Kisah Tun Sri Lanang
Siapakah Tun Sri Lanang? Ternyata kebanyakan orang Aceh sendiri tak mengenalnya. Bukan hanya para pejabat daerah setempat, bahkan warga Samalanga atau Bireuen banyak yang tidak tahu siapa itu Tun Sri Lanang. Padahal Tun Sri Lanang merupakan seorang ahli pemerintahan dan pujangga Melayu dengan karyanya yang monumental berupa kitab Salalatus Salatin. Di Singapura, sosok Tun Sri Lanang merupakan sosok sangat penting bagi Singapura, karena tanpa Tun Sri Lanang lewat kitab Salalatus Salatin, tidak akan ada sejarah Singapura, karena yang ada adalah sejarah modern sejak pemerintahan Rafless.Bahkan penghargaan karya sastra tertinggi di Singapura mengabadikan nama Tun Sri Lanang. Kalau di Malaysia nama Tun Sri Lanang sudah tidak asing lagi karena namanya diabadikan sebagai nama sekolah dan perguruan tinggi.
Menurut Linehan (1936), Pemerintahan Sultan Iskandar Muda memindahkan sekitar 22.000 penduduk Semenanjung Melayu ke Aceh dikarenakan penduduk Aceh telah berkurang drastis karena perang selama 130 tahun. “The whole territory of Acheh was almost depopulated by war. The king endeavoured to repeople the country by his conquests. He transported the inhabitants from Johore, Pahang, Kedah, Perak and Deli to Acheh the number of twenty-two thousand persons.” (Linehan, W. 1936). Sebagian besar dari ke 22.000 warga pindahan itu ditempatkan di Samalanga (Kab. Bireuen) dan Seulimuem (Kab. Aceh Besar).
Saat ditawan, Tun Sri Lanang sedang menjabat sebagai Datok Bendahara kepada Paduka Raja Tun Muhammad Orang Kaya Kerajaan Johor Lama di Batu Sawar, Pewaris Kerajaan Kesultanan Melaka, 1557 – 1613 M. Tun Sri Lanang, selain seorang Bendaharawan, juga adalah seorang penulis. Ketika ditawan dan dibawa ke Aceh pada 1613 M, Tun Sri Lanang telah menuliskan sebagian dari naskah Sulalatus Sulatin yang kemudian dirampungkannya di Aceh.
Pada 1613 M, beliau kemudian diangkat oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam menjadi Raja Perdana Ulee Balang Pertama VI Mukim Negeri Samalanga Aceh Darussalam dengan gelaran Datuk Bendahara Tun Muhammad Seri Lanang, setelah untuk beberapa lama menjabat sebagai Penasihat Sultan dengan gelar Orang Kaya Datuk Bendahara Sri Paduka Tun Sebrang, dan Sulthan Iskandar Muda memberikan wilayah kekuasaannya di Samalanga yang dibatasi dengan Krueng Ulim dan Krueng Jempa (AK Yakobi: 1997: 40 – 48).
Tun Sri Lanang adalah orang yang membangun Mesjid Raya Samalanga pada abad XVII. Peletakan batu pertama untuk Mesjid tersebut dilakukan oleh Sultan Aceh Darussalam ke-22, Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Mesjid raya ini sekarang dikembangkan oleh lembaga MUDI MESRA (Ma’had ‘Ulumul Diniyah Mesjid Raya) Pimpinan Tgk. Hasan Noel yang pada saat ini memiliki sekitar 3.000 santri.
Rumah bekas kediaman Raja Samalanga pertama ini, dikenal sebagai “Rumoh Krueng”, telah dipugar meskipun beberapa bagian masih menggunakan kayu dasarnya dan sudah terlihat keropos dimakan rayap. Di sebelah kirinya, berjarak sekitar 50 meter, disemayamkan jasad Tun Sri Lanang dan orang-orang dekatnya, pada satu kompleks pekuburan yang sederhana.
Tun Sri Lanang, sang pengarang kitab Sulalatus Salatin, bacaan wajib di sekolah-sekolah Melayu, dikenang juga dengan gelaran tidak resmi “Gajah Mada Dunia Melayu”. Di antara kesamaan Tun Sri Lanang dengan Gadjah Mada (sepertinya nama sebenarnya) adalah :
1) Penyatuan, Gajah Mada menyatukan pulau-pulau di Nusantara, sementara Tun Sri “menyatukan” Melayu karena menurunkan garis keturunan bangsawan di Malaysia dan di Aceh. Di Malaysia, garis keturunannya di antaranya adalah Sultan-sultan Pahang, Johor, dan Selangor. Sedangkan di Aceh, telah ada keturunan ke – 8 Beliau yang saat ini juga Ketua Yayasan Tun Sri Lanang, Pocut Haslinda Syahrul;
2).Sama-sama meninggal di Aceh, Tun Sri meninggal di Samalanga pada 1659 M, sementara Gadjah Mada di Manyak Payet, Tualang Cut, Kuala Simpang.
Di Negeri Johor Malaysia Tun Sri Lanang menikah dengan Tun Aminah binti Tun Kadut bin Seri Amar Bangsa Tun Ping bin Tun Hasan bin Tun Biajid Rupat bin Bendahara Seri Maharaja, dari pernikahannya dengan Tun Aminah mempunyai empat anak yaitu tiga orang laki-laki dan satu perempuan.
Yang laki-laki bernama :
1. Tun Anum (BSM)
2. Tun Mat Ali (BPM)
3. Tun Jenal dan (BS/BPR)
4. Tun Gembuk
Setelah di Aceh Tun Sri Lanang menikah lagi dan mempunyai seorang anak bernama Tun Rembau bergelar Teuku Tjik Di Blang Panglima Perkasa32 Dalam sejarah melayu anak cucu Tun Seri Lanang kemudian menjadi para bangsawan di Malaysia, yaitu Sultan di Trengganu, Johor, Pahang dan Selangor. Pada tahun 1613 setelah peristiwa Batu Sawar Tun Sri Lanang hijrah ke Aceh Darussalam bersama keluarga Sultan Alauddin termasuk adiknya Raja Bungsu dan bersama mareka dibawa dua ribu penduduk Johor ke Aceh dan kemudian bermukim di Samalanga. Secara tradisional Jabatan penting dalam Kesultanan Melayu merupakan jabatan warisan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut satu riwayat setelah Tun Sri Lanang pindah ke Aceh dan putra tertua di Malaysia bernama Tun Anum diangkat menjadi Bendahara Johor berikutnya. kemudian Tun Anum ini diduga meninggal dunia bersama pembesar Johor lainnya akibat wabah penyakit pada tahun 1642 dan di makamkan di Makam Tauhid ( Makam Sayed). Setelah Tun Anum mangkat adiknya yang bernama Tun Jenal diangkat menjadi Bendahara dengan gelar Paduka Raja atau Bendahara Sekudai. Tun Jenal merupakan bendahara Johor yang berjasa melepaskan Malaka dari penjajah Portugis tahun 1941 Masehi. Peristiwa pelepasan malaka dari Portugis tercatat dalam hikayat Hang Tuah.
Keturunan Tun Jainal bergelar Bendahara Paduka Raja (BPR) alias Datuk Sekudai ini mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said Zainal Abidin dari Aceh yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Dato Maharaja Diraja. Dato Maharaja Diraja mempunyai dua orang putra yang bernama Sayid Jak’far alias Datuk Pasir Raja dan Habid Abdullah BSM
Peristiwa Laut
Pemerintahan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menerapkan pendekatan lunak maupun tegas untuk menjaga keutuhan wilayahnya, dari ancaman disintegrasi bangsa baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Strategi lunak yaitu “politik meubisan” dan “rotasi pimpinan daerah taklukan Aceh”. Kalau jalan ini tidak berhasil Sultan akan mengerahkan angkatan perangnya menundukkan daerah taklukannya yang melawan terhadap kebijakan pusat.
Politik meubisan ini seperti pernah dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda dengan mengawinkan adiknya dengan Sultan Abdullah Ma’ayat Shah. Kemudian Sultan Murka karena adik yang dicintainya diceraikan oleh Sultan Abdullah. Iskandar Muda memerintahkan pasukannya untuk membumi hanguskan Batu Sawar, ibu kota Kerajaan Johor Lama pada tahun 1623. Abdullah-pun mangkat dalam pelarian di Pulau Tembelan.
Politik meubisan berhasil juga menundukkan Perak dan Pahang. Setelah pembesar-pembesar pahang mengetahui anak negerinya Raja Mughal anak Sultan Ahmad dinobatkan sebagai sultan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menggantikan Iskandar Muda pada tahun 1637 M, Adik Sultan Iskandar Tsani, Raja Sulong menjadi Sultan Perak ke-10 dengan gelar Sultan Muzaffar Shah II maka rakyat ke dua negeri langsung melakukan ikrar kesetiaan mendukung keutuhan Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Tun Seri Lanang atas saran Putri Kamaliah, Sultan Iskandar Muda menjadikannya raja pertama ke Samalanga. Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat.
Penobatan Tun Sri Lanang menjadi raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena di samping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama, Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan ini akan membantu pengembangan Islam di pesisir timur Aceh. Penentangan yustru muncul dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei yang menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga.
Alkisah menurut penuturan orang orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan 11 orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, bermusyawarahlah mareka siapa yang berhak menjadi raja pertama. Di antara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi pergaduhan dan atas saran masyarakat agar ke 12 orang panitia ini menghadap sultan Iskandar Muda, biarlah sultan yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam ini.
Sayup-sayup Puteri Pahang pun mengetahui rencana pertemuan 12 tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Ia menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara bergelar Tun Sri Lanang yang tiada lain adalah saudaranya sendiri. Siasat diatur cara ditempuh, Tun Seri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, berpura puralah ia sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang. Rencana Putri Pahang Tun Sri Lanang harus duluan tiba di Samalanga dan ke 12 tokoh masyarakat ini diusahakan menggunakan jasa dia untuk berlayar ke kuala Aceh menghadap Baginda.
Pada hari yang telah disepakati bersama, berangkatlah 12 orang panitia menghadap tuanku sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke 12 orang ini mengatur sembah sujud kehadapan baginda dan mengutarakan maksud dan tujuan menghadap Daulat Tuanku Meukuta Alam. Mareka meminta kepada tuanku agar salah satu dari mareka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Sultan setelah meminta pendapat orang orang besar kerajaan dan Puteri Pahang setuju menobatkan salah satu dari mareka menjadi raja pertama asal cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok untuk jari kelingking mareka.
Setelah dicoba satu persatu, cincin kerajaan ini terlalu besar untuk dipakai pada 12 orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mareka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung istana? Mareka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Seri Lanangpun dihadapkan kehadapan Sultan, cincin kerajaan sangat cocok untuk jari kelingkingnya.
Iskandar Muda menobatkan Tun Seri Lanang menjadi raja pertama Samalanga. Sewaktu mareka pulang Tun Seri Lanang dibuang di tengah laut di kawasan laweung kejadian ini dikenal dalam masyarakat Samalanga Peristiwa Laut. Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung) menyelamatkannya dan bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Baginda dan memberitahukan penemuan Tun Seri Lanang di Tengah Laut. Baginda Murka dan memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Seri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan 11 orang panitia persiapan keuleebalangan dihukum pancung oleh sultan.
Tun Sri Lanang menjadi uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M dan mangkat di Lancok Samalanga. Pada masa pemerintahannya berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh, dan tradisi ini terus berlanjut sampai dengan saat ini. Beberapa mesjid di sana di bangun pada zamannya seperti Mesjid Matang Wakeuh, Tanjungan.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) di sana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang, Riau, Lingga (1688-1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Terengganu, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.
Foto-foto Istana Tun Seri Lanang yang juga dikenal sebagai Rumoh Krueng (Rumah Sungai) dan Makam Tun Sri Lanang 👇