Aspek Sosial Budaya Masyarakat ACEH
Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu sangat berbeda dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan ?terbuka?. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat 8 sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Misalnya, menurut sejarahnya, sub etnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatera Barat (etnis Minangkabau) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau.
A. MITOS/SEJARAH KEBERADAAN MASYARAKAT ACEH
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besat, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke darah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden. Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Naggroe Aceh Drussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis in adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Hingga saat ini belum ada satu kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah Aceh mulai digunakan karena data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tersebut tidak ditemukan. Infromasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebahai sebuah kerajaan menuyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh, namun sember-sumber tersebut bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K.F.H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul ?De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat? (Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan) yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul ?Lets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh? (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanaan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini, dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh, meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Perbandingan atau persemaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah dibahas dalam ?Aanteekeningen betreffende de verhoding van het Atjesche tot de Mon Khmer talen? oleh K.K.J. Cowan dalam BKI 104 (1948).
Seorang ulama Aceh terkenal pada abad XIX , yaitu Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik Kutarakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencapmuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan suku-suku bangsa lain seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkanbahwa berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).
Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :
- Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
- Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
- Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.
- Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya, akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini seingkali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesame kawom cuku tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang dilanjutkan dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal karena eksodusnya pada pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, dan juga berubahnya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.
B. STRUKTUR MASYARAKAT
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama.
Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan, Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintah Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adapt, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :
- Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).
- Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
- Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
- Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, terdapat laposan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelmpok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu, maka ada golongan hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula ke dalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memilik kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.
(Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi NAD. Jelajah Aceh. 2004. Banda Aceh)