SURAT CINTA SANG PRAJURIT ~⚓⚓
KRI Nanggala 402
Judul Asli : Eternal Patrol, Eternal Love
Penulis : Langit Rindu
“Dek, tolong siapin perlengkapan seperti biasa, dong. Besok ada latihan,” pinta Mas Dwi padaku selepas makan sahur.
“Oke, kali ini berapa lama?” tanyaku.
“Latihannya hari Rabu, dini hari ngeluncurin torpedo, dilanjutkan menembakkan peluru perang. Pagi kemungkinan udah nggak di air lagi. Cuma, ada banyak yang harus dipersiapkan, jadi besok Mas udah harus berangkat.”
“Bali lagi, ya?”
“Iya, Sayang. Kenapa memangnya?”
“Nggak, banyak bule pakai baju kurang bahan. Kasihan Masku yang lagi shaum ini. Mesti ekstra jaga pandangan.”
Dia tertawa sehingga matanya menyipit. Tawa yang menjadi canduku sejak awal bertemu.
“Mas kan nggak main ke pantai, mainnya sama peralatan tempur di dalam kapal, di kedalaman yang nggak mungkin ada bule berenang. Palingan juga duyung. Tapi, kalau pun ada duyung, pasti nggak secantik kamu.”
Entah kenapa aku masih saja malu saat Mas Dwi mulai bersikap dan berkata manis.
“Tuh, pipinya merah. Padahal udah hampir sepuluh tahun menikah,” godanya lagi sambil menunjuk pipiku yang terasa hangat.
“Ish, udah ah. Kira-kira, Mas bisa pulang nggak pas anniversary kita? Udah mau sepuluh tahun, aku belum pernah dikasih kue.” Aku pura-pura menggerutu untuk mengalihkan pembicaraan. Sungguh aku masih belum imun dengan segala sikap manisnya.
“Your wish is my command, Sayang,” sahutnya sambil menundukkan punggungnya di hadapanku seolah-olah sedang berhadapan dengan seorang putri seperti di film-film Disney.
Sisa hari kami habiskan berdua dengan Mas Dwi yang menempeliku ke mana pun aku bergerak, kecuali ke toilet. Kebetulan dua anak kami sejak kemarin menginap di rumah nenek mereka.
Kami ke minimarket di depan gang dengan menggunakan sepeda motor, membeli barang belanjaan pengisi kulkas dan camilan. Mas Dwi kemudian memintaku untuk memasak tumis kangkung dan ayam kecap, menu kesukaannya. Aku memasak dengan gugup karena ia duduk di meja dapur, tak melakukan apa pun selain memperhatikanku.
“Ini enak banget. Terima kasih, Dek, selama ini udah jadi istri yang baik dan sempurna buat Mas.”
“Aku yang terima kasih karena Mas mau bersabar denganku. Mas itu suami terbaik di dunia yang khusus diciptakan untukku,” pujiku tulus.
***
“Mas berangkat, Dek. Hati-hati di rumah. Semoga Allah melindungimu dan anak-anak kita,” pamitnya selepas salat Subuh. Sempat tadarus dan menyimak hafalan anak-anak juga sebelum bersiap-siap.
“Mas juga hati-hati, ya. Semoga Allah menjaga Mas juga di mana pun berada. Aku udah masukin sambel kacang dan tempe buat makan sahur dan buka puasa. Kalau memungkinkan untuk menghubungi, jangan lupa kabari ya, Mas?”
Mas Dwi mengangguk, kemudian memeluk erat dan mencium ubun-ubunku seraya melafalkan do’a lirih. Aku telah terbiasa mengantarnya berangkat dinas, tetapi kali ini rasanya sungguh berat. Saat mobil yang menjemputnya telah hilang dari pandangan, seketika hatiku merasa kosong.
Beberapa kali Mas Dwi menghubungi sampai Rabu dini hari sebelum masuk kapal selam.
“Mas sudah mau nyelam, Dek. Do’akan ya. O iya, sambel kacangnya udah habis waktu buka puasa semalam. Mas bagi sama kawan-kawan. Besok Mas sahur apa, ya?” katanya di telepon.
“Makan makanan kapal.” Aku tertawa di antara kantuk, sebelum kembali bicara. “Ntar kalau Mas pulang, boleh request mau dimasakin apa aja.”
Hening dari seberang sana, aku sampai mengecek apakah sambungannya terputus, ternyata tidak.
“Mas … Mas Dwi. Ngelamun, ya?” tanyaku.
“Eh, iya. Kangen banget,” keluhnya. “Sayang, jaga anak-anak baik-baik, ya? Kamu pasti bisa.”
“Kok Mas ngomongnya gitu?” protesku. “Kayak mau ke mana aja.”
“Nggak apa-apa, tiba-tiba kepikiran aja. Udah dulu, ya. Sebentar lagi dipanggil, nih. Uhibbuki fillah, ya zaujati.”
Sebelum sempat aku membalas ucapannya, sambungan pun terputus.
Aku juga, mencintaimu karena Allah, Mas.
Setelah telepon itu, entah kenapa hatiku gelisah dan memutuskan untuk tidak melakukan apa pun. Sore harinya, kegelisahanku sempurna menciptakan tangis. Kapal selam mereka hilang kontak.
Kuambil air wudhu dengan harapan sedikit meredakan kusutnya pikiran. Setelah itu, menunaikan shalat dua raka’at dan menumpahkan segala resah ke sisi langit. Sadar betul, tidak ada yang lebih kuasa dan tempat memohon pertolongan selain Allah.
Waktu berjalan lambat. Kala statusnya masih dinyatakan hilang pertama kali, harapanku masih meninggi. Setidaknya, menurut keterangan mereka membawa cukup logistik dan persediaan oksigen masih mencukupi hingga 72 jam.
Hari pertama berlalu, aku berbuka dan sahur ditemani derai air mata dan selaksa do’a. Tidak ada informasi yang menumbuhkan positif vibes.
Hari kedua, informasi menyatakan kapal mereka ada di kedalaman kurang lebih 850m di bawah laut. Allahu Rabbi … tak dapat kubayangkan lelakiku dan rekan-rekannya berjuang di tengah tekanan udara yang begitu besar. Baja saja akan remuk di kedalaman itu, apalagi tubuh manusia.
Hatiku semakin hancur kala informasi mengenai munculnya kepingan dan barang-barang yang diyakini bagian dari kapal selam yang mereka naiki. Mataku menyorot pada sebuah gulungan di layar televisi. Tidak salah lagi, itu sajadah waterproof yang kubeli setahun yang lalu untuk Mas Dwi.
Ya Allah … inikah saatnya untuk merelakan?
Saat aku tenggelam dalam kesedihan, terdengar bel pintu berbunyi. Seorang laki-laki membawa buket bunga mawar beserta kotak kue.
“Dengan Ibu Zea Fridayanti?” tanyanya.
“Iya.”
“Ini ada paket untuk Ibu, mohon ditanda tangan.”
“Terima kasih,” ucapku setelah menandatangani bukti terima.
Untuk pertama kalinya di anniversary kami, Mas Dwi memberiku bunga sekaligus kue. Sepertinya ia menyiapkan semuanya sebelum berangkat.
Ya Allah … andai aku diperkenankan memilih, aku memilih tidak mendapat kue anniversary selamanya asal lelakiku masih ada di sisiku.
Sepucuk surat yang menyertai buket bunga itu berisi tulisan khas Mas Dwi.
“Assalamualaikum, Sayang. Sudah lihat kue dan bunganya? Suka? Apa kabarmu? Pasti sedang cantik. Kapan, sih, kamu jeleknya? Izinkan aku bernostalgia pada pertemuan pertama kita.”
Aku menarik napas sebelum meneruskan membaca. Harusnya wajahku bersemu malu, nyatanya hanya ada perih, sesak, seperti ribuan jarum menghujam dada.
“Kamu tahu, Sayang. Saat Mas diajak pamanmu ke rumahnya, pertama kalinya Mas melihat gadis cantik dengan seragam SMA dan membuatnya menangis di pertemuan pertama. Mas menyindirnya yang memperlihatkan rambut indahnya. Pulang dari sana, pamanmu menghajar Mas karena membuat keponakannya menangis. Akan tetapi, seminggu setelahnya pamanmu justru berterima kasih karena kamu akhirnya menutup aurat dengan sempurna.”
Aku tersenyum mengingat pertemuan pertama kami itu. Lelaki yang menyita atensi sejak awal sosoknya tertangkap oleh mataku. Namun, kekaguman itu berubah menjadi kekesalan saat ia menyindir rambutku yang digerai asal tanpa kerudung. Sindiran yang merasuk di hati dan dengannya Allah menuntunku untuk mengenakan kerudung.
“Dua tahun tidak bertemu, pada akhirnya Mas menemukanmu dengan metamorfosa sempurna. Kamu menjelma menjadi gadis salihah. Mas yang sudah di ambang 30 tahun dengan tak tahu dirinya melamarmu, siap dengan penolakan. Tapi kami adalah prajurit, pantang mundur sebelum berperang.”
Usia kami memang terpaut hampir sepuluh tahun. Namun, pesona seorang Dwi Naresta tidak ingin kulewatkan begitu saja.
“Mas sudah siap ditolak, tapi Allah Maha Baik. Kamu menerima, apa jangan-jangan kamu memang udah suka, ya, sama Mas?”
Tepat. Aku memang menyukainya sejak awal bertemu. Kekesalan atas sindirannya tak mampu mengalahkan rasa suka yang mulai tumbuh. Dua tahun memendam rasa tanpa pernah bertemu lagi, lalu ia datang menawarkan bahagia, kenapa mesti ditolak?
“To be my wife, thank you so much.”
And I’m blessed to have you as my husband, Mas.
“Terima kasih untuk semua ekspresi cintamu selama ini. Mas berharap kita akan senantiasa saling mencintai di bumi, kemudian mati dan hidup lagi untuk bersama kembali di surga.”
Terima kasih juga untuk seluruh cintamu yang melengkapiku, Mas. Insyaa Allah … insyaa Allah kita akan berkumpul kembali di surga.
“Didik anak-anak agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik seperti Mama mereka, ya. Mas ridho padamu. Miss you and love you to the sky sampai under the sea haha.”
Aku tak mampu tertawa membacanya, Mas. Sebab tahu, setelah ini aku tak akan mendengarkan gombalanmu lagi.
Selamat jalan, cintaku. Purna sudah tugasmu mengabdi. Sebegitunya engkau mencintai laut, sampai-sampai menemui takdir kematian juga di sana.
Aku tak tahu sedang apa engkau kala Malaikat Izrail mendatangimu. Sedang sahur? Shalat Shubuh? Shalat Dhuha? Sedang menikmati lapar puasa? Atau saat berbuka?
Satu yang kuyakini, engkau kini tengah bahagia. Sebab cita-citamu ialah syahid. Engkau kini syuhada, dipanggil oleh Allah dengan cara yang indah karena ini bulan mulia. Sebagaimana rekan-rekanmu yang lain.
Hanya sepuluh tahun Allah beri waktu membersamaimu di dunia. Janji, ya. Setelah ini kita akan bersama lagi, tidak hanya untuk sepuluh tahun. Tunggu aku di pintu surga, Kapten!
Garut, 26 April 2021
#taken from https://tuturkata.com/2021/04/27/eternal-patrol-eternal-love/