Biografi Singkat : Sultan Tanpa Istana

Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat adalah seorang sultan terakhir dari Kerajaan Atjeh Darussalam. Beliau adalah seorang sultan yang tidak sempat mengenyam hidup enak seperti layaknya seorang raja dari sebuah kerajaan besar. Sejak dinobatkan pada tahun 1874 di Mesjid Indrapuri hingga menyerah pada 10 Januari 1903, sang Sultan praktis tidak pernah merasakan nikmatnya hidup di dalam istana. Istana beliau adalah medan perang tempat berkecamuknya Perang Atjeh yang sangat fenomenal itu.

Tuanku Muhammad Daud Syah (Sumber : Tweeter @TeukuDjouhan

Menurut bacaan resmi yang beredar, beliau menyerah pada tentara Belanda karena keluarganya telah ditahan. Belanda menyebarkan isu bahwa keluarga yang ditahan itu telah disiksa dengan brutal sehingga Sultan menjadi sedih memikirkan keluarganya. Keputusan menyerah itu diambil dengan sangat berat hati karena dapat berpengaruh pada perjuangan rakyatnya.

Ada satu pertanyaan yang mengganjal ketika membaca sejarah itu, Seperti yang kita ketahui, beberapa raja yang menyerah kepada Belanda diberikan hak untuk kembali memerintah di negerinya. Bahkan para raja tersebut diberikan gaji dan bintang penghargaan oleh pemerintah Belanda. Timbul pertanyaan, kenapa Raja Atjeh justru dibuang setelah beliau menyerah? Bahkan beliau tidak hanya dibuang sekali tapi berpindah beberapa kali seperti layaknya seorang tahanan politik sekelas Bung Karno.

Pertanyaan itu terjawab, Rupanya sang Sultan hanya menyerahkan badannya saja ke tangan Belanda tetapi ia tidak menyerahkan negerinya. Terbukti dari beberapa catatan yang ada, Sultan masih mengorganisir perlawanan kepada Belanda ketika beliau berada di dalam tahanan kota. Beliau mengatur beberapa penyerbuan ke markas Belanda serta memberikan surat-surat yang berisikan kalimat-kalimat pembangun semangat kepada panglima perang dan rakyatnya

Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6 thn) disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan penasihatnya, Sultan datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Atjeh Jenderal Van Heutz dengan harapan dia akan mengakui kekuasaan pemerintah penjajah di Atjeh. Tetapi, harapan pembesar Belanda ini tidak menjadi kenyataan karena dia menolak menandatangani MoU damai dengan Belanda. Bahkan draf surat damai dirobek oleh Muhammad Daud Syah di pendopo Jenderal Van Heutz (pendopo Gubernur Atjeh sekarang).

Tuanku Muhammad Daud Syah diapit pengawalnya

Pada 3 Februari 1903, Muhammad Daud Syah diintenir (tahanan rumah) di kampung Kedah, Banda Atjeh. Dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di sekitar Kuta Raja. Walau Muhammad Daud Syah berada dalam tahanan rumah, menurut penyelidikan intelijen Belanda, dia masih memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Atjeh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907, ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Raja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T. Ibrahim Alfian, 1999 : 141).

Pengaruhnya yang masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Atjeh, Letnan Jenderal Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Atjeh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, istri, dan anaknya Tuanku Raja Ibrahim, serta Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog).

Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Atjeh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut:

“Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”

Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Sepuluh tahun menjalani pengasingan, pada 1917 Sultan Muhammad Daud Syah diperbolehkan memilih salah satu tempat kediamannya di Hindia Belanda kecuali di Sumatera. Sultan memilih Batavia sebagai tempat tinggalnya hingga pada 6 Februari 1939 mangkat di sana, dan dikuburkan di sebidang tanah yang kini menjadi TPU Utan Kayu, Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Kekeraskepalaannya dan keteguhan hati sang Sultan dalam melawan penjajahan, itulah hal ihwal kenapa makamnya tidak berada di Kandang XII, tidak di Kandang Meuh atau di komplek makam raja-raja Aceh lainnya. Melainkan di sebuah taman pemakaman umum sudut Kota Jakarta. Sekira 1557 mil dari negeri asalnya.

Membaca ulang sejarah Sultan Muhammad Daud Syah ini memang menyedihkan. Sultan rela meninggalkan istana untuk berjuang. Adapun saat ini, suasananya memang sudah berubah. Istana menjadi incaran setiap penguasa .

Manakala kita menengok ke makam beliau di Pemakaman Umum Rawamangun Jakarta. Makam sang Sultan, tak seperti layaknya makam seorang raja dari sebuah kerajaan besar, makam beliau hampir mirip dengan makam rakyat lainnya. Bahkan dibandingkan dengan makam rakyat biasa yang ada, makam Sultan cenderung kelihatan tak terurus.

Makam Tuanku Muhammad Daud SyahTaman Pemakaman Umum (TPU) Utan Kayu, Jalan Rawamangun Muka Raya, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Makam Sultan Muhammad Daud Syah di ‘pengasingan’, Jauh dari negerinya, sangat berjarak dari ingatan orang-orang Aceh sekarang. Di Banda Aceh nama Sultan Muhammad Daud Syah hanya ditabal pada sebilah jalan di kawasan Peunayong. Membentang antara delapan blok pertokoan, punya pangkal di sekitar Masjid Babul Zamzam dan berujung di Jalan Khairil Anwar.

SEJARAH BUKAN UNTUK DILUPAKAN, BANGSA YANG MELUPAKAN SEJARAH ADALAH BANGSA YANG SELALU SIAP DI JAJAH DAN DIBODOHI DENGAN TIDAK ADA PERLAWANAN SEDIKITPUN.

Referensi : T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh : Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999.

Foto dikutip dari :

Tweeter @TeukuDjouhan

https://steemit.com/indonesia/@bookrak/berziarah-ke-makam-sultan-terakhir-aceh-darussalam-201789t125435344z

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *