidak steril. Imunisasi terhadap difteri dan pertusis dimulai sejak umur 2-3 bulan dengan selang 4-8 minggu sebanyak 3 kali akan memberikan perlindungan mendekati 100% sampai anak berusia 1 tahun. Imunisasi campak diberikan 1 kali akan memberikan perlindungan seumur hidup. Imunisasi poliomyelitis dapat memberikan perlindungan seumur hidup apabila telah diberikan 4 kali. (Ibrahim, 1991).
Vaksin sebagai suatu produk biologis dapat memberikan efek samping yang tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak selalu sama reaksinya antara penerima yang satu dengan penerima lainnya. Efek samping imunisasi yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau Adverse Events Following Immunization (AEFI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga berhubungan dengan imunisasi. Penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi terbagi atas empat macam, yaitu kesalahan program/tehnik pelaksanaan imunisasi, induksi vaksin, faktor kebetulan dan penyebab tidak diketahui. Gejala klinis KIPI dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal seperti nyeri, kemerahan, nodelle/ pembengkakan dan indurasi pada lokasi suntikan. Gejala sistemik antara lain panas, gejala gangguan pencernaan, lemas, rewel dan menangis yang berkepanjangan. (Depkes, 2000)
2.2.Karakteristik Ibu
Penyebaran masalah kesehatan berbeda untuk tiap individu, kelompok dan masyarakat dibedakan atas tiga macam yaitu : Ciri-ciri manusia/karakteristik, tempat dan waktu. Menurut Azwar,Azrul (1999) salah satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia atau karakteristik .Yang termasuk dalam unsur karakteristik manusia antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan,status sosial ekonomi,ras/etnik,dan agama.Sedangkan dari segi tempat disebutkan penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh keadaan geografis, keadaan penduduk dan keadaan pelayanan kesehatan.Selanjutnya penyebaran masalah kesehatan menurut waktu dipenaguruhi oleh kecepatan perjalanan penyakit dan lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam masalah status imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan faktor tempat,dalam hal ini adalah jarak rumah dengan puskesmas/tempat pelayanan kesehatan. Pada penelitian ini ,karakteristik ibu yang peneliti diteliti adalah :
2.2.1 Umur
Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama.Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risk serta sifat resistensi.Perbedaan pengalaman terhadap masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur individu tersebut (Noor,N.N,2000)
Beberapa studi menemukan bahwa usia ibu, ras,pendidikan, dan status sosial ekonomi berhubungan dengan cakupan imunisasi dan opini orang tua tentang vaksin berhubungan dengan status imunisasi anak mereka.( Ali, Muhammad, 2002) .
Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi (p < 0,05).Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Lubis (1990;dalam Ali,Muhammad,2002).Penelitian Salma Padri,dkk (2000) juga menemukan bahwa faktor utama yang berhubungan dengan imunisasi campak adalah umur ibu (OR 2,53 95% CI: 1.21 -5.27).Selanjutnya hasil penelitian Ibrahim D.P.(2001) menunjukkan bahwa karakteristik ibu yang erat hubungannya dengan status imunisasi campak anak umur 9-36 bulan adalah: umur ibu yaitu umur ibu yang dihitung sejak lahir sampai saat penelitian.
2.2.2. Pendidikan
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut Azwar (1996), merupakan suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat.
Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.Pemahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oeleh tingkat pendidikan ibu.(Ali,Muhammad,2002).
Slamet (1999), menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan pendapat Slamet, Singarimbun (1986), juga menyebutkan kelengkapan status imunisasi anak tertinggi pada ibu yang berpendidikan SLTP keatas sebanyak 30,1%.Berdasarkan penelitian Idwar (2001) juga disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka makin besar peluang untuk mengimunisasikan bayinya yaitu 2,215 kali untuk pendidikan tamat SLTA/ke atas dan 0,961 kali untuk pendidikan tamat SLTP/sederajat. Ibu yang berpendidikan mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan di sekolah.
2.2.3. Status Sosial Ekonomi
Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan status sosial ekonomi pada umumnya dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu :a).Karena terdapatnya perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah penyakit atau mendapatkan pelayanan kesehatan,b).Karena terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku hidup yang dimiliki.(Azwar,Azrul, 1999).Menurut Noor,N.N (2000) menyebutkan berbagai variabel sangat erat hubungannya dengan status sosio ekonomi sehingga merupakan karakteristik.Status sosio ekonomi erat hubungannya dengan pekerjaan/jenisnya, pendapatan keluarga, daerah tempat tinggal/geografis, kebiasaan hidup dan lain sebagainya.Status ekonomi berhubungan erat pula dengan faktor psikologi dalam masyarakat.Noor,N.N (2000).
