Biografi Mukhlis Takabeya : Bertualang Bersama Darwis Djeunieb
Tahun 2001, H. Saifannur memenangkan kontrak pembangunan jembatan rangka baja dan jalan sepanjang 21 kilometer di Krueng Meuseugob, Samalanga, tembus ke pucuk Nalan. Untuk pelaksana proyek di lapangan, ia tetap memercayai Mukhlis yang telah teruji ketangguhannya.
Bukan perkara mudah menjalankan proyek di kawasan pedalaman Aceh kala itu. Kondisi keamanan yang semakin kacau membuat banyak orang harus berpikir ulang. Apalagi di kawasan barat Bireuen, yang dikenal sebagai basis GAM. Para petinggi GAM Wilayah Batee Iliek-wilayah kegubernuran dalam versi GAM-termasuk Darwis Djeunib bin Abdullah, bercokol di sana. Jeunib, Pandrah, Simpang Mamplam, dan Samalanga, merupakan wilayah gerilya bekas anak tentara Republik Indonesia yang justru menjadi pengikut setia Teungku Hasan Muhammad di Tiro, penggagas sekaligus Wali Neugara Aceh Merdeka.
Darwis dikenal sebagai petinggi militer Teuntra Neugara Aceh (TNA)-sayap militer GAM-yang misterius sekaligus disegani kawan dan ditakuti lawan. Darwis merupakan alumnus kamp pelatihan militer Tanzura, Libya di masa Kolonel Moammar Khadafi masih sebagai presidennya. Lelaki yang lahir di kompleks militer Republik Indonesia di Kompi Bantuan, Bireuen itu dididik langsung oleh mualim dari keturunan Arab. Dengan fasilitas latihan sesuai standar Arab dan dilatih langsung oleh militer Arab berpengalaman, Darwis menjelma sebagai petempur yang terlatih, tajam, serta menakutkan.
Untuk mempermudah urusan pekerjaan, Mukhlis harus menemui Darwis Djeunib. Banyak orang yang enggan berurusan dengan lelaki tinggi besar dan berkumis tebal itu. Apalagi, Darwis sangat jarang berbicara dengan orang lain di luar komunitasnya. Dengan rokok kretek merek Dji Sam Soe, ia terlihat sangat berwibawa di mata banyak orang.
Mukhlis bukan tipikal orang yang mudah ciut nyalinya karena karisma seseorang. Bagi dirinya, menyukseskan misi adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Ia kemudian membangun komunikasi dan akhirnya bertemu dengan Darwis di sebuah rumah milik seorang kombatan GAM di Pandrah yang bernama sandi Ija Kroeng. Di rumah Ija Kroeng lah Darwis Djeunib sering menerima tamu.
Kepada Darwis, Mukhlis menyampaikan maksud mengapa ia ingin bertemu sang kombatan. Dengan runut alumnus politeknik itu menjelaskan proyek yang akan dikerjakan oleh pihaknya di kawasan Krueng Meuseugop. Darwis manggut-manggut mendengar penjelasan yang disampaikan oleh Mukhlis.
“Intinya GAM tidak akan mengganggu proyek yang kamu kerjakan. Silakan saja bekerja. Bangunlah komunikasi yang baik dengan semua pihak. Aceh membutuhkan pembangunan. GAM mendukung pembangunan yang kalian lakukan. Apalagi rakyat di pedalaman, sangat membutuhkan jalan dan jembatan untuk memperlancar transportasi,” ujar Darwis kala itu.
Mukhlis lega, ia tidak menyangka sambutan Darwis sangat baik. Panglima TNA itu walaupun melawan Republik Indonesia, tapi memiliki pandangan maju untuk Aceh. Ia peduli kepada pembangunan Aceh. “Apa yang kami perjuangkan juga bagian untuk memajukan Aceh. Bila kelak sudah merdeka, Aceh akan kita bangun dengan semaju-majunya,” kata Darwis.
Kala dirasa sudah cukup, Mukhlis pamit. Ia menemui H. Saifannur dan melaporkan kemajuan program yang dijalankan. Saifannur tersenyum penuh makna. Sejak awal ia sudah yakin sang adik mampu melobi Teungku Darwis Djeunib. Ia paham Mukhlis memiliki semangat pantang menyerah yang membuat dirinya akan melakukan apa saja demi suksesnya misi yang diemban.
Dua hari kemudian, Mukhlis menurunkan semua alat berat dan armada kerja ke Krueng Meuseugob. Dengan perasaan dag-dig-dug, para pekerja berangkat ke lapangan. Mereka membangun basecamp di bagian bawah, dengan jalan utama. Basecamp Mukhlis tidak begitu jauh dari Radio Induk Cicem Pala milik GAM di Krueng Meuseugop. GAM juga menjadikan Meunasah Krueng Meuseugob sebagai markas nonpermanen. Mereka sering mangkal di sana, baik dalam urusan membangun strategi maupun untuk sekadar duduk-duduk santai.
Sebagai pelaksana proyek di lapangan, Mukhlis bukan hanya membangun komunikasi dengan pihak GAM, melainkan juga dengan pimpinan TNI dan Polri yang bertugas di Bireuen. Tujuannya hanya satu, agar tidak ada gangguan dari kedua belah pihak atas pekerjaan yang sedang dia lakukan.
Menjadi kontraktor di masa konflik bukanlah pekerjaan mudah. Komunikasi harus dibangun dengan semua komponen yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuatan. Bila komunikasi tidak berjalan mulus, petaka bisa datang kapan saja. Di tengah konflik bersenjata, tidak ada orang yang benar-benar bisa dipercayai seratus persen. Semuanya saling menaruh rasa curiga. Ketulusan dalam berteman, kejujuran dalam berhubungan, tidak saja menjadi komitmen di dalam hati, tapi harus ditunjukkan dalam bukti nyata.
Khusus dengan Darwis Djeunib, sebagai bukti bahwa Mukhlis memiliki komitmen, ia tidak saja membangun komunikasi verbal, tapi juga menunjukkannya dalam bentuk dukungan logistik. Mukhlis juga dekat dengan pasukan Darwis Djeunib seperti Ayah Irak, Burak, Wan Kribo, Sanjay, dan lain-lain.
la kerap menyuplai kebutuhan bahan makanan pokok dan kebutuhan sekunder lainnya. Mukhlis membelanjakan beras, ikan asin, telur, mi instan, rokok, terkadang juga kebutuhan obat-obatan. Semua itu dilakukan lewat perantara. Darwis menjaga serapi mungkin agar TNI dan Polri tidak menaruh curiga kepada Mukhlis. Ia tidak ingin dukungan logistik yang diberikan oleh Mukhlis bocor ke pihak yang memanfaatkan situasi.
Oleh karena itu, ketika suatu hari Mukhlis tiba di markas GAM di belantara Krueng Meuseugop, Darwis sangat terkejut.
“Mengapa kamu datang kemari? Tak tahukah kamu bila kondisi lapangan sangat rawan. Bisa saja ketika kamu turun nanti, TNI atau Polri akan menangkap dan membunuhmu,” ujar Darwis. Ia tidak ingin Mukhlis mendapatkan masalah.
“Aku rindu sama Abang. Kalau tak rindu, mengapa pula saya harus menempuh risiko datang kemari,” ujar Mukhlis sembari menatap Darwis.
Darwis terkejut dengan jawaban lelaki berkulit gelap eksotis itu. “Ya sudah kalau begitu. Ayo mampir ke jambo”,” ajaknya sembari menyulut sebatang rokok. Sekitar tiga jam mereka bersama, membicarakan apa saja, mulai dari kehidupan pribadi hingga tentang perjuangan. Pembicaraan itu turut diselingi dengan canda tawa.
Untuk memudahkan komunikasi dengan Mukhlis yang dilakukan via radio handy talky-yang mudah dilacak oleh TNI dan POLRI-pihak GAM memberikannya nama samaran, yaitu Toke Raket atau Toke Singapo. Ketika berkomunikasi lewat udara, nama itulah yang digunakan. Dengan begitu, walaupun percakapan itu diketahui oleh aparat Republik Indonesia, tapi mereka tidak mengetahui siapa yang sedang berbicara.
Komunikasi yang dilakukan di antara petempur dan kalangan sipil GAM via radio HT memang menggunakan sandi yang sulit dipahami orang kebanyakan. Misalnya, mereka mengatakan sedang makan dengan istilah “teungoh sak gapeuh” alias “sedang memasukkan kapas”. Orang yang tidak paham pastilah mengira bila si empunya kalimat sedang “mengisi” kapas ke dalam kasur atau ke dalam bantal. Rokok juga begitu, sering disebut dengan istilah “kawat lah” atau dalam bahasa Indonesia disebut kawat las.
Pernah ada peristiwa yang membuat nyali Mukhlis nyaris ciut. Saat itu dia bersama tiga orang pekerjanya sedang membangun jembatan darurat di Krueng Meuseugob. Dua orang kombatan GAM melintasi mereka sembari memberi salam. Mereka menggunakan sepeda motor Yamaha RX King dan sepertinya sedang mengangkut beras. Mukhlis membalas salam sembari melambaikan tangan. Kemudian kembali sibuk dengan pekerjaaanya memasang balok-balok dari pohon kelapa.
Tiba-tiba terdengar suara rentetan senjata api. Di ujung jalan, Mukhlis sempat melihat salah seorang kombatan GAM tadi terjungkal ke tanah. Beras yang berada di pangkuan sang kombatan ikut berhamburan ke jalan. Seorang lagi, terlihat kepayahan tapi terus berusaha menggeber gas sepeda motor dua tak itu.
Begitu melihat ada korban jiwa, sopir Mukhlis yang sedari tadi berada di dalam mobil, segera tancap gas ke arah Bireuen. Ia tidak peduli lagi bila bos dan tiga koleganya sedang berada di jembatan.
Mukhlis dan tiga pekerjanya segera tiarap. Begitu suara senapan berhenti menyalak, mereka bangkit. Seorang tentara muncul dari semak-semak. Memberi aba-aba bila mereka harus segera meninggalkan lokasi itu.
“Sudah, kalian pulang saja. Besok dilanjutkan pekerjaannya,” ujar seorang tentara.
Mukhlis dan teman-temannya hanya mengangguk. la sempat melirik jenazah kombatan GAM yang berlumuran darah. Mulutnya penuh dengan beras yang telah bercampur darah.
Dengan gerakan lunglai Mukhlis melangkah meninggalkan lokasi kontak senjata. Seakan-akan langkahnya tidak lagi berpijak pada bumi. Dengan menapaki jalan berdebu, dia dan pekerjanya melangkah menuju basecamp yang jauhnya beberapa kilometer dari jembatan darurat.
Belakangan diketahui, bila tentara GAM yang lolos dari penyergapan itu hanya terkena serpihan peluru di bagian kaki. Ia harus menyelamatkan diri karena bersamanya ada senjata api dan beberapa keperluan GAM lainnya.
Di waktu yang lain, Darwis Djeunib dan sekitar 50 pasukannya, baru saja menyandera salah seorang camat di salah satu kecamatan di bagian barat Bireuen. Mukhlis lupa-lupa ingat, apakah Camat Samalanga atau Simpang Mamplam. Namanya Is.
Hari itu, sekitar pukul lima sore, pasukan Darwis sedang beristirahat di rangkang pade di kawasan yang ditanami padi gunung. Sepasukan TNI sudah memasuki kawasan itu dan sudah melakukan pengepungan. Mereka hanya menunggu gelap saja untuk menyerang.
Pukul lima sore, Mukhlis masuk ke sana dan memberitahukan Darwis bila TNI sudah mengepung mereka. Mendapatkan kabar tersebut, Darwis langsung memerintahkan pasukannya agar segera bergerak. Namun, belum sempat mereka beranjak dari sana, suara senapan sudah menyalak. Menerobos apa saja yang menghalangi lajur laluannya. Seorang kombatan GAM yang bernama Teungku Matang tertembak saat berusaha turun dari rangkang pade. Darwis dan pasukannya tidak memiliki waktu lagi untuk membawa Teungku Matang yang sudah tersungkur di atas dangau itu. Termasuk tidak sempat pula menyelamatkan sepucuk AK-47 yang dipegang oleh almarhum.
Seluruh pasukan kocar-kacir. Di tengah desing peluru yang datang dari arah yang tidak bisa diperkirakan, Darwis dan pasukannya, serta Camat Is, termasuk Mukhlis yang terjebak di antara mereka lari tunggang-langgang. Mukhlis sempat melihat Camat Is yang mengikuti kelompok Darwis. Ia sendiri mengambil haluan berbeda dan terus berlari menerabas hutan belantara. Dia tidak menghentikan langkahnya hingga gelap benar-benar menutupi pandangannya. Sembari meraba-raba jalan yang ditempuh, ia terus melangkah di tengah rimba. Mukhlis tiba di pinggiran kampung menjelang pagi. la sangat kelelahan.
Peristiwa penyergapan oleh TNI kembali terulang di waktu lain. Mukhlis yang kala itu dikawal oleh pasukan Darwis sedang membawa logistik GAM. Sejumlah makanan dan barang-barang lain diangkut. Darwis berjanji menunggu di seberang sungai di Krueng Meuseugop.
Baru saja Mukhlis selesai menyerahkan kebutuhan GAM kepada ajudan Darwis, tiba-tiba letusan senjata api terdengar sangat keras. Pasukan gerilyawan itu segera kocar-kacir. Lagi-lagi, dalam situasi darurat demikian, semuanya hanya peduli pada keselamatan masing-masing. Mukhlis pun harus ambil langkah seribu. Berlari sejauh mungkin, menghindari serangan pasukan TNI.
Berkali-kali lolos dari lubang maut, semakin memperkuat hubungan batin antara Mukhlis dan Darwis. Rasa senasib sepenanggungan, seirama serta saling bahu-membahu mengisi kekurangan, membuat keduanya laiknya kakak dan adik.
Ada hal menarik tentang Darwis menurut Mukhlis. Darwis tidak suka meminta-minta kepada banyak orang. Ia hanya menghubungi Mukhlis bila membutuhkan sesuatu.
Hal itu juga diakui oleh Darwis. Sang Panglima mengatakan bila sejak perang hingga damai, dia hanya berani meminta bantu kepada Mukhlis. “Dia sudah seperti adik saya sendiri. Demikian juga Mukhlis, sudah menganggap saya seperti abangnya sendiri,” ujar Darwis.
Hubungan yang terjadi secara simbiosis mutualisme itu dijaga oleh keduanya dengan sangat baik. Baik Mukhlis maupun Darwis saling memberikan dukungan atas pekerjaan masing-masing.
“Dulu, bila Bang Darwis membutuhkan apa pun, akan saya penuhi, sejauh kesanggupan yang saya miliki. Termasuk saya beli telepon satelit, untuk memudahkan Bang Darwis menjalin komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka memperjuangkan Aceh Merdeka,” kata Mukhlis.
“Mukhlis itu lebih dari GAM. Membantu perjuangan dengan ikhlas. Bila saya minta bantu, dia selalu bertanya, ‘Berapa yang Abang butuhkan?’ Mukhlis sejak dulu tipikal yang komit. Dia tidak pernah mengeluh ketika kami minta bantu,” kata Darwis Djeunieb.
Dikutip dari : BIOGRAFI MUKHLIS TAKABEYA, Petarung dari Selatan, penulis Muhajir Juli, 2020.