Bung Hatta, Proklamasi Dan Piagam Jakarta
Ramadhan 1364 H bertepatan dengan Agustus 1945. Bulan Agustus menjadi bulan terkelam bagi Jepang. Setelah Hiroshima hancur lebur, beberapa hari kemudian tanggal 14 Agustus, Tentara Sekutu memuntahkan bom atom ke Kota Nagasaki. Kepulan asap mahadahsyat sepanjang sejarah saat itu tak terelakkan. Dari jalan berkilo-kilo, gumulan asap bak tangkai mawar itu terlihat. Ratusan ribu umat manusia dalam sekejap lenyap. Kota yang penuh denyut kehidupan itu kini berhenti berdetak.
Tokyo menyerah Kepada Sekutu! Jepang mengaku kalah dalam Perang Dunia II yang sampai di ujungnya. Berita-berita Jepang menyerah Kepada Sekutu menjadi ulasan paling penting di media internasional. Memang tak mudah mendapatkan berita tersebut, apalagi pihak Jepang di Indonesia menutup-nutupinya.
Sukarno dan Hatta yang masih menanti harapan dan janji kemerdekaan pada jepang seakan masih tak percaya mendengar simpang siur kekalahan Jepang. Memang, setelah dibubarkan BPUPKI, Jepang membentuk Panitia Pelaksanaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebelum Sukarno dan Hatta menemui Jenderal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengabarkan bahwa Kaisar meresstui Kemerdekaan Indonesia.
Berita menyerahnya Jepang memang simpang siur di Indonesia. Bagi kaum yang memercayainya, khususnya para pemuda yang gejolak semangatnya sangat tinggi, menuntut segera para tokoh nasional seperti Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan.
Namun, Sukarno-Hatta masih ingin meastikannya pada Jepang, berharap PPKI dapat berjalan sebaik-baiknya. Tentara PETA (Pembela Tanah Air) dan para pemuda seperti Wikana Chaerul Saleh, dan Soekarni mendesak Bung Karno untuk bersua dengan masyarakat, memproklamasikan segera Negara Indonesia.
Para tokoh PETA dan pemuda ini sempat bersua dengan perwakilan ulama K.H. Abdul Mukti. Kiai Abdul Mukti merupakan Konsul Muhammadiyah yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Harian Masyumi di Jakarta.
“sebaik-baiknya memilih tanggal dengan segera ialah 9 Ramadhan, bertepatan dengan 17 Agustus 1945,” kata K.H. Abdul Mukti yang pernah mendekam satu sel dengan para pemuda seperi Sukarni dan Khaerul Saleh saat masa kolonialisme.
Tampaknya darah kaum muda yang bergejolak memang tak sabaran. Rakyat di mana-mana sudah turun ke jalan meneriakkan ‘Indonesia Merdeka’. Sukarno dan Hatta masih saja menanti petunjuk jepang.
Kabar baru dating dari Soetan Sjahrir bahwa jepang bersedia berdamai dengan sekutu. Syahrir mendesak Hatta agar Indonesia diproklamasikan tanpa peran Jepang, karena sekutu akan mengecap Indonesia lahir sebagai buatan Jepang. Hatta pun mengaku setuju ide Syahrir dan segera bertemu dengan Bung Karno.
“kami belum sepenuhnya percaya. Oleh karena itu, aku ingin mengecek dulu dari gunseikanbu. Besok kami berdua, [aku dan] Bung Hatta akan pergi ke sana,” Kata Sukarno.
Sukarno berpendapat proklamasi kemerdekaan adalah tugas PPKI, bukan dirinya sendiri mengatasnamakan Rakyat Indonesia. Hari semakin senja, para pemuda bergerak tak terkendali mendatangi Bung Karno. Silang pendapat alot semakin memanas hingga larut malam.
“apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan perampasan darah,” kata Wikana. Sukarno tak kalah naik pitam, dia bersikukuh pada pendapatnya menanti besok bertemu jepang tanggal 16 Agustus dan paginya melaksanakan rapat PPKI.
Rapat para pemuda dengan Sukarno bubar. Tak disangka, larut malam, para pemuda ini “menculik” Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok. Pengasingan ini diniali untuk menekan Bung Karno agar berani terhadap Jepang dan juga mengamankan pemimpin PPKI Ini kalua ada apa-apa.
Di Jakarta sendiri, suasana semakin memanas. Mewakili Bung Karno yang tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi entah kemana, Mr. Achmad Subarjo bersua dengan perwakilan para pemuda yang mendesak segera diproklamasikan kemerdekaan.
“saya menjamin besok paling telat 17 Agustus jam 12.00 siang kemerdekaan diproklamasikan. Taruhannya nyawa saya. Tembak saya kalu tidak terjadi. Kembalikan Bung Karno dan Hatta ke Jakarta, pertemukan saya dengan mereka,” kata perwakilan kelompok tua itu di Jakarta.
Sedangkan di pengasingan di Asrama PETA di Rengasdengklok, para pemuda ini berdiskusi dengan dua calon proklamator kita itu, meminta agar paling lambat besok 17 Agustus segera diproklamasikan kemerdekaan. Suasana sangat panas dan tegang terjadi.
Mohamad Rum menulis dalam Bunga Rampai Sejarah, seandainya Sukarno dan Hatta tidak “diculik” tak mungkin kelak akan muncul keteguhan hati, keberanian Sukarno dan Hatta berdialog dengan pemimpin militer Jepang saat itu, Mayor Jenderal Nishimura Otoshi sekembalinya mereka dari pengasingan di Rengasdengklok karawang.
Setelah Subarjo menjamin dengan nyawanya, Sukarno-Hatta kembali. Rupanya mereka langsung dipanggil oleh soomubucho dari Mayjen Nishimura.
“Tentara Jepang di Jawa menerima perintah dari atasan tidak boleh lagi mengubah status quo. Petinngi Tentara jepang sangat sedih bahwa apa yang dijanjikan kepada Indonesia merdeka tidak dapat kami tolong menyelenggarakannya. Dari tengah siang tadi, tentara Jepang merupakan alat Sekutu dan kami harus menurut segala perintah Sekutu,” kata Nishimura menyambar bak petir di siang bolong.
Harapan Sukarno agar PPKI dapat bersidang dan mengumumkan kemerdekaan Indonesia seakan kandas. Hatta bilang bahwa kemerdekaan Indonesia sudah diserahkan kepada PPKI oleh kaisar Jepang, dan akan dilaksanakan rapatnya nanti malam pukul 12.00 di rumah Laksamana Maeda Tadashi, petinggi tentara Jepang yang bersimpati pada Indonesia.
Dua jam berdepat tak menghasilkan apa-apa, mereka meninggalkan kediaman Nishimura dan kembalik kerumah Laksamana Maeda. Di sana sudah berkumpul ratusan pemuda, puluhan anggota Chuo Sangi In yang berada di Jakarta juga anggota PPKI. Saat itu, Hatta mengaku tak membawa pernyataan proklamasi yang sudah dibuat tanggal 22 Juni 1945.
“ kami duduk sekitar sebuah meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang meproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang pun di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945,” Kenang Hatta.
Setelah mencapai kebulatan tekad, semua bersepakat bahwa Sukarno-Hatta didaulat mengatasnamakan rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan nanti pagi jam 10.00 di halaman rumah bung Karno. Dalam suasana haru di bulan Ramadhan, mereka pun bersantap sahur bersama.
Laksamana Maeda tak menyediakan nasi. Hanya ada beberapa butir telur, rroti, dan ikan sarden. Dengan lahap, mereka menyuapkan roti ke dalam mulut masing-masing. Mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Usai shalat, Bung Hatta tertidur sejenak di rumahnya.
Semburat pagi menyapa jalanan padat untuk ukuran masa itu ibu kota. Tentara Jepang mencium gelagat tak beres. Ratusan tentara PETA berdatangan ke Pegangsaan Timut. Tanggal 9 Ramadhan, pagi-pagi ada suasana yang begitu aneh.
Suasana yang dinanti-nanti. Berbilang abad, negeri impian itu kian dekat, jelas sekali di depan mata. Piagam Jakarta yang tersimpan rapi selama 52 hari akan dimulai dijalankan. Kesepakatan Bapak-Bapak Bangsa akan Syariat akan mewujuf.
Berbilang abad, darah para syuhada membanjir di penjuru negeri. Api yang terus berkobar di pelosok negeri. Cahaya yang menyelusup anak-anak bangsa. Kini, negeri impian itu semakin dekat. Bangsa ini menyatakan Kemerdekaannya!
Dalam suasana haru dan sangat sederhana, negeri ini diproklamasikan. Atas berkat rahmat Allah, negeri ini merdeka!
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Dalam riuhnya dalam riuhnya, kebersahajaan proklamasi begitu memikat. Tanpa pidato, tanpa konferensi pers, tanpa awak media internasional, tanpa tinta emas, tanpa naskah terketik rapi, tanpa tiang bendera. Semuanya sederhana. Begitu bersahaja, di hadapan Bung Karno.
Air mata haru mengguyur deras bumi Bumi Pertiwi. Negeri ini merdeka, Ya Rabb!! Negeri yang kami impijan, kami nantikan, kami rindukan. Tak salahlah kami haturkan sejumput syukur dengan menjalankan syariat-Mu!
kolonel Latif yang tak tahu protokol mendekat ke tiang yang hanya berbalut bambu itu. Dikereknya bendera yang ia pegang sendiri, dia buka, dan dia pasang sendirian.
Semua pasang mata tertuju pada sang saka.
Merah putih kini berkibar di atas bambu itu… begitu sederhana dan bersahaja.
“. . . Indonesia Raya . . . Merdeka Merdeka . . .”
***
Gegap gempita menyeruak qalbu. Suasana haru membanjiri seantero Indonesia. Ya Indonesia! Negeri Indonesia kini benar-benar ada. Indonesia merdeka bak mimpi. Tapi, ini bukan mimpi! Ini nyata! Ini benar-benar nyata!
Dalam sunyi, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tentara Jepang berang bukan kepalang. Bukankah kini mereka harus menjaga keamanan menggantikan Sekutu yang akan datang!
Revolusi terjadi di mana-mana. Laskar-laskar merayakan kemedekaan negeri ini. Laskar Masyumi, Hizbullah pun turun ke jalan, merampas senjata Jepang yang telah kalah. Gudang-gudang senjata dibobol, dirampas, dan diambil alih para pejuang.
Daidancho PETA di ibu kota, Kasman Singodimedjo meminta seluruh jajaran PETA menolak menyerahkan senjata kepada Jepang. Terjadilah baku tembak di mana-mana! Rakyat melawan Jepang. Di sana sini, di berbagai daerah, rakyat beraksi melawan Jepang.
Kemerdekaan telah diproklamasikan. Corong-corong Radio menyiarkannya ke seantero negeri. Rasa syukur kian menyesap ke hari yang terdalam. Esok, kelak, negeri ini akan menjalankan syariat, kesepakatan luhur para pendiri bangsa. Naumn, kejadian sepenggal senja di Hari Proklamasi benar-benar menyesakkan dada.
Rupanya kasak-kusuk tentang kesepakatan luhur masih menjadi perbincangan. Khusunya kaum yang tak rela akan gentlemen agreement. Kaum yang masih saja menolak kesepakatan bangsa yang tak berani menunjukkan muka, bermain lewat kasak-kusuk di belakang layar.
Lembayung masing menguning hebat di ufuknya. Langit tersepuh merah padam. Mentari sedang berjalan ke peraduannya. Para tokoh kembali ke rumahnya masing masing, Sukarno bersiap untuk sidang esok, rapat PPKI di Pejambon, mengesahkan Undang-Undang yang rancangannya sudah di sepakati 16 Juli silam.
Bung Hatta sendiri sudah berda di rumahnya. Dalam keadaan damai menurut oengakuan Bung Hatta yang kelak dipertanyakan tiba tiba saja bunyi telepon berdering hebat. Suara di sebereang sana memperkenalkan diri sebagai Nishijima, staf khusus Laksamana Maeda.
“Bisakah engkau menerima seorang opsir kaigun (Angkatan Laut) karena dia mau mengemukakan hal yang sangat penting,” kata suara di ujung telepon sana, kenang Hatta dalam memoir-nya.
Bung Hatta mengklaim bahwa opsir tersebut yang kata dia lupa namanya menyampaikan aspirasi dari kalangan Protestan dan Katolik yang berkeberatan dengan dasar negara yang berbunyi ‘Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Pertama kali dalam sejarah, orang yang tak dikenal ini mengatur-atur Kesepakan bangsa yang benar-benar memeras energi, otak, keringat atas nama Kaum Kristen dan Protestan, meminta tujuh kata itu dicoret.
“Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat yang beragama Islam. Tetaou tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika ‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia…,” Kenang Hatta.
Rupanya, para pengkhianat NKRI di Indonesia Timur ini, lebih baik memilih memisahkan diri dari NKRI yang baru seumur jagung. Bung Hatta pun mengaku bahwa sungguh, Mr. A.A. Maramis tak berkeberatan dengan pancasila yang mereka sepakati.
Tapi keseriusan Opsir Angkatan Laut Jepang yang tidak diketahui namanya membuat Hatta termenung. “ karena Opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan “Bersatu kita teguh berpecah kita jatuh”, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandanganku,” Kenang Hatta.
Keadaan yang mendesak agar Indonesia segera membentuk pemerintahan sendiri rupanaya menggoyahkan Bung Hatta seakan lupa akan ucapannya sendiri agar memegang teguh gentlemen agreement, lupa akan kesepakatan luhur, lupa akan perjuangan umat Islam yang berkorban, dan memilih untuk mendukung para pemberontak yang mengatasnamakan kaum Katolik dan Protestan.
“Apakah Indonesia meredeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenranya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti aerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan menguasa,” angan-angan liar Bung Hatta terbayang.
Bung Hatta terdiam sejenak dia berkata kepada sang opsir yang hingga sekarang tak diketahui siapa namanya. “Esok hari dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat penting itu.”
Bung Hatta pun malah bersikap lunak kepada pemberontak. “aku minta dia menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras kepala itum supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda…,” Kenanga Hatta.
Kelak sejarah mencatat, pengkhianatan pertama kepada bangsa ini. Peengkhianatan pertama kepada kesepakatan luhur yang diagung-agungkan, pengkhianatan yang tertoreh sebagai sejarah kelam bangsa ini.Sumber: Rizki Lesus, Perjuangan Yang Dilupakan, Hal. 70 – 82.