KISAH WAKAF HABIB BUGAK AL-ASYI

Setiap tahunnya, jamaah haji asal Aceh menerima uang wakaf sebesar 1.200 riyal Arab Saudi atau Rp4,8 juta (kurs Rp4.000 per riyal) dan satu mushaf Alquran.

Uang tersebut berasal dari hasil pengelolaan dan pengembangan Wakaf Habib Abdurrahman bin Alwi Alhabsyi atau lebih dikenal dengan Habib Bugak Al-Asyi, sejak 200 tahun yang lalu.

Wakaf Habib Bugak tersebut merupakan wakaf produktif yang mengelola sejumlah hotel di kawasan Masjidil Haram serta tanah dan perumahan bagi warga keturunan Aceh di Arab Saudi.

Kini, ada lima aset yang dikelola oleh wakaf Habib Bugak Al-Asyi yang hasil sejumlah pengelolaannya dibagikan untuk jamaah haji Aceh di Makkah:

1. Hotel bintang 5 Elaf Masyaer, berkapasitas 650 kamar di wilayah Ajiyad Mushafi, berjarak sekitar 250 meter dari Masjidil Haram.

2. Hotel bintang 5 Ramada, berkapasitas 1.800 kamar, di wilayah Ajiyad Mushafi, sekitar 300 meter dari Masjidil Haram.

3. Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziah. Bisa menampung 750 jemaah haji, di bangun di atas tanah 800 meter persegi.

4. Tanah dan bangunan seluas 900 meter di Aziziah. Digunakan sebagai Kantor Wakaf Habib Bugak Asyi di Mekkah.

5. Gedung di kawasan Syaikiyah yang di beli pada 2017 oleh Naazir Wakaf Baitul Asyi senilai 6 juta riyal. Gedung ini dijadikan tempat tinggal warga Arab Saudi keturunan Aceh dan orang Aceh yang bermukim di Arab Saudi secara gratis, tanpa batas waktu tinggal.

2 (dua) hotel di atas (Elaf Masyaer dan Ramada) adalah favorit orang-orang Indonesia, karena jaraknya yang dekat Masjidil Haram di Jalan Ajyad dan harganya cukup terjangkau dibanding yang setara lainnya. Makanya okupansinya sangat tinggi.

Diperkirakan nilai asset wakaf Baitul Asyi di Mekkah saat ini sebesar Rp 25 T.

Sesuai ikrar wakafnya, setiap warga Aceh yang berangkat haji dan pelajar Aceh yang belajar di Saudi akan mendapatkan uang dividen atau bagi hasil dari penghasilan hotel tersebut.

Okupansi hotel-hotel tersebut sangat tinggi, sering penuh, karena termasuk favorit jamaah haji dan umrah. Tahun 2019 jamaah haji Aceh mendapatkan dividen sebesar Rp 22 milyar yang dibagikan rata ke semuanya.

Awal mula cerita terjadi pada tahun 1800-an. Habib Bugak yang saat itu masih berada di Aceh, sudah memiliki gagasan untuk mengumpulkan uang, guna membeli tanah di Makkah untuk diwakafkan kepada jemaah calon haji.

Menurut keterangan petugas Wakaf Baitul Asyi di Mekkah, Tgk Jamaluddin Affan, selain dari dana yang dimilikinya sendiri, Habib Bugak menjadi inisiator pengumpulan dana dari masyarakat Aceh saat itu.

Pada masa lalu perjalanan haji dilakukan menggunakan kapal laut yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. Tak sedikit pula jemaah calon haji yang kemudian menetap di Arab Saudi.

Saat itu bahkan belum ada Kerajaan Arab Saudi seperti sekarang ini, belum ada Indonesia. Di Makkah masih dikuasai oleh Turki Ustmani.

Ketika Habib Bugak berangkat ke Tanah Suci, lanjutnya, sudah membawa bekal dana untuk wakaf. Dan begitu sampai, niatan wakaf itu direalisasikannya. Dia membeli tanah yang lokasinya kala itu persis di samping Masjidil Haram.

Lalu di atas tanah itu didirikan penginapan untuk menampung jemaah calon haji asal Aceh. Jemaah pun tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama berada di Makkah.

Ketika Kekhalifahan Turki berakhir, tidak lagi menguasai kawasan Arab tersebut, dan pemerintahan berganti. Pemerintah kala itu kemudian melakukan penataan, perapian administrasi. Setiap tanah termasuk tanah wakaf harus ada penanggungjawabnya. Harus ada satu nama yang bertanggung jawab.

Para tokoh yang ikut menyumbang dana untuk tanah wakaf itu kemudian bersepakat agar Habib Bugak menjadi penanggung jawab dari tanah itu. Habib Bugak sempat menolak.

Habib Bugak Al Asyi sempat menolak karena dia tidak ingin ketika namanya digunakan sebagai penanggungjawab wakaf, dana tersebut akan diambil keluarganya. Habib Bugak murni ingin agar tanah wakaf itu digunakan untuk kepentingan jemaah Aceh.

Akhirnya, di depan mahkamah pencatatan wakaf, dimasukkanlah syarat mengenai penggunaan tanah wakaf itu maupun hasil uang dari pengelolaannya. Habib Bugak–yang akhirnya setuju namanya dipakai sebagai penanggung jawab–dalam ikrarnya menyatakan bahwa wakaf itu hanya diperuntukkan kepada jemaah asal Aceh.

Syarat itu mengikat, hanya untuk jemaah haji asal Aceh. Baik mereka yang sudah menjadi warga negara di Saudi maupun yang statusnya mukimin.

Lalu saat Masjidil Haram direnovasi, tanah wakaf ini termasuk digunakan untuk perluasan lintasan thawaf. Oleh nadzir (pengelola) wakaf, uang ganti rugi digunakan membeli dua bidang tanah di kawasan yang berjarak 500-an meter dari Masjidil Haram.

Tanah itu dibangun hotel oleh pengusaha dengan sistem bagi hasil. Dari situ lah, bonus untuk jemaah Aceh mengalir tiap musim haji. Seperti pada tahun ini, lebih dari Rp 20 miliar dibagikan kepada seluruh jemaah asal Aceh.

Sebagai informasi tambahan, Sayyid Abdurrahman itu kelahiran Mekkah, kakek buyutnya adalah ulama besar Mekkah yang menjadi Mufti di Mekkah. Adalah wajar seorang ulama memiliki rumah di sekitar Ka’bah. Konon lagi, Ka’bah dan dan sekitarnya termasuk Masjidil Haram adalah sesuatu yang dulu turun temurun dijaga dan dipelihara oleh para Sayyid bahkan sejak kakek-kakek Nabi Muhammad saw, indatu Habib Abdurrahman.

Jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tanah wakaf di Mekkah bukanlah milik Habib Bugak, tentu bernada tendensius ghalil adab tanpa dasar. Karena Habib Bugak sendiri atau keluarga dan keturunannya tidak pernah menganggap atau mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Karena tanah tersebut memang sudah diwakafkan kepada masyarakat Aceh dan sudah tidak lagi menjadi harta pribadi atau keturunannya. Namun jika terjadi penyelewengan terhadap tanah tersebut, adalah menjadi kewajiban keturunan Habib untuk meluruskannya.

Demikian pula yang menyatakan bahwa wakaf Habib Bugak sebagai wakaf Baitul Asyi adalah tidak tepat sama sekali. Hal ini menyimpang dari sejarah dan tujuan wakaf itu sendiri yang telah diberikan oleh Habib Bugak dua ratus tahun lalu. Demikian pula sampai saat ini, tanda nama daripada wakaf tersebut di Mekkah adalah jelas tertulis, “Waqaf Habib Bugak Asyi,” bukannya Waqaf Baitul Asyi. Perubahan nama ini akan menghilangkan sejarah wakaf, sekaligus dapat melupakan sang pemberi wakaf.

Adapun tempat tinggal dan makam Sayyid Abdurrahman, adalah tidak dapat diragukan lagi, tentu di Peusangan, Monklayu dan wafat di Bugak. Sejauh ini, tidak ada wilayah yang terdapat kampung yang bernama tersebut, kecuali di sekitar Bireuen. Bukan di Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, ataupun lainnya. Dalam hal ini, perkumpulan para Sayyid Aceh yang tergabung dalam Rabithah Alawiyah Aceh telah sepakat bahwa Sayyid Abdurrahman atau Habib Abdurrahman bertempat tinggal di sekitar Monklayu, Peusangan, dan Bugak. Karena terakhir tinggal di Bugak, maka beliau digelar sebagai Habib Bugak Al-Asyi. Pernyataan ini diperkuat dengan sarakata yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah dan Sultan Mansyursyah.

Menurut penelitian yang dilakukan sejak tahun 2007 oleh Tim Red Crescent yang dipimpin Dr Hilmy Bakar atas bantuan dan bimbingan Dr Alwi Shihab (mantan Menko Kesra), Prof. Alyasa Abubakar (mantan Kadis Syariat Islam Aceh), Prof. Yusny Saby (mantan Rektor IAIN Ar-Raniry), Prof. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Baiturrahman), dan lain-lain, Habib Abdurrahman Al-Habsyi yang juga dikenal sebagai Habib Bugak Al-Asyi, selain sebagai pemberi Waqaf Habib Bugak di Mekkah, ternyata juga memiliki peranan yang signifikan dalam sejarah perdamaian Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pasca pelengseranan Dinasti Sayyid Jamalullayl sebagai penguasa, pasca-dimakzulkannya Sultanah Kamalatsyah pada tahun 1699 M.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, setelah wafatnya Sultan Iskandar Tsani, kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh putri Sultan Iskandar Muda, yang juga Permaisuri Sultan Iskandar Tsani, Sultanah Safiatuddin yang dilanjutkan saudari-saudarinya atas bimbingan dan asuhan ulama kharismatis Syekh Abdul Rauf al-Singkili yang dikenal juga sebagai Maulana Syiah Kuala yang menjabat Qadhi Malik al-Adil.

Ketika beliau wafat, para ulama sepakat memakzulkan Sultanah Kamalatsyah dan digantikan oleh suaminya, Sayyid Badrul Alam Ibrahim Jamalullayl sebagai Sultan Aceh yang baru. Sejak saat itu Aceh di bawah Dinasti Sayyid Jamalullayl yang berasal dari Mekkah, sebagai utusan Syarif Mekkah ke Kerajaan Aceh Darussalam.

Sistem kepemimpinan yang Islamis dan sangat kosmopolis di Kerajaan Aceh Darussalam masa itu, telah memungkinkan “orang luar” menjadi Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam. Kepemimpinan bukan hanya ditentukan oleh garis keturunan saja, tapi yang terpenting kualitas kepemimpinan seseorang, sebagaimana dicontohkan Sultan Iskandar Muda yang telah menunjuk penggantinya Sultan Iskandar Tsani yang diketahui bukan orang Aceh, tapi berasal dari Pahang di Semenanjung Melayu. Tradisi inilah yang diikuti para Sultan sesudahnya, sehingga menjadikan Kerajaan Aceh sebagai miniatur negara Islam internasional, atau “Serambi Mekkah”.

Selama hampir 25 tahun dinasti Jamalullayl menjadi penguasa Kerajaan Aceh Darussalam, telah menimbulkan pergesekan di kalangan elite penguasa dan para bangsawan, yang berujung pada pergantian Sultan, yang menaikkan seorang pengusaha kaya raya, dengan gelar Orang Kaya Maharaja Lela yang berketurunan darah Bugis. Pergantian Dinasti ini telah menimbulkan konflik di kalangan para pengikut kedua belah pihak Dinasti.

Adalah menjadi tradisi Para Sultan Aceh sejak Kerajaan Perlak ataupun Pasai terdahulu untuk menjalin hubungan dekat dengan Syarif Mekkah dan senantiasa meminta penasihat dari penguasa pusat spiritual dunia Islam yang secara tradisi dipimpin oleh para keturunan Rasulullah saw. Demikian pula halnya dengan Sultan Aceh dari Dinasti Bugis yang tengah berkuasa. Sang Sultan meminta Syarif Mekkah untuk mengirimkan para ulama yang akan membantu memelihara perdamaian di Kerajaan Aceh yang mulai bergejolak akibat pergerakan dari Dinasti Jamalullayl terdahulu.

Pada sekitar tahun 1760-an, Syarif Mekkah telah mengirim serombongan alim ulama ke Kerajaan Aceh, yang terutama di antaranya adalah Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi berasal dari Hadramawt Yaman, Syekh Abdullah Al-Baid dan lain-lainnya. Para alim ulama ini mengajar dan berdakwah di Bandar Aceh Darussalam dan membantu Sultan sebagai penasihat kerajaan. Mereka melanjutkan tradisi para pendahulunya sebagai utusan resmi Syarif Mekkah di Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah selesai menjalankan tugas di Bandar Aceh, Sayyid Abdurrahman bersama sahabatnya, Syekh Abdullah berpindah ke Aceh bagian timur, yang dikenal sebagai Matang Bireuen sekarang.

Sayyid Abdurrahman tinggal di sekitar pantai ujung delta Krueng Tingkem, yang dikenal dengan Monklayu, sedangkan sahabatnya Syekh Abdullah tinggal di penggiran Sungai Tingkem sebelah atas, yang sekarang dikenal sebagai Awee Geutah. Hubungan kedua sahabat ini terjalin harmonis sampai beberapa generasi, diketahui banyak terjadi hubungan perkawinan antara keturunan Sayyid Abdurrahman dengan keturunan Syekh Abdullah.

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Nazir Waqaf Habib Bugak di Mekkah yang ditunjuk oleh Habib Bugak, dari pertama harta tersebut diwakafkan sampai sekarang adalah keturunan Syekh Abdullah, sahabat seperjuangan beliau di Mekkah, Bandar Aceh sampai di Peusangan.

Sejarah Makam Habib Bugak Al-Asyi

Asal mula Makam Habib Bugak, sebagaimana diceritakan oleh para nara sumber dari kalangan keturunan Habib Bugak yang diperkuat oleh orang-orang tua di Bugak. Menjelang wafatnya, Habib Abdurrahman berwasiat agar dimakamkan di Pante Sidom Bugak, di tanah milik beliau sendiri dan menjadi orang pertama yang dimakamkan di kompleks makam para Habib di Pante Sidom Bugak.

Tanah makam adalah milik pribadi Habib Bugak berdasarkan Surat Sultan Aceh yang bertahun 1206 atau 1785 M. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Habib Bugak telah diberikan hadiah oleh para pemuka Negeri Peusangan, berupa “Tanah Kali Lileb” (Tanah Krueng Matee) dengan batasan-batasannya yang sesuai dengan lingkungan di sekitar Bugak saat ini. Surat ini diperkuat lagi oleh Surat Sultan Aceh bertahun 1257 atau tahun 1825 M yang menyebutkan beberapa nama Gampong diantaranya Bugak, Pante Sidom, Pante Peusangan dan lainnya yang masih eksis hingga sekarang.

Sejak tahun 2007, Red Crescent (Hilal Merah) secara berkala berinisiatif mengundang perwakilan keturunan Habib Bugak dari seluruh penjuru Aceh, maupun dari Medan, Jakarta sampai Malaysia, Dubai dan lainnya untuk datang ke Bugak dalam rangka silaturrahmi antar keturunan Al-Habsyi sekaligus untuk membahas rencana renovasi Makam, Setelah beberapa kali pertemuan disepakati makam segera direnovasi berkerjasama Lembaga Kemanusiaan Hilal Merah (Red Crescent) yang berpusat di Jakarta Terakhir keluarga besar sepakat untuk memberi Kuasa Bangun sepenuhnya kepada Lambaga Red Crescent.

Sejak Agustus 2007, Lembaga Hilal Merah bersama Forum Komunikasi Keturunan Habib Bugak dan masyarakat Bugak mulai melakukan perawatan, perencanaan dan pembangunan Makam Habib Bugak di Pante Sidom, Pante Peusangan Kecamatan Jangka Kab. Bireuen. Pembangunan tahap ke 3 berlangsung sampai tahun 2013.

Pemerintah Aceh melalui Surat Keputusan Pemerintah Aceh cq. Kepala Dinas Parawisata dan Budaya Aceh telah mengeluarkan keputusan bahwa sejak 1 Januari 2018 Makam Habib Bugak telah menjadi Situs Cagar Budaya Aceh dan menyerahkan penjagaannya kepada Sayed Muzakir bin Habib Abdurrahman bin Habib Abdullah Al-Habsyi.

Setelah diadakan musyawarah keluarga inti Habib Bugak, pada tanggal 04 Agustus 2018 para perwakan dan keturunan Habib Abdullah bin Zein Al-Habsyi telah bersepakat mengeluarkan surat pernyataan bersama bahwa tanah makam tersebut adalah TANAH WAQAF HABIB ABDURRAHMAN AL-HABSYI.

Pada tanggal 17 Februari 2018, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI M. Fachrudin, S.Sos bersama jajarannya (Danrem 011/Lilawangsa dan Dandim 0111/Bireuen) meninjau Makam Habib Bugak. Peninjauan dimaksudkan untuk membicarakan tentang rencana Opster TNI 2018 diantaranya pemugaran Makam Habib Bugak, ide pemugaran makam Habib Bugak ini pertama kall dicetuskan oleh Kasdam IM Brigjen TNI Achmad Daniel Chardin.

Pada tanggal 3 Juli 2018, setelah melaksanakan upacara pembukaan Opster TNI TA 2018 di Lapangan Bola Gampong Bang Asan Kec. Peusangan, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI M. Hafiffuddin, S.H, S.I.P, M.H beserta jajarannya, Bupati Bireuen dan seluruh unsur Forkopimda Bireuen melakukan peletakan batu pertama pembangunan makam Habib Bugak. Pekerjaan tahap pertama diharapkan selesai dalam 70 hari kerja.

Pada tanggal 10 September 2018 Pangdom Iskandar Muda Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko menutup pelaksanaan Opster TNI, termasuk didalamnya kegiatan pemugaran Makam Habib Bugak. Setelah penutupan Opster maka kegiatan pemugaran lanjutan berupa pekerjaan finishing pemasangan lantai granit dan pavingisasi halaman dilaksanakan.

Pada tanggal 24 Januari 2019 dilaksanakan peresmian Makam Habib Bugak oleh Bupati Bireuen, H.Saifannur beserta unsur Forkopimda Bireuen. Peresmian ini ditandai dengan penyerahan Pekerjaan Makam dari Dandim 0111/Bireuen, Letkol Amrul Huda, S.E.M.M., M.Sc. kepada Bupati Bireuen, H. Saifannur, S.Sos. dilanjutkan dengan kegiatan penandatanganan prasasti.

Peresmian Makam Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi (Habib Bugak Aceh) sebagai wujud emphaty pemerintah Kab. Bireuen yang merupakan representasi masyarakat Acah terhadap nilai-nilai kedermawanan Habib Bugak sekaligus sebagai wujud kamanunggalan TNI dengan Rakyat, khususnya Kodim 0111/Bireuen dengan masyarakat Kab. Bireuen.

Pemugaran Makam Habib Abdurrahman Al Habsyi bin Alwi atau Habib Bugak di Gampong (desa) Pante Peusangan, Kecamatan Jangka, Bireuen rampung dikerjakan dan diresmikan oleh Bupati H.Saifannur, Kamis , 24 Januari 2019

Bupati Bireuen, H.Saifannur (Alm), resmikan pemugaran makam Habib Bugak Al Asyi

Nonton videonya👇https://youtu.be/sYs0QNO3OOw

Referensi :
https://www.bwi.go.id/4727/2020/04/13/kisah-wakaf-habib-bugak-yang-manfaatnya-dirasakan-jemaah-haji-asal-aceh-hingga-sekarang/

https://m.liputan6.com/haji/read/3613119/awal-kisah-wakaf-habib-bugak-yang-manfaatnya-dirasakan-jemaah-haji-asal-aceh

https://aceh.tribunnews.com/2011/11/04/peran-habib-bugak-di-kerajaan-aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *