Syeikh Nuruddin Ar-Raniri : Pendidikan Dan Pengabdian (Bagian 2)

Nuruddin mengecap pendidikan awal di Ranir. Di sini ia memperoleh pendidikan agama sebelum melanjutkan pendidikan ke Tahrim, Arab Selatan. Waktu itu, sejarah menerangkan dimana Tahrim adalah salah satu pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman terbesar. Tahun 1030 H. atau 1621 sebelum Nuruddin kembali ke India, menurut kisah, ia menuju ke Mekkah dan Madinah untuk menambah pengetahuan agama, menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah Saw. (Ahmad Daudy, 1983: 36).

Diberitakan juga bahwa ketika di Mekkah Nuruddin sempat bertemu dengan Syeikh Abu Hafash ‘Umar bin ‘Abdullah Ba Syaiban atau nama lain dari ulama ini adalah Saiyid ‘Umar al-‘Aidrus. Kepada ulama ini ia berguru dan membai’at diri dalam tarekat rifa’iyah yaitu suatu tarekat yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w. 578 H./1182). Selain mempelajari dan mengamalkan tarekat ini, Syeikh Nuruddin juga mengamalkan tarekat qadiriah.

Untuk diterima ke dalam tarekat rifa’iyah ini tidaklah mudah. Karena menurut riwayat Nuruddin harus difasilitasi oleh seorang guru tarekat, keturunan Arab Hadhramaut kelahiran India yaitu Syeikh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban. Demikian juga kisah dengan Ba Syaiban. Ia diterima dalam tarekat rifa’iyah setelah mendapat rekomendasi (persetujuan) dari Syeikh Muhammad Al Aidarus. Kemudian ia menggantikan syeikh-nya dalam menerima kedatangan murid-murid baru yang ingin masuk ke dalam tarekat tersebut.

Ahmad Daudy menulis, Syeikh Muhammad Al-Aidarus itu adalah kakek ruhani dari Nuruddin. Ia lahir di Tarim tahun 1561 M.. Dan, dalam usia yang masih muda ia merantau ke Gujarat, kemudian ia menggantikan kakeknya sebagai guru agama dan syeikh tarekat rifa’iyah di daerah itu (Ahmad Daudy, 1983: 37).

Setelah belajar ilmu agama beberapa tahun lamanya di Timur Tengah, Nuruddin pulang ke India untuk mengajar agama di sana. Sejak itu, ia semakin terkenal dengan kealimannya dalam ilmu fiqih dan tarekat. Menurut riwayat, kesohoran namanya terbukti mampu mengundang kekaguman banyak sarjana sehingga harus menulis tentang dirinya. Misalnya, P. Voorhoeve (sarjana asal Belanda) adalah seorang sarjana yang pernah menulis tentang Nuruddin dalam karya yang diberi judul, Van en Over Nuruddin Ar-Raniry, BKI 107, 1951; Korte Mededelingen, BKI 115, 1959, dan Twee Maleische Geschriften van Nuruddin ar-Raniry, Leiden, E.J. Brill, 1955. G.W.J. Drewes dalam tulisannya, De Herkomst van Nuruddin Ar-Raniry, BKI 111, 1955. C.A.O van Nieuwenhuijze dalam karyanya, Nuruddin Ar-Raniry als Bestrijder de Wugudija, BKI 104, 1948. Kemudian terdapat juga tulisan lain yang menulis tentang Nuruddin seperti Ph. S van Ronket, H.Kraemer, Snouck Hurgronje dan lain sebagainya.

Tak hanya itu, sarjana Nusantara pun turut ambil bagian menulis tentang Nuruddin seperti Raden Hoesin Djajadiningrat. Dalam karyanya, Critisch overzicht van de in Maleische werken Vervatte gegeven pan het Sultanaat van Aceh, BKI 65, 1911. Kemudian terdapat juga dalam karya Tujimah (ed.) dengan judul Asraral-Insanfi Ar-RuhwaAr-Rahman(Ahmad Daudy,1983:37)

Sejarah menyebutkan, sembilan tahun sebelum tiba di Aceh bertepatan dengan tahun 1628 M. Nuruddin menyelesaikan karya pertamanya, Sirathal Mustaqim (jalan yang lurus). Kitab ini menerangkan tentang pokok-pokok ajaran Islam. Di samping kitab ini Nuruddin menulis kitab pelajaran agama, Syarah ‘Aqaaid an Nafsiah. Kitab ini merupakan salah satu karya terkenal, Saaduddin Mas’ud al-Taftazani yang pernah diminta oleh raja Timur Lenk (1336-1404 M.) supaya menetap di kota Samarkand (Zakaria Ahmad, 1972: 119).

