KONDOM dan HIV/AIDS

Dari catatan sejarah, kondom telah digunakan sejak beberapa ratus tahun lalu. Sekitar tahun 1000 sebelum Masehi orang Mesir kuno menggunakan linen sebagai sarung pengaman untuk mencegah penyakit.

Pada tahun 100 sampai tahun 200 Masehi bukti awal dari pemakaian kondom di Eropa datang dari lukisan berupa pemandangan gua di Combrelles, Prancis.

Tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan pencobaan alat mencegah penyakit berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim menemukan sarung terbuat dari bahan linen dan itu diuji coba pada 1.100 lelaki sebagai kondom. Dari percobaan itu tak satu pun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis. Penemuan membuktikan bahwa kain linen itu bermanfaat mencegah infeksi. Tetapi, di kemudian hari kondom dikenal sebagai alat mencegah kehamilan. Itu diawali dari percobaan terhadap kain linen yang dibasahi dengan cairan kimia tahun 1500-an. Ketika linen direndam dalam cairan kimia kemudian dikeringkan dan dikenakan pria maka kain itu bisa mematikan sperma.

Tahun 1700-an, kondom dibuat dari usus binatang. Perubahan bahan itu membuat harga kondom menjadi lebih mahal dibanding dengan kondom dari bahan linen. Ketika itu kondom dikenal sebagai ‘baju baja melawan kesenangan dan jaring laba-laba mencegah infeksi. Kondom tipe itu dipakai secara berulang.

Tahun 1894, Goodyear dan Hancock mulai memproduksi kondom secara massal terbuat dari karat yang divulkanisasi untuk membalikkan karet kasar ke elastisitas yang kuat. Tahun 1861 untuk pertama kali kondom dipublikasikan di Amerika Serikat di surat kabar The New York Times. Tahun 1880 kondom dibuat dari lateks, tetapi pemakaiannya secara luas baru tahun 1930-an. Tahun 1935 sebanyak 1.5 juta kondom diproduksi setiap hari di Amerika Serikat.

Kemudian tahun 1980-an dan 1990-an pasaran kondom di Amerika Serikat didominasi pabrik kondom setempat. Baru tahun 1987 kondom produksi Jepang dengan merek Kimono memasuki pasar Amerika. Kondom tersebut lembut tipis dan iklannya pun menekankankan bahwa kesenangan sama pentingnya dengan pencegahan.

Tahun 1990-an muncul beragam jenis kondom dan juga untuk pertama kali tersedia kondom polyurethane. Tahun 1993 produksi tahunan kondom lateks mencapai 8,5juta miliar (Anonimous, 2005).

Kondom yang berkualitas baik dan digunakan secara benar terbukti mencegah masuknya virus seperti HIV, hepatisis, dan herpes/PMS. US National Institute of Health dan Consumer Union yang meneliti kondom menemukan tidak ada pori yang terlihat setelah kondom diregangkan dan diperiksa dengan pembesaran 30.000 kali. Dalam era epidemi saat ini kondom lateks masih merupakan media terbaik dalam mencegah penularan HIV( UNFPA, 2005).

Pada tahun 2003, The United States Departement of Health and Human Service melakukan studi penelitian terhadap keefektifan kondom. Dari hasil studi didapatkan bahwa 85% berkurangnya resiko penularan HIV pada orang-orang yang menggunakan kondom secara konsisten dibandingkan dengan yang tidak pakai (UNFPA, 2004).

Pada Tahun 1991, Thailand menerapkan “100-percent condom policy”, dimana yang mewajibkan pekerja seks komersil dan pelanggannya untuk menggunakan kondom dalam setiap aktivitas seksual. Program ini berhasil menaikkan persentase penggunaan kondom dari 14% pada tahun 1989 menjadi 94% pada tahun 1994 dan berdampak pada penurunan lima kali lipat kasus infeksi HIV dan sepuluh kali lipat penurunan kasus PMS (WHO & UNAIDS, 2004).
Sebuah studi di Itali, diikuti 305 wanita negatif HIV yang pasangan tetapnya seksual aktif laki-laki positif HIV selama 2 tahun. Hasil studi menunjukkan dari 134 pasangan yang selalu menggunakan kondom secara konsisten, tidak ditemukan kasus HIV satupun. Sedangkan yang tidak menggunakan kondom secara konsisten ditemukan 2% dari 171 terinfeksi HIV. Selanjutnya studi di Haiti didapatkan bahwa infection rate diantara pasangan serodiscordant yang selalu menggunakan kondom adalah 1 per 100 pasangan (UNFPA, 2004).
Beberapa penelitian di AS menunjukkan bahwa 20-30% pria mengaku selalu menggunakan kondom, tetapi diantara mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara benar. Pemakaian kondom yang salah dapat mengakibatkan kondom lepas atau robek. Begitu pula bila tidak dipakai secara konsisten , tentu saja kondom itu tidak akan efektif. Penggunaan pelicin berbahan dasar minyak pasti menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pemakaian kondom. Tipe lain yang salah dalam penggunaan kondom adalah metode yang tidak tepat pada pembukaan kemasan dan pada saat pemasangan kondom pada penis atau untuk menahan cincin kondom pada saat penarikan kondom dari penis (Hargreaves, 2008) .
Kebijaksanaan Pemerintah tentang kondom dengan dikeluarkannya surat edaran Dirjen PPM & PLP pada tanggal 19 Desember 1996 yang isinya mengharuskan semua pelanggan WTS/WPS menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual. Intinya kebijaksanaan tersebut untuk menganjurkan kondom hanya pada perilaku seksual resiko tinggi dan bukan untuk masyarakat biasa. Namun pada umumnya pelanggan tidak mau menggunakan kondom dengan berbagai alasan. Ironisnya WTS/WPS pun menerima pelanggan yang tidak mau berkondom tersebut agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya ( Beni , 2004b).
Pemerintah Indonesia juga mempunyai kebijaksanaan pelaksanaan kondom 100% dimana pemerintah menyediakan kondom untuk keperluan tersebut. Kenyataan di lapangan bukan penggunaan kondom 100% tetapi distribusi kondom 100% dalam arti WTS/WPS selalu menerima jatah kondom dari klinik/berbagai yayasan tetapi tidak digunakan dengan alasan pelanggan tidak mau menggunakan kondom. Dalam program kondom ini yang sulit adalah bagaimana atau indikator apa yang digunakan untuk memantau penggunaan kondom 100%, hal ini tentunya akan dipengaruhi metoda kualitas kondom, distribusi kondom, cara pemakaian kondom yang benar untuk pencegahan HIV/AIDS & IMS serta monitoring yang baik karena pada akhirnya hanya WPS dan pelangganlah yang mengetahuinya (Beni, 2004b).
Ada beberapa hambatan yang dapat diidentifikasi misalnya adanya keluhan subjektif pemakai seperti tidak enak, repot atau malu membeli. Juga karena citra kondom di masyarakat yang buruk akibat mitos, rumor dan sebagainya. Masyarakat sering mengasosiasikan kondom dengan sesuatu yang kotor, memalukan, terlarang, sex maniac, ketidakjujuran dan perilaku tidak bermoral. Kondom bahkan dituduh bisa mendorong peningkatan perilaku zina dan perilaku seksual berisiko lainnya. Norma sosial dan budaya bias gender juga mempengaruhi orang untuk tidak memakai kondom. Kekuasaan laki-lakilah yang menentukan penggunaan kondom atau tidak (Aulia, 2002).
Mendorong penggunaan kondom harus disertai dengan upaya mengubah citra tentang kondom ini di masyarakat. Politikus, pejabat dan pemimpin-pemimpin agama diharapkan dapat berbicara tentang kondom dengan menarik dan bersahabat. Atau terlibat langsung dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Media massa diminta ikut mengatasi norma negatif tentang kondom. Drama tradisional seperti arja muani dan bondres yang aktif dalam kegiatan desensitisasi, melalui alur cerita dan banyolannya, akan membuat kondom tidak lagi dianggap sebagai barang yang menjijikkan, kotor dan sebagainya (Karmaya, 2005) .
Promosi kondom untuk keluarga berencana atau pencegahan HIV/AIDS menjadikan penggunaan kondom sebagai ekspresi cinta, bertanggung jawab dan juga sebagai bagian dari kehidupan terpelajar. Melalui pendekatan yang positif sering kali mengubah kesan menjadi lebih baik ketimbang melalui pendekatan menakut-nakuti (Karmaya, 2006).
Menganjurkan dan juga mewajibkan pelanggan memakai kondom saat senggama tidaklah berarti kita merestui atau menyetujui perbuatan zina dan pelacuran. Dengan menganjurkan dan mewajibkan penggunaan kondom tidak berarti pula dapat mengurangi perzinaan dan pelacuran. Hal ini hanya menunjukkan bahwa kita mengetahui, mengakui dan tidak menutup mata terhadap fakta bahwa pada kenyataannya zina dengan selingkuhan atau dengan pekerja seks itu memang benar-benar ada dan sering terjadi. Menganjurkan dan mewajibkan penggunaan kondom merupakan upaya yang urgen untuk menanggulangi akibat buruk perilaku berisiko itu yaitu berupa penyebaran IMS dan HIV/AIDS. Melalui kegiatan ini tidak berarti kita tidak melakukan upaya pencegahan lain seperti pendidikan baik lewat jalur sekolah, keluarga, pendidikan agama dan lain-lainnya (Beni, 2005).
Pencegahan melalui pemakaian kondom merupakan pelengkap dan disepadankan dengan upaya-upaya pendidikan atau penyuluhan yang biasanya membutuhkan waktu lama sebelum terasa khasiatnya. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan kondom diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan mempertahankan perilaku sehatnya. Kepada anak-anak muda dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks atau tidak mengadakan hubungan seks lebih awal dari semestinya, bahkan mereka harus menunda sampai tiba saatnya (Karmaya, 2006).
Bagi mereka yang sudah melakukan hubungan seks sebelum atau di luar pernikahan dianjurkan untuk mengubah perilaku, mengendalikan aktivitas seksual, mengurangi jumlah partner dan atau menggunakan kondom secara benar, konsisten dan bertanggung jawab dalam setiap hubungan seksualnya. Namun sekali lagi, harapan ideal untuk mewujudkan masyarakat bebas perselingkuhan dan bebas pelacuran membutuhkan waktu sangat lama. Sementara itu, HIV/AIDS menyebar dengan sangat kencangnya. Oleh karena itu pula, promosi mengubah citra kondom harus dilakukan sesegera mungkin dengan lebih gencar sehingga tingkat penerimaan masyarakat dan jumlah pemakaian menjadi lebih besar. Ini semua untuk dapat menghilangkan gap atau krisis penggunaan kondom, sehingga orang yang terlindungi menjadi lebih banyak dan gelombang epidemi HIV/AIDS dapat dihindari (Karmaya,2005)

0 thoughts on “KONDOM dan HIV/AIDS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *