Blang Padang Milik Siapa?

DCIM100MEDIADJI_0060.JPG
Blang Padang adalah sebuah lapangan seluas lebih kurang 8 hektare yang berada di antara Jalan Iskandar Muda, Jalan Syekh Muda Waly dan Jalan Prof Abdul Madjid Ibrahim. Kita bisa melihat di lapangan ini warga sering melakukan kegiatan olah raga dan menikmati kuliner dan juga menjadi destinasi wisata. Di lapangan ini terdapat Monumen Thanks to The World dan Monumen Pesawat RI–001 Seulawah.

Monumen Thanks to The Word adalah sebuah monumen dibangun sebagai bentuk rasa syukur dan terimakasih Aceh kepada semua negara dan semua pihak yang telah membantu Aceh saat pasca Gempa Tsunami Aceh.

Sedang Monumen Pesawat merupakan replika dari pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang merupakan sumbangsih rakyat Aceh untuk Republik Indonesia masa perjuangan Kemerdekaan dulu dan menjadi cikal-bakal pesawat terbang pemerintah Indonesia, Garuda Indonesia Airways.

Sebenarnya Blang Padang dan Blang Punge adalah “Umeung Musara” (tanah wakaf) Masjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan, atau dijadikan harta warisan. Dan tidak ada pihak yang dapat mengganggu gugat status keberadaan hak miliknya.
Pada masa kerajaan Aceh di pimpin oleh Sultan Iskandar Muda, saat itu, Lapangan Blang Padang merupakan areal persawahan rakyat. Lalu, Sultan mengambil alih dengan membeli lokasi persawahan tersebut. Tidak lama, karena, setelah itu Sultan Iskandar Muda mewakafkannya kepada imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Mengapa Blang Padang di wakafkan kepada imam Mesjid Raya Baiturrahman? Dahulu, Sultan Iskandar Muda melihat jika Imam Masjid Raya tidak di gaji. Sedangkan satu sisi, seorang imam juga harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh sebab itu, wakaf ini tidak lain untuk di jadikan lahan sawah atau kebun untuk mencukupi kehidupan imam dan keluarganya. Jadi, secara histori, tanah ini merupakan tanah musara (wakaf).
Pada tahun 1800-an, petakan-petakan sawah Blang Padang ini ditimbun sehingga menjadi lapangan. Kemudian oleh Belanda Lapangan ini dimanfaatkan sebagai lapangan upacara dan berbagai kegiatan lainnya. Bahkan, pada masa pimpinan Syamaun Gaharu dimana pada saat itu beliau merupakan seorang panglima daerah militer Aceh (KDMA), sebuah stadion di bangun di atas lapangan ini. Namun terpaksa dibongkar pada tahun 1891. Penggalan-penggalan sejarah Blang Padang ini terpapar rapi dalam catatan K.F.H Van Langen. Sekitar tahun 1888, Van Langen mencatat bagaimana awal mula sejarah Blang Padang. Catatan-catatan itu pun akhirnya terangkum dalam sebuah buku yang berjudul;“De Inrichting van het Atjehsche Staats- bestuur onder het Sultanaat”.
Hampir seminggu saya mengotak-atikan dan menelusuri asbabul nuzul “Desah Arafah” alias Blang Padang. Akhirnya saya menemukan tulisan Karel Frederik Hendrik (KFH) van Langen, pegawai pemerintah Belanda yang pernah ditugaskan di Kalimantan dan Sumatera Barat. Pada tahun 1879, dia diperbantukan pada Kantor Gubernur Aceh dan daerah taklukannya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Besar. Dia pula yang membiayai percetakan buku monumental karya Snouck Horgronje “Atheheers” (E Gobee dan C Adriaanse: 1990). Van Langen pernah dipercayakan empat kali sebagai pejabat sementara Gubernur Aceh (dari 1898 sampai dengan 1895) hingga ia meninggal dunia pada 18 April 1915 di Kota Ede, Gelderland, Belanda.
Van Langen menulis beberapa pengalamannya selama di Aceh. Diantaranya “De Inrichting van Het Atjehschee Staatbestur Onder Het Sultanaat” pada tahun 1888 yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. Abu Bakar Aceh dengan judul Susunan Pemerintahan Aceh semasa kesultanan. Dalam buku ini disebutkan bahwa Blang Padang dan Blang Punge adalah “Umeung Musara” (tanah wakaf) Masjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan, atau dijadikan harta warisan. Dan tidak ada pihak yang dapat mengganggu gugat status keberadaan hak miliknya.
Tanoh meusarah digunakan sebagai sumber penghasilan Imuem Masjid Raya Baiturrahman. Jika dari tanah wakaf masjid ini tidak cukup membiayai Masjid Raya Baiturrahman, maka dibantu oleh zakat padi atau barang-barang lainnya dari penduduk yang berkediaman di sekitar Masjid Raya Baiturrahman. Hasil tanah wakaf ini khusus untuk pemeliharaan masjid, seperti keperluan muazzin, bilal, khatib dan kebutuhan lainnya. Jika ada perbaikan berat maka diminta bantuan pada penduduk.
Alkisah, ketika genderang perang Aceh melawan Belanda dimulai pada 26 Maret 1873, Belanda melakukan kesalahan besar dalam sejarah invasi kolonialnya dengan menduduki dan membakar Masjid Raya Baiturrahman dengan melempar 12 granat, pada Kamis 10 April 1873. Rakyat Aceh semakin marah, akibatnya berselang empat hari kemudian Belanda harus membayar mahal dengan tewasnya Jenderal J. H. R. Kohlier di halaman Masjid Raya Baiturrahman pada 14 April 1873. Serdadu Belanda kabur ke Batavia pada 17 April 1873 (Paul van Vier: 1979).
Belanda kembali melakukan invasi kedua pada 9 Desember 1873 dan 24 Januari 1874. Istana Kesultanan Aceh berhasil diduduki setelah Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874 M) meninggalkannya dan mengungsi ke Lueng Bata. Maka saat Letnan Jenderal van Swieten mengumumkan pada dunia Internasional bahwa “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda” (Talsya: 1982).
Seluruh kekayaan pribadi dan aset istana dirampas dan dijadikan milik pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght van Over Winning (H. C. Zentgraaff: 1981). Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan Aceh ini kemudian dikuasai oleh KNIL Jepang, seperti Kuta Alam, Neusu, Kraton dan sejumlah aset lain yang sudah dialih fungsi saat ini.
Namun Masjid Raya Baiturrahman dan aset wakafnya, ternyata tidak dirampas oleh Belanda untuk dijadikan sebagai harta rampasan hak menang perang, sebagaimana berlaku asas Reght van Over Winning. Karena menurut Belanda ini (perang Aceh dengan Belanda), bukan perang agama (perang suci). Sehingga Masjid Raya Baiturrahman yang telah dibakar pada 10 April 1873 dibangun kembali oleh Belanda pada tahun 1879 oleh Gubernur Aceh Jenderal K van der Heijden. Van Langen menulis dalam bukunya, bahwa tanah tersebut sebagai tanah meusara Masjid Raya Baiturrahman dan tidak bisa dipindahtangankan. (Van Langen: 1888).
Jadi, secara jelas dapat dikatakan bahwa serambi Masjid Raya Baiturrahman adalah Blang Padang yang sempat digunakan sebagai lapangan olahraga, dan pada tahun 1981 berganti nama menjadi “Desah Arafah”, dan tempat arena MTQ Nasional. Karenanya, tidak heran di Blang Padang dari dulu menjadi tempat shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tidak dilaksanakan di lapangan lain karena tanah itu adalah milik Masjid Raya Baiturrahman. Dan keberadaan Blang Padang merupakan denyut nadi kehidupan Masjid Raya Baiturrahman, dan dalam hal itu Belanda sangat menghormatinya.
Menindaklanjuti polemik saling klaim antara pemerintah Aceh dan Kodam Iskandar Muda, dan hampir setiap hari ada iklan dukungan dari pemerintah kabupaten/kota agar pemerintah Aceh dapat mensertifikasi tanah Blang Padang atasnama pemerintah Aceh, sedang pihak TNI mengklaim jika itu adalah miliknya. Maka yang perlu dilakukan agar kedua belah pihak ikhlas mengembalikan tanah Blang Padang sebagai aset wakaf dan menjadi meusara Masjid Raya Baiturrahman yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan sebelumnya.
Sebenarnya, masih banyak tanah-tanah wakaf di Aceh yang masih perlu dibenahi sehingga tidak beralih fungsi dan kepemilikannya. Pemerintah Aceh harus belajar terhadap hal yang dilakukan Baitul Asyi di Makkah Al-Mukarramah, Saudi Arabia. Mereka mampu mengelola tanah wakaf Aceh sudah ratusan tahun, meskipun sudah sekian kali dinasti berkuasa berganti. Sampai sekarang hasilnya masih bisa diperoleh para jamaah asal Aceh yang menunaikan ibadah haji. Para jamaah Aceh diberikan ganti berupa uang pemondokan jamaah haji sesuai dengan amanah wakaf di waktu kerajaan Aceh dahulunya.
Dan, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjinakkan “nafsu ingin menguasai” harta milik Allah itu, dan Blang Padang dapat dikembalikan sebagai aset Masjid Raya Baiturrahman kembali. Sebab penjajah Belanda saja sangat menghormatinya, kenapa kita tidak. [*]
( Arahas Moeda dan sumber lainnya )