Beberapa bulan sejak berlabuh di Aceh, pada 17 Syawal 1047 H. atas permintaan Sultan Iskandar Tsani ia menyusun kitab, Bustanul Salathin (kebun raja-raja). Kitab ini paling terkenal baik di kalangan istana maupun pembesar-pembesar Aceh kala itu. Pada pasal pertama kitab, memuat tentang sejarah terjadinya bumi dan langit menurut kepercayaan Islam. Pada bagian kedua, memuat riwayat nabi-nabi mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad Saw. dari zaman raja-raja Persi sampai kepada zaman “Umar bin Khathab, dari zaman Kaisar Bizantium sampai ke masa Nabi Muhammad Saw., dari zaman raja-raja Mesir sampai ke zaman raja Zulkarnain, dari zaman raja-raja Arab sebelum Islam sampai ke zaman Nedjed, Hidjaz dan zaman Nabi Muhammad Saw..

Pemerintahan zaman Nabi Muhammad Saw, sampai ke zaman Khulafaurrasyidin (Abubakar, Umar, Usman, Ali), sejarah bangsa Arab di bawah pemerintah Bani Umayyah dan Abbasiah sampai kepada riwayat pangeran-pangeran Islam di Delhi, sejarah raja-raja Malaka, Pahang dan raja-raja Aceh dalam abad 16 dan 17 Masehi (Zakaria Ahmad, 1972: 119).

Pada bagian akhir pasal kedua dari kitab itu memuat tentang kondisi kerajaan Aceh setelah Sultan Iskandar Muda wafat hingga wafatnya Iskandar Tsani pada tahun 1641 M.. Pasal ketiga dari kitab itu, menceritakan tentang raja-raja yang adil, pegawai yang baik dan jujur. Pasal keempat, menceritakan tentang raja-raja yang saleh dan orang-orang yang keramat. Pada pasal kelima, menceritakan tentang raja-raja yang lalim dan pegawai-pegawai yang jahat. Pada pasal keenam, menceritakan tentang orang-orang yang besifat mulia dan tentang pahlawan-pahlawan dalam perang Badar dan Uhud serta peperangan yang lain yang disertai oleh Nabi Muhammad Saw. Pada pasal ketujuh, (pasal terakhir) dari kitab itu diuraikan tentang kelebihan akal dan kemuliaan ilmu pengetahuan termasuk ilmu filsafat dan ilmu tentang obat-obatan (Zakaria Ahmad, 1972: 119).

Atas permintaan Sultan Iskandar Tsani pula Nuruddin Ar-Raniri memulai sebuah polemik tentang ruh, terutama setelah keluar dari jasad. Polemik itu merupakan pernyataan sikapnya terhadap pendapat Hamzah Fansuri tentang ruh yang ia susun dalam sebuah kitab berjudul, Asrar al-Insan fi Makrifaturruhi wa ar Rahman. Artinya, rahasia mengetahui ruh dan Tuhan (Zakaria Ahmad, 1972: 119).

Pada tahun 1642 Nuruddin menulis sebuah kitab karangan terkenal, Akhbarul Akhirah fi Awwalil Qiamah (berita berita akhirat dalam peristiwa kiamat). Walaupun ada yang memprediksikan bahwa isi dari kitab ini adalah saduran dari beberapa kitab yang sudah pernah ada sebelumnya. Tapi, kitab tersebut sangat digemari oleh kesultanan dan masyarakat Aceh masa itu. Ambil contoh, Winstedt pernah mengutarakan sebagai berikut: Kandungan dari kitab itu diambil dari kitab, Daqaiq wal Haqaiq. Artinya, saat yang penting dan hakikat-hakikatnya. Kemudian isinya juga diambil dari kitab, Duratul Fakhirah minKasyfil awwamil Akhirah. Artinya, mutiara yang berharga dalam membukakan rahasia akhirat karya Imam Al-Ghazali. Kemudian diambil juga dari kitab, Adjaibul Malakis Samawat. Artinya, keajaiban kerajaan langit karya Syeikh Ibnu Jakfar Muhammad bin Abdillah. Kemudian diambil pula isinya dari kitab, Al-Bustan Artinya, taman, karya Abdullais (Zakaria Ahmad, 1972: 121).

Pola pikir Nuruddin senantiasa dipengaruhi oleh paham paham sufi beraliran, wahdatusysyuhuud. Suatu paham yang berbeda dengan, wahdatulwujud, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Di sinilah, dalam perkiraan peneliti, punca awal pertentangan antara ulama Aceh zaman itu. Nuruddin menganggap tradisi pemikiran kedua ulama itu bertentangan dengan Islam sejati (Islam kaffah). Karena itulah ia meminta kepada Sultan Iskandar Tsani supaya buku-buku Hamzah dibakar dan pengikut-pengikutnya dihukum (Zakaria Ahmad, 1972: 121).

Sumber :
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Ulama Aceh Penyanggah Paham Wujudiah, penulis : Muliadi Kurdi, Penerbit : Naskah Aceh Tahun 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *