Praktik Prostitusi dan HIV/AIDS di Aceh

Berita mengejutkan di halaman dua Serambi 6 Maret 2007 berjudul Pemkot Banda Aceh Cabut Izin Salon D, diberitakan keenam wanita pekerja Salon D berterus terang kepada petugas WH bekerja melayani dan memberikan pelayanan plus kepada setiap pria yang datang ke salon itu dengan tarif tertentu. Menurut petugas WH, wanita-wanita itu mendapatkan 50 persen dari tarif uang dari lelaki yang memakainya. Tarif berkisar Rp 150.000-Rp 250.000 untuk short time.

Laporan di atas apabila kita hubungkan dengan pemberitaan masalah bencana HIV/AIDS di Aceh di Serambi (27 Desember 2006 dan 8 Januari 2007), maka terjawablah teka-teki mengapa di Aceh ada HIV/AIDS. Praktik prostitusi yang terselubung. Konklusi ini dibenarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Aceh dalam Serambi (16 Maret 2007). Dari 12 kasus AIDS yang ditemukan di Aceh sejak 2004, sebagian besar korban positif terinfeksi HIV/AIDS adalah pengguna jasa pekerja seks komersial yang telah terinfeksi HIV/AIDS di luar Aceh.

Dinas Kesehatan NAD menemukan 4 kasus HIV/AIDS di Lhokseumawe dan 1 di Bireuen, (Serambi 27 Desember 2006). Dua hari kemudian seorang penderita dikonfirmasi mengidap virus HIV/AIDS di Meulaboh, Aceh Barat. Pada tanggal 8 Januari 2007, satu keluarga dengan satu anak berumur 5 tahun di Simeulue ternyata positif terinfeksi virus HIV/AIDS.

Sebelum kasus-kasus ini, masyarakat percaya AIDS tidak ada di Aceh. Mereka mengemukakan hanya ada satu kasus menurut Dinas Kesehatan Propinsi NAD. Tidak perlu ada program khusus mencegah HIV/AIDS di Aceh.

Adalah hal yang sulit untuk mendiskusikan atau mengekspos tentang adanya virus HIV/AIDS di Aceh. Dalam beberapa seminar dan forum sangatlah sulit untuk meyakinkan para pengambil keputusan, politikus, tokoh agama, tokoh masyarakat bahwa virus HIV/AIDS ada di Aceh dan akan tetap di Aceh.

Kelima orang dari kasus di Lhokseumawe dan Bireuen, indikasinya diketahui ketika diadakan pengetesan darah yang mereka donorkan di Lhokseumawe. Kemudian diselidiki lebih jauh untuk konfirmasi. Mereka dilaporkan terinfeksi dari napza (narkotika, psikotropik, dan zat adiktif lainnya) suntik.

Kasus kedua adalah seorang lelaki mengidap virus HIV/AIDS di rumah sakit Meulaboh. Karena alasan fasilitas dia dipindahkan ke rumah sakit di Medan. Dilaporkan juga pada tahun 2004 ada satu penderita, dua penderita di tahun 2005 dan 6 kasus di tahun 2006. Di awal Januari 2007, keluarga dengan satu anak lelaki mengidap virus HIV/AIDS di Simeuleu.

Kasus-kasus di atas membuka debat mengenai bahaya dari HIV/AIDS di Aceh. Angka penderita di Aceh relatif kecil bila dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. menurut laporan Badan Populasi PBB (UNFPA ) pada bulan September 2006 di Indonesia ada 4617 penderita HIV dan 6987 penderita AIDS. Sementara itu menurut laporan Depkes pada Juni 2006, di Jakarta ada 3902 penderita HIV/AIDS, Jawa Barat 776 penderita, Kalbar 312 penderita, Sumsel 64 penderita dan Aceh 5 penderita.

Prostitusi dan HIV/AIDS

Hubungan praktik prostitusi dan HIV/AIDS juga terbukti di Kabupaten Mimika di Propinsi Papua. Pemerintah daerah mengaku gagal dalam menangani meningkatnya kasus HIV/AIDS di Mimika.

Kegagalan kabupaten Mimika di Propinsi Papua juga pelajaran berharga buat Pempov. Aceh. Sejauh ini di Mimika program pencegahan HIV/AIDS baru sebatas upaya promotif berupa penyuluhan-penyuluhan langsung kepada masyarakat maupun melalui media massa, dan upaya kuratif. Ternyata angka pengidap yang pada tahun 1997 hanya satu penderita seperti diberitakan oleh Antara 15 Januari 2007, sekarang ada 1181 pengidap. Saat ini Mimika menyumbang 45 persen dari total kasus HIV/AIDS di Papua dan Irian Jaya Barat.