Hollingshead dan Redlich (dalam Azwar,Azrul,1999) dalam melakukan penelitian sosial menggunakan indikator pekerjaan, pendidikan dan keadaan tempat tinggal dalam menentukan status sosial ekonomi.Sedangkan Parker & Bennet memakai indikator pendapatan,pendidikan,jumlah anak dan sikap terhadap kesehatan.
Hasil penelitian Ramli,M.R(1988) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian drop out atau tidak lengkapnya status imunisasi bayi diantaranya adalah : faktor jarak rumah ke tempat pelayanan imunisasi. Jarak antara rumah responden dengan pusat pelayanan kesehatan terdekat, sebagian besar (78%) adalah kurang dari 1 km. Jarak kurang dari 1 km ini masih tergolong dekat. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat pelayanan kesehatan,diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya untuk kesehatan keluarganya.Sejalan dengan Ramli,kesimpulan penelitian Idwar (2001) juga menyebutkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan jarak dekat dibandingkan yang jauh sebesar 1,01 kali. Sedangkan untuk jarak sedang dibandingkan dengan jarak jauh tidak terlihat adanya hubungan yang bermakna. Ibu akan mencari pelayanan kesehatan yang terdekat dengan rumahnya karena pertimbangan aktivitas lain yang harus diselesaikan yang terpaksa ditunda.
Selanjutnya Depkes RI (2000) menyebutkan komponen pendukung ibu melakukan imunisasi dasar pada bayi antara lain kemampuan individu menggunakan pelayanan kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan, pengetahuan, sumber pendapatan atau penghasilan. (Depkes RI, 2000).
Pada masa yang akan datang di Indonesia akan terjadi perubahan dari negara agraris menjadi negara industri. Dengan terjadinya peralihan itu, mengakibatkan banyak tenaga kerja yang kemungkinan tidak akan tertampung di sektor industri, sehingga sebagian besar diantaranya akan terjun ke lapangan kerja informal. Sementara itu, karena adanya perbaikan pendidikan dan perhatian terhadap perempuan menyebabkan semakin meningkatnya tenaga kerja perempuan, baik di sektor formal maupun informal.batasan Ibu yang bekerja adalah ibu – ibu yang melakukan aktifitas ekonomi mencari penghasilan baik di sektor formal maupun informal, yang dilakukan secara reguler di luar rumah.Tentunya aktifitas ibu yang bekerja akan berpengaruh terhadap waktu yang dimiliki ibu untuk memberikan pelayanan/kasih sayang terhadap anaknya termasuk perhatian ibu pada imunisasi dasar anak tersebut.
Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengetahuan tentang imunisasi antara ibu yang bekerja dengan ibu yang tidak bekerja, dimana tingkat pengetahuan tentang imunisasi ini masih sangat kurang. Begitupun, walau tanpa dasar pengetahuan yang memadai ternyata di kalangan ibu tidak bekerja sikap dan perilaku mereka tentang imunisasi lebih baik dibanding ibu yang bekerja.Namun menurut hasil kesimpulan penelitian Idwar (2000),justru menyebutkan bahwa ibu yang bekerja mempunyai risiko 2,324 kali untuk mengimunisasikan bayinya dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja disebabkan kurangnya informasi yang diterima ibu rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang bekerja.
2.3. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Program Imunisasi
Pengetahuan adalah seluruh pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupan. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu, termasuk praktek atau kemauan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibuktikan secara sistimatis. (Azwar, 1996)
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut Slamet (1999), pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkat yaitu tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari atau kondisi yang sebenarnya, analisa merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Evaluasi ini terkait dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Tanggung jawab keluarga terutama para ibu terhadap imunisasi bayi/ balita sangat memegang peranan penting sehingga akan diperoleh suatu manfaat terhadap keberhasilan imunisasi serta peningkatan kesehatan anak. Pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh komponen-komponen pendorong yang menggambarkan faktor-faktor individu secara tidak langsung berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan yang mencakup beberapa faktor, terutama faktor pengetahuan ibu tentang kelengkapan status imunisasi dasar bayi atau anak. Komponen pendukung antara lain kemampuan individu menggunakan pelayanan kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan, pengetahuan, sumber pendapatan atau penghasilan. (Depkes RI, 2000)
Faktor pengetahuan memegang peranan penting dalam menjaga kebersihan dan hidup sehat. Slamet (1999) menegaskan bahwa wawasan pengetahuan dan komunikasi untuk pengembangan lingkungan yang bersih dan sehat harus dikembangkan yaitu dengan pendidikan dan meningkatkan pengetahuan. Dengan adanya pendidikan dan pengetahuan mendorong kemauan dan kemampuan yang ditujukan terutama kepada para ibu sebagai anggota masyarakat memberikan dorongan dan motivasi untuk menggunakan sarana pelayanan kesehatan.
Pengetahuan ibu dapat diperoleh dari pendidikan atau pengamatan serta informasi yang didapat seseorang. Pengetahuan dapat menambah ilmu dari seseorang serta merupakan proses dasar dari kehidupan manusia. Melalui pengetahuan, manusia dapat melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas yang dilakukan para ibu seperti dalam pelaksanaan imunisasi bayi tidak lain adalah hasil yang diperoleh dari pendidikan. (Slamet, 1999)
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut Azwar (1996), merupakan suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat.
Pendidikan kesehatan dapat membantu para ibu atau kelompok masyarakat disamping dapat meningkatkan pengetahuan juga untuk meningkatkan kemampuan (perilakunya) untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi terlaksananya kegiatan pelaksanaan imunisasi anak/ bayi, baik itu pendidikan formal maupun non formal. Tahap pendidikan sangat menentukan kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah dalam kehidupannya baik dilingkungan sosial maupun dilingkungan kerjanya. (Notoatmodjo, 1996)
Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk tentang imunisasi.Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi.Jika suatu program intervensi preventif seperti imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada anak dan remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat dan peningkatan pengetahuan sangat diperlukan.(Ali,Muhammad,2002).
Sebagai contoh adalah hasil beberapa penelitian yang menyebutkan peningkatan status kelengkapan imunisasi bayi/ anak akan meningkat seiring meningkatnya pendidikan dan pengetahuan ibu. Diantaranya menurut Singarimbun (1986), menyebutkan kelengkapan status imunisasi anak tertinggi pada ibu yang berpendidikan SLTP keatas sebanyak 30,1%. Syahrul,Fariani.,dkk (2002) dalam kesimpulan penelitiannya juga mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahun ibu dan keterpaparan informasi dengan status imunisasi,tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi sebagian besar (73,0%) sudah baik Namun demikian juga masih didapat sebagian kecil (4%) yang tergolong kurang.
Berdasarkan hasil penelitian Cahyono,K.D.,(2003) memberikan gambaran bahwa anak mempunyai kesempatan lebih besar untuk tidak diimunisasi lengkap bagi yang ibunya tinggal di perdesaan, berpendidikan rendah,kurang pengetahuan, tidak memiliki KMS (Kartu Menuju Sehat), tidak punya akses ke media massa ( surat kabar/majalah, radio, TV), dan ayahnya berpendidikan SD ke bawah. Semakin banyak jumlah anak, semakin besar kemungkinan seorang ibu tidak mengimunisasikan anaknya dengan lengkap.Selanjutnya Masykur (1983) dalam kesimpulan penelitiannya juga menyatakan ibu-ibu yang tahu tentang imunisasi tertinggi pada ibu yang tamat SLTA yaitu 80,7% dan secara statistik menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi. Menurut Lubis(dalam Ali,Muhammad,2002),dari suatu penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa kurangnya peran serta ibu rumah tangga dalam hal ini disebabkan karena kurang informasi (60-75%),kurang motivasi (2-3%) serta hambatan lainnya (23-37%).
Slamet (1999), menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Hasil penelitian Ramli,M.R(1988) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian drop out atau tidak lengkapnya status imunisasi bayi adalah : pengetahuan ibu tentang imunisasi , faktor jumlah anak balita, faktor kepuasan ibu terhadap pelayanan petugas imunisasi, faktor keterlibatan pamong dalam memotivasi ibu dan faktor jarak rumah ke tempat pelayanan imunisasi.
Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi.Masalah pengertian dan keikutsertaan orang tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan kesehatan yang memadai tentang hal itu diberikan.Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.(Ali,Muhammad,2002)
Abednego, H.M, Strategi dan Pengembangan Program Imunisasi Di Indonesia Menjelang Abad 21, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1997
Ali,Muhammad , Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Tentang Imunisasi, Medan,2002.http://library.usu.ac.id/modules.php. op=modload [16 Januari,2008 ]
Azwar, Azrul,Pengantar Epidemiologi, Binarupa Aksara,Jakarta1999
___________, Ilmu Kesehatan Masyarakat Suatu Survey, Jakarta, 1993
___________, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta, 1996
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Jakarta, 1997
Cahyono, K.D, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidaklengkapan Imunisasi Anak Usia 12-23 Bulan Di Indonesia Tahun 2003 (berdasarkan Data SDKI 2002-2003) . http : //www.youngstatistician.com. [ 15 Januari, 2008]
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Operasional Pelayanan Imunisasi, Jakarta, 2000
_______________________, Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta, 2005
_______________________, KepMenKes No.1457 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota ,Jakarta, 2003
_______________________, Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi, Jakarta, 1992
_______________________, Petunjuk Teknis Reaksi Samping Imunisasi, Jakarta, 1994
_______________________, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta, 2001
_______________________, Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Jakarta, 1999
Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, Laporan Tahunan Subdin P2P Dinkes Kab. Pidie, 2006
Dinas Provinsi NAD, Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan Prov.NAD Tahun 2006-2010,Banda Aceh,2006
_________________, Profil Kesehatan Prov.NAD Tahun 2005, Banda Aceh,2006
Elvayanie.N dan Sumarmi.S,Faktor Karakteristik Ibu yang Berhubungan dengan Pola Inisiasi Asi dan Pemberian Asi Eksklusifdi wilayah kerja puskesmas Sungai Turak kecamatan Amuntai Utara,2003.http://www.gizi.net/kebijakan-gizi/download/propenas.doc.[18 Januari, 2008]
Gellin BG, Maibach EW, Marcuse EK. Do parents understand immunization? A national telephon survey. Pediatrics, 2000.
Idwar, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi Hepatitis B pada Bayi (0-11 Bulan) di Kabupaten Aceh Besar Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun1998/1999(published 2001) http://digilib.litbang.depkes.go.id/go
[ 21 januari 2008 ]
Ibrahim, Imunisasi dan Kematian Anak Balita, Medika, Nomor 6 Tahun 17, Jakarta, 1994
Ibrahim,D.P., Hubungan Karakteristik Ibu dengan Status Imunisasi Campak Anak Umur 9-36 Bulan di Sulawesi Selatan Tahun 1991.(published 2001).http://digilib.litbang.depkes.go.id/go [ 21 januari 2008 ]
Khalidatunnur, Isu Mutakhir Imunisasi, 2007. http ://www.google.com [ 21 Januari 2008]
Kartono, Psikologi Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2001
Masykur, N, dkk. Penelitian Pengertian Ibu-ibu Tentang Imunisasi Di Kecamatan Kebayoran Lama. Jakarta, 1983.
Musa , A.D, Peranan Pencegahan Khususnya Imunisasi Dalam Penurunan Angka Kematian Bayi di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Tahun XV Nomor 9 April 1985.
Noor,N.N, Dasar Epidemiologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000
Notoatmodjo, Soekidjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta, 2003
__________________, Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Ramli,R.M,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Drop Out/ Tidak Lengkap Hasil Imunisasi di Desa Kesongo Semarang Iawa Tengah Tahun 1988 : Skripsi-1988. http://www.journal.unair.ac.id/ [15 Januari,2008)
Sarwono, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1998
Singarimbun, M, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1986
Slamet, Sosiologi Kesehatan, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta, 1999.
Supraptini,dkk, Cakupan Imunisasi Balita dan ASI Ekslusif di Indonesia ,Hasil Survei Kesehatan Nasional 2001.http://digilib.litbang.depkes.go.id/go [ 21 januari 2008 ]
Syahrul,Fariani,dkk, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi Ibu Hamil di Kabupaten Lumajang. Jurnal Penelitian Medika Eksakta Vol. 3 No. 1 April 2002: 80-88, Jakarta,2002.http://www.pdpersi.co.id.[17Januari,2008]
Syarifuddin Anwar,et.all, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammmadiyah ,Banda Aceh, 2005
Tawi.M, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Imunisasi DPT di Wilayah Kerja Puskesmas Ulee Kareng,Skripsi,PSIK Unsyiah,2002
USAID/Health Service Program, Basic Human Service : Baseline Household Survey 2005/6 in 30 Districts of 6 Provinces in Indonesia, Jakarta, 2006.
______,Aktivitas Millennium Challenge Corporation Indonesia : Proyek Program Immunisasi Rutin,Desember 2007. http://indonesia.usaid.gov.[21 Januari 2008]
krimkan dong keemail ku tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada bayi
thanks