Syeikh Nuruddin Ar-Raniri Wafat
(Bagian 5)
Cover Belakang Buku Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
Tujimah seperti terdapat dalam Zakaria Ahmad berkata, Nuruddin Ar-Raniry telah menulis 23 karya tulis yang kupasan karyanya meliputi bidang ibadah, hukum, tauhid dan lain-lain. Setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1641 Masehi, ia kembali ke Ranir dengan menulis kitab, Jawahirul “Ulum fi Kasyfil Maklum, seperti tersebut sebelumnya. Ada berita pada masa pemerintahan Sultanah Syafiyatuddin ia kembali lagi ke Aceh. Kemungkinan ini didasari pada karyanya, At-Tabjanu fi Ma’rifati Adyan. Karya ini ditulis olehnya tahun 1664 M.. Setelah tahun ini, barulah ia kembali ke Ranir dan tak pernah kembali lagi ke Aceh. Akhirnya. Terdengarlah kabar bahwa Syeikh Nuruddin telah wafat di Ranir pada hari Jum’at 22 Zulhijjah 1068 bertepatan dengan 21 September 1658 Masehi (Zakaria Ahmad, 1972: 122).
Selanjutnya, Ahmad Daudy menjelaskan, setelah tujuh tahun Syeikh Nuruddin bermukim di Aceh, sebagai ulama, mufti, penulis dan penyanggah ajaran wujud maka secara tiba-tiba ia meninggalkan Aceh, berlayar kembali ke tanah kelahirannya, Ranir, untuk tidak kembali lagi. Peristiwa ini tercatat tahun 1054 H/1644. Keterangan ini menurut Ahmad Daudy seperti ditulis oleh seorang muridnya pada akhir kitab karangannya yang terakhir ditulis di Aceh yaitu kitab, Jawahirul ‘Ulum fi Kasyfil Maklum (Ahmad Daudy, 1983: 45).
Ahmad Daudy memperkirakan, kepergian Nuruddin secara mendadak itu karena ia kalah dalam jajak pendapat dengan Saifurrijal, seorang ulama wujudiyah yang baru kembali dari Surat, India. Ulama ini, tulis Ahmad Daudy, berasal dari Minangkabau dan pernah tinggal beberapa lama di Aceh untuk belajar pada Syeikh Maldin (Jamaluddin) seorang ulama wujudiah dari kalangan murid Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani dan kemudian ia melanjutkan belajar ke India. Pada masa Iskandar Tsani, menurut keterangan Syeikh Maldin ini telah diusir dari Aceh karena suatu kesalahan yang dibuatnya dan diganti oleh Syeikh Nuruddin yang baru datang di Aceh waktu itu kemudian ia kalah debat dengan Saifurrijal yang menyebabkan ia harus pergi dari Aceh. Sejak saat itu, tulis Daudy, tidak henti-hentinya terjadi pembicaraan hangat tentang masalah ulama baru dan lama antara Orang Kaya Maharajalela dengan pendatang baru bernama Saifurrijal (Ahmad Daudy, 1983: 46).
Mohammad Said dalam karyanya menulis, ulama besar yang baru dan pribumi itu bernama Suffell Rajal (Saifurrijal), telah diterima untuk menghadap Ratu dengan penuh kehormatan, yang sekaligus berakibat menurunnya pamor dan kedudukan tertinggi keagamaan yang telah dimiliki oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri (Mohammad Said, 2007: 320).
Sumber :
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Ulama Aceh Penyanggah Paham Wujudiah, penulis : Muliadi Kurdi, Penerbit : Naskah Aceh Tahun 2014.