Antara Ucapan dan Amalan

Allah berfirman:

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerja kan amal shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Fushshilat: 33)

Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bagi para da’i bahwa mereka mengem ban tugas para nabi. Allah memerintahkan Ra sul-Nya untuk mengatakan, dakwah merupakan jalan beliau , dengan firmanNya:

Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Berdakwah Sesuai Kemampuan

Para ulama memberi kaidah, “Kewajiban itu berkaitan dengan kemampuan”. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al-Fatawa (3:312).

Allah berfirman :

Allah tidak membebani seserang me lainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. al Baqarah 286)

Di antara nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah

“Setiap orang dari umat ini punya kewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai kemampuannya Jika sudah ada vang berdakwah, maka gugurlah kewajiban yang lain jika tidak mampu berdakwah, maka tidak terkena kewajiban karena ke wajiban dilihat dari kemampuan Jika tidak ada yang berdakwah pa dahal ada yang mampu, maka ia terkena kewajiban untuk berdak wah” (Majmu’ al-Fatawa, 15:166)

“Jika pelaku maksiat sudah se makin keras kepala dan tidak mau berubah menjadi baik, bahkan jadi menyakiti orang yang melarang dari kemungkarannya, maka da lam kondisi seperti ini gugurlah kewajiban mengingkari kemung karan dengan lisan, namun tetap punya kewajiban mengingkari ke mungkaran dengan hati.” (Majmu al-Fatawa 2: 110)

Hal Yang Menyedihkan

Sangat disayangkan kita seorang da’i dan kita sebagai manusia biasa, mengajak manusai kepada hal yang baik, namun dirinya sendirinya tidak lah mengamalkannya, maka hal ini adalah salah satu hal yang sangat berbahaya. Itulah sebab datangnya murka Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat be sar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. as Shaff: 2-3)

Allah juga mencela perilaku Bani Israil dengan firman-Nya :
“Mengapa kamu suruh orang lain me ngerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Tau rat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah: 44)

Berkaitan dengan para penceramah dan mubaligh terdapat hadits khusus. Dari Anas bin Malik, Rasulull ah bersabda

“Saat malam Isra’ Mi’raj aku melin tasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.” “Siapakah mereka” tanya ku kepada Jibril. Jibril mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca firman firman Allah, tidakkah mere ka berpikir?

Ibnu Qudamah mengatakan, “Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia nasihatkan kepada ba nyak orang” (Al-Mughni, 3/180)

Abu Darda berkata, “Tanda ke bodohan ada tiga; pertama menga gumi diri sendiri, kedua banyak bicara hal yang tidak manfaat, ketiga mela rang sesuatu namun melanggarnya. (lami Bayan al-Ilmi wa Fadhlih, 1/143)

Jundub bin Abdillah al-Bajali berkata, “Gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain tapi melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi sekelilingn ya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih. 1/195)

Bahkan sebagian ulama memvonis gila orang yang pandai berkata namun tidak mempraktekkannya ka rena Allah berfirman, “Tidakkah mere ka berakal?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Manshur al-Fakih berkata dalam syairnya, “Sungguh ada orang yang menyuruh kami melakukan sesua tu yang mereka tidak melakukann. ya, sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka tidaklah berterus terang” (Tafsir Qurthubi, 1/410)

Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan har uslah orang yang sempurna, melak sanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meskipun orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan. Demikian pula kewajib an nahi mungkar itu tetap ada meski orang tersebut masih mengerjakan apa yang dia larang. Hal ini dikare nakan orang tersebut memiliki dua kewajiban, pertama memerintah dan melarang diri sendiri, kedua memerintah dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah ditinggal kan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)

Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian ulama, “Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu me lakukannya dan tidak khawatir adan ya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena melak sanakan amar makruf terlebih jika ka ta-kata orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Ada pun orang yang beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik. Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika tidak ada orang yang me menuhi kriteria.” (Fathul Baari, 14/554)

Ancaman Bagi Yang Tidak Mengamalkan Ilmu

Dari Usamah bin Zaid Nabi stehen bersabda,

“Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilem parkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lan tas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang me merintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerin tahkan kalian kepada kebaikan teta pi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989)

Lihatlah pula perkataan Ibnu Mas’ud “Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkan nya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Dise- butkan oleh Imam Adz Dzahabi da lam al-Kabair, hal. 75)

Maka hati-hatilah dari salah niat. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi bersabda,”Siapa yang belajar agama karena selain Allah atau ia menginginkan dengan ilmu tersebut selain Allah-, maka hendaklah ia menempati tem patnya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2655. Tirmidzi mengatakan bahwa ha dits ini hasan ghorib, sedangkan Syai kh al-Albani mendhoifkan hadits ini).

Ada empat hal yang Nabi minta pada Allah untuk dijauhkan :

“Allahumma inni a’udzu min ilmin laa yanfa’, wa min qolbin laa yakhsya’, wa min nafsin laa tasyba’, wa min da’watin laa yustajaabu lahaa (artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan).” (HR. Muslim no. 2722). Wallahu’alam

( Ustadz Rifaq Lc)
Blog : buletin-alfurqon.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *