Siapakah Putroe Phang?

Sumber Foto : tengkuputeh.com

Dulu, saat saya dan kawan-kawan SDN 3 Matangglumpang Dua mainkan tarian seudati ada penggalan sebuah syair : ” Pucok Krueng Daroy Saboh Gunongan, Teumpat Putroe Phang Manoe Meu Upa”. Waktu itu saya mengira bait syair tersebut hanya sebuah syair suka-suka yang dikarang oleh Pelatih seudati kami Almarhum Syeh Yacob Makmur. Ternyata dibalik syair tersebut tersimpan sebuah sejarah Aceh yang luar biasa. Saya baru tahu kalau Krueng Daroy, Gunongan dan Putroe Phang adalah benar-benar fakta sejarah ketika saya bersama grup seudati kami diundang ke Banda Aceh dalam rangka pelantikan Gubernur Ibrahim Hasan. Kami dibawa jalan-jalan keliling Kota Banda Aceh, dan diperlihatkan Krueng Daroy, Gunongan dan Pinto Khop.

Siapakah Putroe Phang?

Nama asli Putroe Phang adalah Tengku Kamaliah, seorang putri yang berasal dari Kesultanan Pahang di Semanjung Melayu (Negara Malaysia sekarang) yang menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam dialek bahasa Aceh terjadi pergeseran dalam ucapan kosa kata Pahang menjadi Phang, begitu juga Pahit menjadi Phet, Berat menjadi Brat, dan banyak lagi kosa kata serupa yang mengalami pergeseran dalam pengucapan.

tengkuputeh.com

Ketika ratu atau permaisuri Iskandar Muda yang bernama Putri Sendi Ratna atau Putroe Tsani wafat, sang sultan kemudian menikahi Tengku Kamaliah, putri jelita dari keluarga diraja Pahang.

Kekuasaan Imperialisme Eropa yang pertama datang ke Asia Tenggara adalah Portugis, pada tahun 1511 menaklukkan Malaka. Portugis kemudian menaklukkan Samudera Pasai (1521) dan memperluas pengaruhnya di Selat Malaka. Akan tetapi dari Utara Sumatera muncul lawan sepadan yaitu Aceh Darussalam, konflik berlangsung ratusan tahun dan akhirnya Sultan Aceh termasyur Iskandar Muda lahir dan pertarungan kian dahsyat. Sebagaimana diceritakan dalam Sejarah Pahang.

“Dalam bulan Juli 1613, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, Raja Aceh yang masyhur gagah perkasanya itu, telah menghantar suatu angkatan perang laut yang besar datang menyerang dan mengalahkan Negeri Johor, Batu Sawar dan Kota Seberang. Bandar-bandar utama di Negeri Johor masa itu telah diduduki oleh orang-orang Aceh. Mengikut setengah sumber, Iskandar Muda sendiri mengepalakan Angkatan Perang Aceh yang menyerang Negeri Johor itu. Sultan Alauddin Riayat Syah III, adinda baginda Raja Abdullah serta Bendahara (Perdana Menteri) Johor Tun Sri Lanang dan beberapa ramai pengiring-pengiring Sultan Johor telah ditawan dan dibawa ke Negeri Aceh…”

Setelah beberapa tahun di Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah III berjanji tidak akan lagi membantu Portugis yang telah menduduki Malaka, maka Sultan Iskandar Muda membebaskan Sultan Alauddin dan diantar kembali serta ditabalkan kembali sebagai Sultan Johor. Akan tetapi ternyata Sultan Alauddin Riayatsyah III ternyata berkhianat dan bekerjasama dengan Portugis untuk memperluas jajahan mereka di Semenanjung Melayu. Alauddin membantu Portugis untuk mengangkat Raja Bujang menjadi Raja Pahang. Raja Bujang sebelumnya adalah seorang pangeran Pahang yang telah bersumpah setia kepada Portugis.

Maka, September 1615. Sultan Iskandar Muda menyerang Johor kembali dengan angkatan perang yang besar, Sultan Alauddin ditangkap dan dibawa (lagi) ke Aceh sampai meninggal. Serangan armada Aceh Darussalam dilanjutkan ke Pahang sebagaimana yang dituliskan oleh Haji Buyong Adil:

“Oleh sebab orang Portugis telah menolong Sultan Johor menaikkan Raja Bujang menduduki Kerajaan Negeri Pahang, pada tahun 1617 Sultan Aceh telah mengeluarkan Angkatan Perang Aceh menyerang Negeri Pahang dan laskar-laskar Aceh yang datang itu telah membinasakan daerah di Negeri Pahang. Raja Bujang melarikan diri, sementara ayah mertuanya, Raja Ahmad, dan putranya yang bermana Raja Mughal serta 10.000 rakyat negeri Pahang ditawan ditahan dan dibawa ke Negeri Aceh. Seorang putri dari keluarga diraja Pahang, yang bernama Putri Kamaliah, juga turut dibawa ke Aceh, yang kemudian diperistri oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, dan Putri Pahang itu termasyur dalam sejarah Aceh karena kebijaksanaannya dan disebut oleh orang-orang Aceh Putroe Phang…”

Peran Putroe Phang dalam Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam

Tengku Kamaliah adalah seorang putri yang berasal dari Kesultanan Pahang di Semanjung Melayu (Negara Malaysia sekarang) yang menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari Kesultanan Aceh Darussalam, kemudian di Aceh dikenal dengan sebutan Putroe Phang.

Putri Pahang dalam istana Darud Dunia tidak hanya sebagai Permaisuri, juga menjadi penasehat bagi suaminya Sultan Iskandar Muda. Salah satunya nasehatnya adalah pembentukan Majelis Syura (Parlemen) yang beranggotakan 73 orang sebagai perwakilan penduduk dalam kerajaan Aceh2). Sebagai penghormatan kepada Putroe Phang sebuah Hadih Maja (Kata-kata berhikmat) yang berbunyi:

“Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana, Hukom ngon adat lagee zat ngon sifuet.”

Hadih Maja ini adalah ajaran tentang pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam yang bermakna:

Kekuasaan eksekutif berupa kekuasaan politik/adat berada di tangan Sultan sebagai Kepala Pemerintahan. Sultan Iskandar Muda menciptakan sistem ini, maka dibangsakan kepadanya (Poteu Meureuhom);

Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum berada di tangan ulama. Syekh Abdurrauf Syiah Kuala merupakan seorang ahli hukum dan Kadi Malikul Adil yang paling menonjol, maka pelaksanaan yudikatif ini dibangsakan kepadanya;

Kekuasaan legislatif atau pembuatan undang-undang dibangsakan kepada Putroe Phang karena ia yang memberi nasehat untuk membentuk Majelis Syura (Parlemen);

Peraturan keprotokolan atau reusam berada di tangan Laksamana sebagai Panglima Angkatan Perang Aceh dibangsakan kepada Laksamana Malahayati;

Baris kelima adalah sintesis dari silogisme empat baris sebelumnya, yaitu: Dalam keadaan bagaimanapun, adat, kanun, dan reusam tidak boleh dipisahlan dari hukum/ajaran Islam sebagai penuntun jalan setiap orang yang memegang kekuasaan di Kesultanan Aceh Darussalam.
Hadih Maja ini menjadi falsafah hidup orang Aceh. Sultan Iskandar Muda, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Putri Pahang dan Laksamana Malahayati adalah teladan bagi orang-orang Aceh. Kita melihat dalam Hadih Maja ini menyebutkan empat nama, dua laki-laki dan dua perempuan menunjukkan bahwa Islam sebagai dasar kerajaaan, Al-Quran dan Hadist menjadi sumber hukum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memegang jabatan apa saja dalam kerajaan, diakui sepenuhnya.

Sejarah Aceh mencatat nama-nama perempuan yang memainkan peranan penting di tanah Aceh, banyak tokoh besar perempuan, baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan. Itu karena berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Hadist-hadist nabawi di Kesultanan Aceh Darussalam memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Kisah Gunongan, Pinto Khop dan Krueng Daroy

Gunongan sebagai persembahan cinta dari Sultan Iskandar Muda kepada Puteri Pahang.

Setelah dipersuntingkan oleh Sultan Iskandar Muda, Tengku Kamaliah menetap di Kerajaan Aceh, sang Putri Pahang sangat merindukan negerinya yang nun jauh di Malaysia.

Kerinduan Kamaliah terhadap keluarganya di Pahang mendorong Sultan Iskandar Muda membangun sebuah kompleks taman yang sangat luas di sekitar pusat Kerajaan Aceh.

Taman ini kemudian diberi nama Taman Ghairah.

Berdasarkan catatan kitab Bustanus Salatin karya Nuruddin Ar-Raniry pada abad ke-17 Masehi, kompleks Taman Gairah ini dirancang oleh para ahli dan seniman bangunan dari dua negeri yang memiliki hubungan erat dengan Aceh kala itu, yakni Turki dan Tiongkok.

Kemungkinan pula Gunongan dan Taman Gairah mendapatkan sentuhan ahli bangunan dari India.

Gunongan dan Pinto Khop adalah dua fasilitas utama di komplek Taman Gairah (juga dikenal dengan nama Taman Sari atau Taman Bustanussalatin) yang masih tersisa hingga kini.

Gunongan dibangun Sultan Iskandar Muda yang memahami kegundahan permaisurinya.

Gunongan merupakan miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang (kini masuk wilayah Malaysia).

Bangunan berbentuk persegi enam, menyerupai bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utama berbentuk mahkota ini dibangun pada abad ke-16 (1607-1636).

Pada dindingnya ada sebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci.

Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.

Gunongan dibangun dalam taman yang sangat luas bernama Taman Bustanussalatin yang berada di sebelah istana. Selain Gunongan terdapat beberapa bangunan lainnya di taman ini, seperti Pinto Khop yang merupakan tempat sang permaisuri berganti pakaian.

Taman ini berada di dekat kompleks taman ini terdapat kompleks makam keluarga kerajaan atau kompleks Kandang (Makam) XII.

Saat ini, wilayah taman ini mencakup kompleks Gunongan, Taman Putroe Phang, hingga Taman Sari.

Sultan Iskandar Muda melengkapi keindahan kompleks Taman Gairah ini dengan membelokkan aliran air sungai yang berhulu di Jabalul A’la (kini kawasan Mata Ie Keutapang Aceh Besar) hingga ke Gampong Pande (kini wilayah Kecamatan Kutaraja Banda Aceh).

Pembangunan sungai yang juga dinamai Darul Isky ini atas permintaan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1620.

Aliran sungai yang dibelokkan mulai dari wilayah Geuceu menuju Taman Gairah atau Taman Bustanussalatin ini diberi nama Krueng Daroy.

Sedangkan aliran sungai yang menuju Gampong Pande dinamakan Krueng Dhoe (Dhoy).

Aliran Krueng Daroy ini dibangun berliku-liku melewati beberapa destinasi yang ada dalam Taman Bustanussalatin.

Seperti Gunongan, kompleks istana, Taman Putro Phang, dan kawasan taman yang dipenuhi bunga serta fasilitas lainnya.

Aliran Krueng Daroy yang semakin menambah keindahan Taman Bustanussalatin, membuat Putri Pahang mulai melupakan kampung halamannya di Pahang.

Pada masa itu, Krueng Daroy menjadi poros taman yang luas dan menjadikannya jalan masuk ke dalam taman dari ujung tembok paling selatan.

Di antara dua hutan kecil yang palungnya beralaskan batu, tepi-tepinya berubin warna-warni, undak-undak dari batu hitam yang pada bagian pinggiran dilapisi kuningan yang memungkinkan setiap orang dengan mudah mandi ke dalam sungai.

Di tepi kanan Krueng Daroy, yaitu di sebelah timur, terdapat karang dengan ukuran besar bersudut delapan yang biasanya di atas karang itu raja sering duduk berteduh.

Area taman Bustanussalatin menjadi tempat favorit bagi sang permaisuri Kamaliah untuk menghabiskan waktunya bersenang dengan sang raja atau dengan anggota kerajaan lainnya.

Di dalam Taman Bustanussalatin yang luas itu, selain terdapat Gunongan dan Krueng Daroy yang mengalir di sebelahnya, terdapat pula pintu (gapura) yang dibuat dari batu, dinamai Pinto Khop.

Di seberang Pinto Khop terletak sepetak sawah yang dinamai Radja Umong.

Di sebelah timur Radja Umong terletak masjid yang dinamai Masjid Baitur-Rahim.

Dalam Kitab Bustanussalatin disebut panjang taman kira-kira 1.000 depa atau 1,78 km yang di dalamnya terdapat bunga dan buah-buahan beraneka rupa serta sebuah kolam ikan.

Taman yang luas terbentang di sebelah selatan bangunan istana, dikelilingi tembok batu yang dicat dengan kapur.

Dan sejarahnya Krueng Daroy sejak dahulu dibuat selain untuk melintasi Taman Bustanussalatin juga mengalir melewati bagian tengah Istana Dalam, Darud Dunya hingga akhirnya ke hilir menuju Krueng Aceh.

Tidaklah heran jika Krueng Daroy menjadi jalur transportasi utama dari dan ke luar istana dengan kapal dan perahu pada masa itu.

Dan air Krueng Daroypun sangat jernih kala itu sehingga siapa pun yang meminumnya akan sehat dan sembuh penyakitnya.

Tapi, sekarang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nilai sejarahnya yang panjang Krueng Daroy sangat lama terabaikan pemeliharaannya.

Referensi :

https://serambiwiki.tribunnews.com/2020/08/27/krueng-daroy-sungai-bersejarah-menyimpan-memori-kejayaan-kesultanan-aceh-darussalam

https://tengkuputeh.com/2018/09/28/putroe-phang-putri-pahang/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *