Syeikh Nuruddin Ar-Raniri : Kilas Wajah Intelektual Nuruddin Ar-Raniri (Bagian 6)
Biodata singkat Penulis Buku “Syeikh Nuruddin Ar-Raniri”
Nuruddin Ar-Raniri mengawali kiprah sebagai ilmuan agama di tanah kelahirannya, Ranir, India. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tahrim Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu tempat ini menjadi pusat kajian ilmu-ilmu keislaman. Tahun 1621 M. ia mengunjungi Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Nuruddin menjalin persaudaraan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah lama menetap dan belajar di Arab termasuk di dalamnya jamaah yang berasal dari Nusantara.
Dalam kapasitas seperti ini, Nuruddin secara sendirinya telah mengikat persaudaraan dengan orang-orang Melayu-Nusantara terutama yang beragama Islam. Hubungan inilah menjadi cikal bakal perjalanan intelektual Islam Nuruddin kelak di Nusantara. Selanjutnya, Nuruddin di samping paling mumpuni dalam ilmu fiqih la juga seorang syeikh tarekat rifa’iyah yang terekat ini dicetus oleh Ahmad Rifa’i (w. 1183 M). Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa Nuruddin mempelajari tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar ibnu Abdullah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al-Aidarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar bin Abd Allah Al Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim bin Alan (w. 1624 M.) dan Rahman Al Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban Nuruddin dibaiat menjadi khalifah tarekat sebagai ganti posisinya menyebarluaskan tarekat rifa’iah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh 1979).
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur Tengah dan wilayah anak benua India, Nuruddin merantau ke Nusantara. Di Nusantara ia memilih Aceh sebagai tempat pengembangan karir sebagai ahli fiqih dan tarekat. Dan, menurut keterangan sejarah, Nuruddin berlabuh di Aceh tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H).
Menurut keterangan sejarah, kedatangan Nuruddin di Aceh bertepatan setelah wafatnya mufti Aceh yaitu Syeikh Samsuddin As-Sumatrani dan disusul oleh Sultan Iskandar Muda. Ketika itu, Sulthan yang berkuasa adalah Sultan Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) yang menggantikan jabatan Sultan Aceh. Jika masa sebelumnya, Nuruddin tidak mendapat respon dari Sultan Aceh, tapi berbeda dengan kedatangannya pada masa ini dimana Sultan telah menyambutnya dengan baik dan bahkan mengangkatnya sebagai mufti agung pada kerajaan ini.
Ditambah lagi waktu itu, Sultan Iskandar Tsani yang tidak sependapat dengan paham wujudiyah Hamzah Fansuri. seorang Dengan sendirinya kedatangan Nuruddin ke istana menjadi Sultan penting untuk memberikan dukungan terhadap sultan dalam memberantas paham wujudiyah. Maka kerana itu, atas momen Nuruddin terhadap paham wujudiyah telah mendapat dukungan dari Sulthan. penjelasan
Dukungan tersebut telah memberi Nuruddin peluang untuk mengikis habis terhadap paham wujudiah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Bahkan tidak cukup di sini, dalam sejarah juga disebutkan bahwa Nuruddin acap kali menerima permintaan dari sulthan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka menolak pengaruh paham wujudiah di Aceh.
Semakin hari Nuruddin kelihatannya semakin akrab dengan Sulthan. Setiap argumen yang dikemukakan tentang wujudiyah senantiasa didukung oleh sultan sehingga membawa implikasi yang cukup luas bagi masyarakat Aceh. Misalnya. Setelah mendapatkan dukungan itu, Nuruddin segera mengadakan sidang majelis terhadap 40 ulama pendukung paham wujudiyah. Ini dilakukan oleh Nuruddin untuk meminta keterangan dan pertangungjawaban terhadap paham ini. Selesai bersidang dan mendengar semua keterangan yang disampaikan oleh ulama yang berpaham wujudiyah maka secara langsung Nuruddin dan para ulama istana memvonis kafir terhadap para pengikut paham wujudiyah, karena itu mereka halal untuk dibunuh. Selain itu, dalam keterangan sejarah juga menyebutkan bahwa tidak terhitung jumlahnya Nuruddin menulis dan debat terbuka di hadapan sultan terhadap para penganut paham panteisme ini.
Dengan segala keilmuannya, Nuruddin berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyah. Karena paham ini dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Karena itulah ia meminta para pengikut paham ini untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits).
Tetap saja paham wujudiah mempertahankan prinsip tidak bersalah dan tidak benar apa yang dituduhkan oleh Nuruddin kepada mereka. Karena dianggap telah membangkang, menurut riwayat, kebanyakan penganut paham ini telah dihukum bunuh. Selain itu, dalam upaya menghapus paham ini di bumi Aceh maka atas inisiatif Nuruddin dengan mendapat persetujuan dari sultan seluruh kitab-kitab karangan Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Langkah ini dilakukan oleh Nuruddin karena mengingat beberapa pernyataan kaum wujudiyah dianggap di luar batas kewajaran, sulit dimengerti oleh masyarakat. Misal. Salah satu keterangan yang dikemukakan oleh Nuruddin dalam karyanya, Tibyan, sebagai berikut:
…dan lagi kata mereka itu, al-alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu, maka disuruh raja akan mereka itu membawa taubat daripada i’tiqad yang kufur itu. Maka dengan beberapa kali disuruh raja jua akan mereka itu membawa taubat, maka sekali-kali tiada ia mau taubat, hingga berperanglah mereka itu dengan penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan Mesjid yang bernama Baturrahman. Maka disuruh oleh raja tunukan segala kitab itu” (Azyumardi Azra, 2005: 219).
Mengenai paham wujudiyah Nuruddin pernah menyinggung dalam karyanya ketika ia melakukan debat dengan Saifurrijal seorang ulama wujudiyah. Ia menulis, “Kemudian dari itu, maka datanglah Saifurrijal, maka berbahaslah ia dengan kami seperti bahas mereka itu yang dahulu jua. Maka jawablah kami: “Betapa kau benarkan akan kaum yang berkata, Wallah billlah Ta’ala, insan itulah Allah dan Allah itulah insan?”…maka sahutnya (Saifurrijal): “Inilah i’tiqadku dan segala ahli Mekkah dan Madinah….” Maka berlanjutanlah perkataannya, maka kembalilah kebanyakan orang kepada i’tiqad yang sesat itu jua” (Azyumardi Azra, 2005: 214-215).
Keterangan di atas menandakan adanya perdebatan serius antara Nuruddin dan Saifurrijal. Perdebatan itu, tidak hanya berimbas pada aspek ibadah tapi juga berpengaruh pada aspek politik yang berkepanjangan yang menyebabkan perpecahan. Orang Kaya yang memiliki wewenang waktu itu tidak mampu meredam gejolak tersebut sehingga mengharuskan mereka mengadakan rapat dalam beberapa kali untuk mencari solusi penyelesaian. Akhirnya. Rekomendasi rapat diserahkan kepada sultan (waktu itu sultan Safiyatuddin Syah) untuk mengambil keputusan.
Akhir dari sebuah keputusan, sultanah membenarkan sekaligus memberikan dukungan kepada Saifurrijal. Sourij dalam kutipan Azyumardi menyebutkan berdasarkan catatannya tertanggal 27 Agustus 1643 M. ia menulis, Saifurrijal dipanggil ke istana oleh sultanah itu sendiri, dan dalam kesempatan itu dia menerima perlakuan sebagai tokoh terhormat. Dengan kejadian itu, tertutuplah pintu bagi Nuruddin dan sebagai akibatnya ia terpaksa meninggalkan arena (Azyumardi Azra, 2005: 215).
Setelah lebih kurang tujuh tahun menjadi mufti pada kerajaan Aceh, pada tahun 1644 Nuruddin kembali ke kampung halamannya di Ranir. Menurut riwayat, saat kembali Nuruddin baru saja selesai menulis 5 bab dari kitab Jawahir dan kemudian ia perintahkan muridnya untuk menyambung karangannya pada kitab ini.
Kembali Nuruddin ke Ranir secara tiba-tiba menimbulkan banyak pertanyaan dari masyarakat Aceh waktu itu. Karena itu, Ahmad Daudy dalam bukunya menjelaskan, salah satu penyebab utama kembali Syeikh Nuruddin ke Ranir karena kalah dalam perdebatan dengan seorang ulama dari Sumatra Barat yang berpaham wujudiah, murid dari Syamsuddin As-Sumatrani, yakni Saifurrijal.
Namun, biarpun ia telah kembali ke Ranir dan tidak akan pernah kembali lagi ke Aceh. Tapi namanya tetap saja dikenang dalam masyarakat Aceh dan Nusantara. Banyak hal menarik tentang ulama ini, di antaranya ia seorang mufti dan pengarang banyak kitab. Di antara kitab kitab karangannya ada yang membicarakan tentang tasawuf dan ada juga tentang fiqih. Kedua bentuk karangan tersebut umumnya ditulis dalam bahasa Melayu. Misalnya. As Sirathal Mustaqim. Satu di antara karya yang ditulis oleh si pengarang dalam bahasa Melayu. Kitab hadits dalam bahasa Melayu seperti al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul lainnya, Hidayatul Habib fit Targhib wat Tarhib. Kitab ini diterangkan melalui penjelasan-penjelasan hadits, dan ini termasuk karya hadits yang pertama dalam bahasa Melayu Nusantara.
Selain buah pikirannya dalam dua kitab tersebut di atas, berbagai kitab lain telah disebutkan sebelumnya. Dan, ia termasuk ulama yang cerdas dan paling banyak melahirkan karya tulis. Ia juga tercatat sebagai ulama ahli ilmu mantiq (logika) dan ilmu balaghah (sastra). Seperti telah pernah disampaikan bahwa Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih. Sedang dalam bidang akidah, ia tercatat sebagai pengikut mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.)dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi (w. 333). Sementara dalam bidang tasawuf, Nuruddin sebagai pengikut tasawuf yang mu’tabarah dan pengamal tarekat-sufiyah.
Dalam pembahasan yang lalu ada keterangan yang menyatakan bahwa Nuruddin telah mengikis habis paham wujudiah Hamzah Fansuri dan Nuruddin As-Sumatrani. Keterangan ini tidak semuanya benar, karena ada keterangan lain yang menyatakan berbeda dengan keterangan pertama. Dalam keterangan lain sebutkan bahwa Nuruddin walau bagaimanapun tidak pernah menyalahkan semuanya pandangan sufi Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani. Bahkan suatu waktu ia memberi sokongan terhadap pemikiran Syeikh Muhyuddin ibnu ‘Arabi, Abi Yazid al-Bistami, ‘Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain.
Dalam banyak tulisan sejarah tidak pernah terlihat kalau Nuruddin menyalahkan apalagi memvonis salah terhadap pemikiran ulama ulama sufi semisal ini. Dalam karyanya, Fath al-Mubin ‘ala al Mulhidin, Syeikh Nuruddin menjelaskan, al-Hallaj itu mati syahid. Ia menambahkan, “Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua.” Penulis, dalam kesempatan ini tidak menerangkan apakah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani juga dibunuh seperti al-Hallaj. Kerena kematian kedua ulama ini tidak ditemukan keterangan yang pasti dari sumber-sumber sejarah.
Jika Nuruddin mengikis habis paham wujudiah Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani berarti ia tidak mungkin memberi dukungan kepada Syeikh Muhyuddin ibnu ‘Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh ‘Abdul Karim al-Jili karena mereka memiliki paham yang sama dengan Hamzah dan Syamsuddin.
Sementara pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani menganggap kedua guru mereka adalah wali Allah yang pengetahuannya luas terhadap syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Kemudian sebagai perbandingan, walaupun Nuruddin diakui sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf tapi dapat juga dipahami oleh murid Hamzah dia itu hanyalah mengetahui tasawuf secara zahiriah saja. Karena dalam pandangan sufiah, tipikal Nuruddin tak lebih hanya mengetahui kulit ilmu sufi karena itu tetap saja ia tidak sampai memahami hakikat sufi yang sebenarnya.
Sumber :
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Ulama Aceh Penyanggah Paham Wujudiah, penulis : Muliadi Kurdi, Penerbit : Naskah Aceh Tahun 2014.