Sekarang Pemerintah Daerah Mimika kewalahan dan minta kesadaran bersama dari semua pihak, baik lembaga keagamaan, lembaga adat, LSM, sekolah-sekolah maupun warga masyarakat sendiri untuk bersama-sama meningkatkan kewaspadaan terhadap virus HIV/AIDS. Kegagalan ini perlu menjadi catatan khusus buat Pemerintah NAD. Tentu jangan sampai terjadi di Serambi Mekkah ini.

Data Dinkes dan KB Kabupaten Mimika melaporkan kasus HIV/AIDS di Mimika untuk pertama kali ditemukan sekitar tahun 1997 dengan satu kasus. Kasus ini terus meningkat dan mencapai titik tertinggi dalam beberapa tahun belakangan seiring dengan semakin maraknya tempat-tempat praktek prostitusi, baik “legal” di lokalisasi Kilometer 10 Kampung Kadun Jaya Distrik Mimika Timur, maupun ilegal di berbagai panti pijat, pub, dan diskotik.

Seperti di Mimika, di Maluku tingginya penularan akibat beroperasinya pekerja seks yang sering berhubungan dengan nelayan asing maupun mengonsumsi narkoba jenis suntik. Maluku saat ini tercatat sebagai provinsi ke-14 terbanyak terjangkit HIV/AIDS di Indonesia. AIDS pertama kali ditemukan di Maluku pada salah satu nelayan asal Thailand yang ditangani di Tual, Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara pada 1994.

Begitu juga di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimatan Selatan sembilan penderita disebabkan prilaku seks yang menyimpang. Adanya Lokalisasi atau tempat wanita penjaja seks komersial daerah Sungai Dua Kecamatan Simpang Empat Batulicin mendorong munculnya penyakit HIV/AIDS seeperti dilporkan Serambi 16 Maret 2007.

HIV/AIDS

HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini melemahkan kekebalan tubuh manusia. HIV juga merupakan periode awal dari orang terinfeksi sebelum dinyatakan menderita AIDS. Penularan HIV melalui darah, cairan sperma dan cairan vagina. Penularan hanya terjadi jika ada salah satu dari ketiga cairan yang telah tercemar HIV masuk ke dalam aliran darah seseorang.

Sebagian besar infeksi HIV ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV disamping transfusi darah yang tercemar HIV dan menggunakan jarum suntik, tindik, tattoo, alat cukur atau alat lain yang dapat menimbulkan luka yang telah tercemar HIV secara bersama-sama dan tidak disterilkan, serta penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV pada janinnya. HIV tidak menular melalui bersalaman, bersentuhan, berciuman, keringat, makan dan minum bersama, memakai kamar mandi yang sama, berenang bersama, batuk atau bersin dan gigitan nyamuk.

AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. AIDS juga merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena menurunnya system kekebalan tubuh manusia.

HIV mempunyai fase awal sejak seseorang terinfeksi sampai terdeteksinya virus di dalam tubuh melalui tes HIV. Dalam fase ini, si penderita sudah bisa menularkan virus. Fase ini bervariasi dari 1 sampai 6 bulan. Kemudian fase I dimana seseorang telah terinfeksi namun tidak menunjukan gejala-gejala terkait HIV. Pada fase II, pengidap telah memperlihatkan gejala-gejala terkait HIV seperti hilang selera makan, tubuh lemah, berkeringat berlebihan di malam hari, timbul bercak-bercak di kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, diare terus menerus dan flu tidak sembuh-sembuh.

Kapan seseorang dinyatakan sudah AIDS hanya dapat ditentukan dengan analisa medis. Tahap AIDS baru bisa di diagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dan timbul penyakit tertentu yang disebut infeksi opportunistik yaitu tbc, pneumonia, syaraf terganggu, herpes dll.

Meributkan AIDS

Mengapa dunia meributkan AIDS? HIV/AIDS belum ada vaksin dan obat penyembuhnya. AIDS menyebar ke seluruh dunia. Menyerang usia produktif. AIDS menimbulkan keresahan dan kebingungan di antara masyarakat dan diskriminasi terhadap si penderita. AIDS menjadi pintu utama untuk mengungkap masalah-masalah sosial dan ekonomi di dalam satu negara seperti prostitusi, ketimpangan gender, trafficking manusia, seks sebelum nikah, seks dengan lebih dari satu orang, penggunaan jarum suntik bersama di antara napza suntik, seks bersama jenis, seksualitas pada remaja, waria, penanganan darah donor, kemiskinan, gizi buruk, perselingkuhan, dan lain-lain.

Isolasi epidemik

Untuk Aceh, tantangan menghadapi HIV/AIDS adalah mengisolasi epidemik hanya pada grup yang berisiko tinggi. Menurut sebuah survei oleh UNFPA tahun 2002, kelompok yang rawan tertular HIV adalah kelompok napza suntik (38%), wanita penjaja seks (8%), pelanggan penjaja seks (30%), waria (1%), gay (9%) dan pasangan-pasangan lima kelompok di atas (14 %). Juga dilaporkan pada sebuah survey global 2003, sebagian besar negara menargetkan program mereka kepada penjaja seks (73 %), napza suntik (31%), sopir truk jarak jauh (24 %), dan kasus berhubungan dengan intimasi sesama lelaki (24 %).

Dari hasil survei ini jelas wanita penjaja seks adalah sumber penyebaran HIV/AIDS. Wajarlah sebagian besar negara di dunia ini menargetkan program HIV/AIDS kepada penjaja seks yaitu 73 persen. Lembaga swadaya masyarakat baik nasional dan internasional, donor internasional, institusi internasional membantu Aceh dalam usaha pencegahan penyebaran Aids di Aceh.

Program-program komunikasi, informasi edukasi serta advokasi yang ditargetkan pada grup berisiko tinggi hanya mengurangi risiko penularan seperti menggunakan kondom, perilaku seksual yang bertanggung jawab, tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, hubungan seks mitra tunggal, segera mengobati penyakit menular seksual, tranfusi darah yang bebas HIV, menyeterilkan alat-alat yang dapat menularkan, dan ibu ber-HIV perlu mempertimbangkan lagi untuk hamil.

Program-program yang dilakukan oleh LSM nasional dan internasional dan institusi internasional belum cukup untuk menyetop penyebaran HIV/AIDS di masa depan. Pemerintah daerah harus mengambil posisi terdepan dalam menangulangi penyebaran HIV/AIDS. Tanpa komitmen dari pemerintah daerah, AIDS tidak bisa di bendung.

Globalisasi

Setelah tsunami, Aceh terglobalisasi. Dengan sebegitu banyak uang di Aceh, hal-hal negatif dari globalisasi singgah di Aceh. Hal-hal negatif termasuk prostitusi, seks bebas, penyalahgunaan alkohol dan penyalahgunaan narkoba.

Prostitusi telah lama ada di Aceh melalui konektivitas dengan Medan. Lelaki hidung belang dari Aceh akan berakhir pekan di Medan untuk belanja seks. Dengan tingginya angka penderita AIDS di Medan terutama pada penjaja seks, maka akan mudah virus HIV/AIDS masuk ke Aceh. Departemen Kesehatan memroyeksikan 5392 penderita HIV/AIDS di Sumut pada 2010.

Desa di Sumut berbatasan dengan Aceh adalah tempat yang banyak penjaja seks murah. Penjaja ini tidak akan ambil pusing mengenai penyakit menular seperti HIV/AIDS.

Survei terakhir dari Dinas Sosial Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menemukan 220 penjaja seks di satu daerah di Banda Aceh. Hanya 50 penjaja secara sukarela bersedia untuk dibina oleh Dinsos. Penjaja seks yang berjumlah 220 ini adalah grup yang berisiko tinggi.

Melihat ke depan, Aceh akan menjadi kota internasional dengan airport, pelabuhan, dan pelabuhan ikan bertaraf internasional, tentu akan lebih banyak lagi kontak dengan virus HIV/AIDS, seirama dengan statusnya. Teori gunung es dimana setiap penderita berarti 100 kasus belum tercatat akan menjadi kenyataan apabila pemerintah daerah tidak menjadikan pencegahan penyebaran HIV/AIDS sebagai prioritas utama. Dengan adanya gubernur dan vagub yang baru, pencegahan penyebaran HIV/AIDS di Serambi Mekkah harus menjadi salah satu prioritas utama mereka.(Sumber : Serambi Indonesia, 24/3/2007)

*) Mohamad Royan,Penulis adalah pemerhati masalah AIDS dan Provincial Program Manager UNFPA NAD.

0 thoughts on “Praktik Prostitusi dan HIV/AIDS di Aceh

  1. Hebat………..sungguh hebat.. imilah berkah setelah tsunami..dalam arti kata lain mereka yang melakukan perbuatan itu sama saja dengan meminta bencana yang lain untuk Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *