SEUDATI CILIK PERTAMA DI ACEH DAN SAYA
Tari Seudati adalah salah satu tarian tradisional daerah Aceh heroik yang begitu terkenal dan diminati di kalangan masyarakat Aceh.
Biasanya tarian ini dimainkan oleh laki-laki dewasa, namun sejalan dengan dinamika masyarakat, tarian ini mulai diajarkan kepada anak-anak dan juga kepada kaum perempuan (seudati inong). Sepengetahuan penulis, di era tahun 80-an, seudati cilik pertama sekali digagas oleh Bapak Hasbullah, yang saat itu beliau menjabat sebagai penilik sekolah yang kantornya didepan Masjid Besar Peusangan. Saat itu masih dibawah pemerintahan Aceh Utara, sebelum lahirnya Kabupaten Bireuen.
Sekitar tahun 1985, Bapak Hasbullah bersama Syeh Yacob Makmur menawarkan ide untuk pembentukan grup Seudati Cilik kepada Bapak Abdul Gaffar, Kepala SD 3 Matangglumpang Dua, yang berada di Gampong Pante Gajah, Peusangan. Bapak kepala SD tersebut menyambut baik ide tersebut dan segera memilih murid-murid SD No 3 kelas 5 dan kelas 6 sebagai penarinya.Pada tahap awal terpilih lebih kurang 20 orang murid, salah satunya adalah saya (penulis). Dalam perjalanan proses latihan dibawah gemblengan Syeh Yacob Makmur dan didampingi Bapak Hasbullah, satu persatu rekan-rekan penulis absen latihan dan tereliminasi, tinggallah 10 orang. Oleh Syeh Yacob Makmur dan Pak Hasbullah, grup Seudati kami diberi nama ” Muda Seudang”.Penampilan perdana kami adalah saat acara perpisahan SMAN Unit Matangglumpang Dua (saat ini SMAN 1 Matangglumpang Dua) dan SMAN Peusangan (saat ini SMAN 2 Matangglumpang Dua). Setelahnya kami sering tampil memeriahkan acara-acara di kecamatan, seperti acara 17 Agustus, KNPI, dan lain-lain.
Syech Yacob Makmur, guree seudati saya, saat itu adalah sosok pelakon seni yang multi talenta, beliau mampu melatih dan memainkan beberapa kesenian Aceh selain Seudati, diantaranya Rapa’i, Meurukon, Likok Pulo, Ratoh Duek, Meuseukat, Laweut, dan Sandiwara.
Syech Yacob Makmur bersama Pak Hasbullah adalah pencipta Rapa’i Pulot Geurimpheng pada tahun 1989, yang dikembangkan di kawasan Matangglumpang Dua. Syech Yacob Makmur menciptakan Rapa’i Pulot Geurimpheng mengkolaborasikan Rapa’i Geleng Aceh Selatan, Saman dan Ratoh Duek.
Pertama Kali Ke Banda Aceh
Suatu hari pada tahun 1986,,,saat itu saya masih duduk di bangku SD. Saya bersama 9 orang kawan yang tergabung dalam grup seudati “Muda Seudang” berangkat ke Banda Aceh memenuhi undangan dari Kantor Gubernur Aceh, dalam rangka malam Pelantikan Gubernur Aceh, Prof.Ibrahim Hasan. Grup seudati kami adalah satu-satunya grup seudati “cilik” yang ada di Aceh saat itu. Kami diantar oleh sanak famili dengan gegap gempita naik bus PMTOH…sangat wajar karena saat itu tidak banyak orang kampung saya yang pernah ke Ibukota Aceh, apalagi anak seusia saya, sebuah hal yg luar biasa…”sesuatu bingits”, kata anak abege mileneal saat ini..😁
Dalam perjalanan ke Banda Aceh kami begitu riang gembiranya bisa naik “moto panyang”, turut ikut bersama kami Pembina grup kami Bapak Hasbullah (Alm) dan “syeh” (pelatih) kami, Syeh Yacob Makmur (alm).
Sesampai di Banda Aceh, kami diinapkan di Wisma Lampriet oleh panitia. Benar-benar sangat menyenangkan.
Tempat yang paling ingin kami kunjungi adalah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh karena orang kampung kami, Pante Gajah, bilang kalau ke Banda Aceh kalo belum “berdiri foto” di Masjid Raya Baiturrahman, itu belum sah dan dianggap belum ke Banda Aceh. Orang tua kami juga mewanti-wanti ” nyan bek tuwe jak u masjid raya beh”
Masjid Raya Baiturrahman dulu tentunya sudah jauh beda dengan yang sekarang, sayangnya dokumentasi/ foto2 kami dulu sudah tidak ada lagi sehingga tidak bisa kita bandingkan dengan yang sekarang.
Momen berikutnya kami tampil pada acara Festival Seudati Porseni Aceh, acara pertandingannya digelar di aula RRI Banda Aceh. Saat itu grup Seudati Cilik yang ada cuma 2 (dua) grup, yaitu dari Aceh Selatan dan kami dari Aceh Utara. Karena hanya 2 grup, tidak ditetapkan rangking , namun ditetapkan juara bersama dengan mendapatkan masing-masing satu penghargaan/medali.Setelah penulis tamat SD, penulis masuk SMPN 1 Matangglumpang Dua, ternyata karir sebagai penari Seudati berlanjut, karena sebagian besar kawan-kawan alumni SD 3 yang tergabung grup Muda Seudang juga melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Matangglumpang Dua. Juga atas komunikasi dan inisiatif Bapak Hasbullah , kami dikumpulkan lagu di SMPN1 Matangglumpang Dua, dengan persetujuan kepala SMPN 1 Matangglumpang Dua saat itu kembali dibentuk grup seudati di SMPN1 Matangglumpang Dua.Setamat SMPN1 Matangglumpang Dua, karir seudati saya (penulis) juga berlanjut ke SMA, sama seperti cerita saat di SMPN1 Matangglumpang Dua, karena sebagian besar kami masuk SMAN Peusangan (saat ini SMAN 2 Matangglumpang Dua), disitu juga lagi-lagi dibentuk grup seudati SMAN Peusangan, dengan pelatih dan asisten yang sama, adalah Syeh Yacob Makmur dan Bapak Hasbullah.
Selepas tamat SMAN Peusangan, pada tahun 1994 saya melanjutkan kuliah ke PAM-K (Pendidikan Ahli Madya Keperawatan) Depkes RI Banda Aceh, atau lebih dikenal dengan Akper Depkes RI Banda Aceh , sekarang Poltekkes Aceh, jurusan Keperawatan, yang kampusnya tepat didepan Masjid Al Makmur Lampriet (saat ini adalah Masjid Oman Lampriet).Saat PPSM atau lebih dikenal dengan ordikmaru, ada tema acara “Toeh Bakat Gata”. Saya dengan percaya diri menampilkan tarian seudati dihadapan Abang dan Kakak panitia dan rekan-rekan mahasiswa baru. Sejak saat itu saya dikenal piawai memainkan tarian Seudati.Memasuki semester 3, atau tingkat 2 , kami diberikan kesempatan sebagai pengurus Senat Mahasiswa. Atas usulan dan desakan kawan-kawan, saya diminta untuk ajarkan mereka tarian Seudati.Awal mula saya ajarkan kawan-kawan yang laki-laki, namun kandas. Saat diawal-awal, semua semangat. Dalam proses latihan banyak yang tidak disiplin ikut latihan bahkan ada yang tidak ikut lagi latihan.
Berikutnya ada kawan yang perempuan usulkan kalau anak perempuan saja yang dilatih. Awalnya saya sempat kurang sreg dan kurang semangat karena pengalaman kegagalan yang sudah terjadi pada anak laki-laki. Karena selalu didesak, akhirnya saya setuju untuk melatih kawan-kawan saya yang perempuan. Dan hasilnya luar biasa…mereka cepat sekali menguasai gerakan dan syairnya. Kami tampil pada acara perpisahan dan Dies Natalis Kampus.Berikutnya saya latih adik-adik leting, juga yang perempuan, dan kami sempat ikut perlombaan atau festival tarian tradisional yang diadakan oleh Unsyiah, dan kami tampil sebagai juara pertama.
Oh ya…sedikit saya singgung terkait panggilan saya dengan panggilan “Syeh”. Panggilan Syeh ini bermula dari ide kawan saya Dani Indra , yang sengaja memanggil saya dengan “Syeh” di depan kawan-kawan yang lain , yang akhirnya diikuti oleh semua kawan-kawan dan merembes sampai kepada para dosen dan bahkan direktur Akper Depkes RI saat itu, Bapak Anwar Affan (Alm).
Sekelumit Sejarah Seudati
Seudati mulai dikembangkan sejak masuknya agama Islam masuk ke Aceh. Penyair Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Untuk membuktikan darimana awal tari ini lahir dan kapan tari seudati lahir memang belum ada ditemukan yang memiliki keakuratan yang baik. Namun dari sejumlah tulisan tentang tari seudati memiliki beberapa pandangan tentang asal usul tari seudati ini.
Tari Seudati pada mulanya tumbuh dan berkembang di pesisir Aceh, Misalnya di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Sumber lain yang juga menjelaskan bahwa dasar lahir tari seudati adalah di Kabupaten Aceh Utara, seperti disampaikan oleh T. Alamsyah yang merupakan salah seorang tokoh seudati Aceh asal Aceh Utara. Menurut T. Alamsyah adalah benar Syeh Tam berasal dari Pidie, tetapi beliau mempelajari tari seudati di Kabupaten Aceh Utara. Ketika beliau mempelajari tari seudati beliau adalah syeh dengan sebutan syeh Tam Pulo Amak dengan aneuk syahi pertama adalah Rasyid yang kemudian popular dengan sebutan syeh Rasyid atau Nek Rasyid Bireuen.
Bila melihat dari sejumlah sumber sepertinya tari seudati muncul di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Pidie dan Aceh Utara. Hal ini dikuatkan dengan munculnya syeh-syeh dari daerah tersebut, seperti syeh Amat Burak, syeh Rasyid Rawa, syeh Maun Kunyet, syeh Lah Bangguna dari Pidie, syeh Usuah Pandak, syeh Puteh Raja Ngang, syeh Ampon Nyak, Syeh Ampon Bugeh dari Aceh Utara,Syeh Rasyid Bireuen, Syeh Lah Geunta.Perkembangan Tari Seudati kemudian menyebar ke daerah Aceh lainnya termasuk ke barat dan selatan Aceh. Di sana muncul Tari Seudati dengan syeh yang cukup popular, seperti syeh Raja Jaman, syeh Young Rimba, Syeh Dien Burat Tapa, Seuman, dan syeh Hatta.Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini menjadi salah satu kesenian milik masyarakat Aceh. Tari Seudati berasal dari kata Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/ pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh.Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini berkembang di Aceh terutama Aceh bagian pesisir.Tarian ini dibawakan dengan mengkisahkan berbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan persoalan secara bersama-sama.
Pada mulanya tarian Seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan atau diperagarakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba atau pada malam bulan purnama. Dalam ratoh dapat diceritakan berbagail dari kisah sedih, gembira, nasihat, sampai kisah-kisah yang membangkitkan semangat juang.Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh pada umumnya berasal dari negeri Arab. karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. di antaranya, adalah syeikh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan syair yang berarti nyanyian.Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.
Dalam permainan seudati terdiri dari beberapa babak/sesi, yaitu : Saleum aneuk, saleum syeh, Likok, saman, kisah, pansi, lanie/gambus pembuka, gambus penutup. Syair-syair Seudati berisi pesan-pesan agama Islam, pesan adat/hadihmaja, pembakar semangat dan kisah-kisah sejarah Aceh. Sejalan dengan perkembangan pembangunan dan dinamika di Aceh, syairnya juga bisa disesuaikan. Seorang syeh ataupun aneuk syahi yang handal, dia dapat menciptakan syair-syair secara spontanitas sesuai dengan kondisi saat tampil. Syairnya berbentuk pantun bersajak ab ab.Tari Seudati ditarikan oleh delapan laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu syeh, satu orang pembantu syeh, dua orang pembantu disebelah kiri (disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang disebut peet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.Tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah, dan ketipan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan.