History of Budee Trieng (Meriam Bambu)
Dewan Kesenian Aceh (DKA) Kabupaten Bireuen bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Bireuen menggelar acara Festival Budee Trieng di lapangan sepakbola Paya Kareung, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, Kamis, 11 November 2021. Festival Teut Budee Trieng ini baru pertama kali diselengarakan di Kabupaten Bireuen. Dan sepengetahuan saya sepertinya ini yang pertama sekali dinilai oleh dewan juri dan memperebutkan hadiah uang tunai. Ide Teut Budee Trieng ini adalah ide dari Ketua DKA Bireuen, H. Mukhlis Takabeya.
Teut Budee Trieng atau menyalakan meriam bambu adalah salahsatu warisan budaya yang terdapat di beberapa daerah di Aceh yang sudah ada sejak masa kerajaan Aceh dahulu.
Meskipun beberapa tradisi lain mulai hilang digerus masa dan oleh generasi sekarang menganggapnya aneh, namun untuk tradisi yang satu ini masih begitu populer dan di pertahankan oleh masyarakat Aceh.
Teut Budee Trieng ini sering dimainkan di Kabupaten Pidie, terutama di daerah Garot, Kecamatan Delima setiap akhir Ramadhan memasuki malam Hari Raya Idul Fitri, namun tidak dilakukan secara formil dengan penilaian dan diperebutkan hadiah.
Aktivitas teut budee trieng lazimnya dilakukan saat malam hari di bulan puasa dan hari raya.
Namun demikian, jika ditelisik lebih mendetail ternyata asal muasal adanya tradisi teut budee trieng ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
Latar belakang tradisi ini disebutkan terinspirasi dari masuknya portugis ke Aceh. Hal ini dibuktikan dengan fakta dimana tiap wilayah manapun yang dijajah Portugis, masyarakatnya memiliki tradisi menyalakan meriam bambu, seperti halnya di Malaysia.
Saat Portugis masuk menyerang daerah – daerah Wilayah Nusantara dan Melayu pada abad ke-16, termasuk Aceh , mereka dilengkapi dengan senjata yang bisa diledakkan sejenis meriam. Meriam adalah sebuah senjata modern yang dimiliki oleh bangsa portugis. Pada masa itu kehadiran meriam bagi orang – orang pribumi menjadi perhatian mereka. Mereka heran melihat ada benda yang bisa mengeluarkan bola panas yang bisa mengakibatkan kerusakan yang lumayan besar.
Merujuk pada kisah asal-usulnya tersebut, permainan Meriam bambu atau bedil bambu diwujudkan dalam bentuk “Meriam” yang dibuat dari bahan bambu. Cara memainkannya pun nyaris sama dengan penggunaan Meriam sungguhan, yakni dengan menyulut lubang yang ada di bagian pangkal bambu dengan api.
Di sejumlah daerah di Indonesia dan wilayah melayu serumpun lainnya, permainan tradisional yang satu ini dikenal dengan nama Meriam bambu, namun di beberapa daerah di Indonesia lainnya juga dikenal dengan nama yang lain. Di sejumlah daerah di wilayah melayu, misalnya di kepulauan bangka Belitung Meriam bambu ini juga dikenal dengan sebutan bedil bambu. Di Minangkabau disebut Meriam betung atau badia batuang, sedangkan di Aceh di sebut dengan Bahasa lokal te’ut beude trieng. Di Yogyakarta, jawa tengah, dan jawa timur, permainan ini lebih familiar dengan penamaan mercon bumbung atau long bumbung. di banten dan di sejumlah daerah lainnya di tanah sunda disebut dengan istilah bebeledugan, sementara itu masyarakat Gorontalo di Sulawesi dan suku bangsa di wilayah Indonesia bagian timur lainnya menyebut permainan ini dengan nama bunggo.
Sementara itu, ada juga versi lain yang mengatakan, bahwa tradisi teut budee trieng ini mulai ada pada era kesultanan Iskandar Muda, yang sengaja dipolakan sebagai sebuah cara atau aktivitas mengenang perang Badar yang terjadi pada hari ke 2 dibulan Ramadhan–sebuah perang terbesar saat Rasulullah masih hidup, makanya tradisi ini marak dilakukan oleh masyarakat Aceh dibulan Ramadhan atau saat lebaran tiba.
Ada juga sumber lain menyebutkan bahwa tradisi ini adalah kebiasaan masyarakat Pidie untuk mengusir hama babi (let buy), namun seiring berjalannya waktu pada tahun 1987 sudah ada meriam karbit pertama kali dibawa oleh Syeh Ali Topan dari Padang Tiji. Uji coba meriam karbit ini pertama sekali dengan menggunakan tiang listrik tetapi itu hanya uji coba saja karena dengan tiang listrik suarnya tidak terlalu besar.
Di Aceh, tradisi teut budee trieng ini sempat menghilang selama lebih kurang 32 tahun lamanya, tepatnya saat Aceh dilanda konflik berkepanjangan dengan pihak Jakarta (Pemerintah Pusat) yang merenggut ribuan korban jiwa.
Saat konflik terjadi di Aceh memang banyak aktivitas warga yang dilarang. Karena asumsi pihak keamanan Republik Indonesia, kegiatan semacam itu dapat membuat warga tidak nyaman dan juga berpotensi bisa menimbulkan salah persepsi pihak keamanan karena suaranya mirip letusan senjata.
Baru dikemudian hari setelah adanya perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM, tradisi teut budee trieng tersebut kembali dapat dinikmati warga saat penyambutan hari raya Idul Fitri dengan bunyi dentumannya yang menggelegar.
Tradisi ini harus dipertahankan karena merupakan warisan budaya.Kolektor Naskah Kuno Aceh, Tgk Tarmizi A Hamid mengatakan, diitinjau dari sejarah memang tradisi teut budee trieng ini harus dipertahankan karena warisan budaya. Namun yang disayangkan sekarang tradisi ini banyak disalahgunakan, karena meriam yang dibuat sekarang bukan lagi dengan meriam bambu, tetapi meriam di rakit dengan menggunakan drum minyak yang suaranya lebih dahsyat dan keras, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat dan mengundang kemarahan orang lain, tentunya tidak bisa di biarkan dan ini bukan lagi permainan anak-anak, tapi sudah menggaggu hak orang lain, yang seperti ini tidak boleh dibiarkan, malah bisa merusak unsur-unsur tradisi.
Penjurian Festival Teut Budee Trieng DKA Bireuen
Teut Budee Trieng di gampong-gampong biasanya hanya sekedar untuk hiburan rakyat, namun Festival ‘Toet Buede Trieng’ yang diselengarakan DKA Bireuen diperlombakan dengan dilakukan penilaian oleh tim juri.
Berikut Juknis Festival Budee Trieng DKA Bireuen Tahun 2021
A. JADWAL DAN TEMPAT
Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan tahun 2021, Dewan Kesenian Aceh (DKA) Bireuen bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bireuen menggelar Festival Budee Trieng Tahun 2021.
Kegiatan akan dilaksanakan di Lapangan Paya Kareung pada tanggal 11 November 2021 mulai pukul 08.00 s.d selesai
B. PESERTA
Peserta berasal dari Perwakilan 17 Kecamatan di Kabupaten Bireuen yang dibuktikan dengan Surat Perintah Tugas (SPT) dari masing-masing kecamatan. Seluruh peserta dan Para Camat wajib mengikuti Opening Ceremony.
C. MEKANISME
a. Kriteria Penilaian
1. Bunyi
2. Team Work
3. Ornamen
4. Nilai Budaya
5. Ketahanan
Kriteria rentang nilai adalah :
1. Tinggi Nilai nya 85-100
2. Menengah Nilai 70-84
3. Rendah Nilai nya 50-69
b. Syarat Perlengkapan
1. Panjang Budee Trieng minimal 2 (dua) meter dan maksimal 2,5 m(Setiap peserta dibolehkan membawa persiapan 3 (tiga) budee tring)
2. Panitia menyediakan bahan bakar ke setiap tim 1,5 liter
3. Peserta diwajibkan memakai kostum yang menyimbolkan semangat kepahlawanan masyarakat Aceh
4. Budee trieng dihias sedemikian rupa
5. Setiap tim menyiapkan yel-yel untuk kecamatan masing-masing
6. 1 tim terdiri dari 6 orang peserta
c. Tata Cara Perlombaan
a. Sesi Pertama
1. Seluruh peserta akan mengikuti instruksi dari panitia
2. Panitia memberikan waktu 10 menit untuk proses Pemanasan budee
3. Perkelompok akan diberikan waktu 3 menit untuk membakar budee
4. Waktu perlombaan berlangsung selama 51 menit (3 menit x 17 tim)
5. Selama sesi pertama berlangsung, dewan juri akan menilai ke 5 unsur penilaian diatas.
b. Sesi Kedua
1. Panitia memberikan waktu 10 menit untuk proses pemanasan budee trieng
2. Waktu perlombaan berlangsung selama 45 menit
3. Setiap kelompok akan membakar meriam selama 45 menit
4. Selama proses bakar meriam berlangsung, dewan juri akan menilai ke 5 unsur di atas.
5. Total waktu ke masing-masing peserta adalah 55 menit
Kriteria rentang nilai adalah :
1. Tinggi Nilai nya 85-100
2. Menengah Nilai 70-84
3. Rendah Nilai nya 50-69
Cara Pembuatan Budee Trieng
Dalam pembuatan meriam bambu bahan utamanya adalah batang pohon Bambu, dan kita juga harus memperkirakan usia batang bambu, ukuran diameter batang bambu, dan ukuran panjang batang bambu karena hal tersebut akan mempengaruhi Kualitas suara yang dihasilkan nantinya. Semakin tua usia batang bambu dan semakin besar diameter batang bambu, maka kualitas suara yang dihasilkan akan semakin baik. disamping bahan utama kita juga memerlukan peralatan lainnya yaitu:parang digunakan untuk menebang dan membersihkan bambu, karet ban digunakan untuk mengikat bambu agar tidak mudah pecah, linggis digunakan untuk membuat lubang di batang bambu, sedikit kain dan sebatang kayu kecil yang di gunakan sebagai penyulut meriam bambu nantinya, minyak tanah atau karbit yang ditambahkan air dan garam sebagai bahan bakarnya.
Cara pembuatan Meriam bambu adalah :
Mula- mula sediakan batang bambu dan potong dengan ukuran panjang 1,5-2 meter atau 3-4 ruas dan diameter bambu berukuran 4 inci
Kemudian,permukaan batang bambu dilubangi dengan jarak sekitar 10 cm dari pangkal batang bambu. Besarnya diameter lubang dikira-kira sebesar ibu jari. Lubang inilah yang akan menjadi tempat untuk menyulut Meriam bambu.
Langkah selanjutnya adalah ikat kuat – kuat sekitar sambungan ruas bambu dengan tali atau karet ban untuk memperkuat kapasitas bambu dari tekanan tenaga yang dihasilkan ketika disulut.
Lalu Sambungan ruas di antara pangkal dengan ujung Meriam kemudian dilubangi dengan menggunakan linggis. Sambungan ruas bagian dalam harus dipastikan dilubangi dengan baik dan hampir rata dengan diameter bambu. Hal ini sangat penting agar tekanan yang dihasilkan tidak tertahan sehingga membuat bambu mudah pecah ketika dibunyikan.
Meskipun mengandung risiko yang membahayakan,namun dalam permainan Meriam bambu mengandung nilai – nilai luhur dalam ranah budaya melayu yang sangat berguna bagi masyarakat.
Beberapa nilai budaya yang terkandung dalam permainan Meriam bambu antara lain:
Memaknai perayaan hari besar. Permainan Meriam bambu dilakukan sebagai salah satu cara untuk menyambut datangnya hari-hari besar, semisal bulan Ramadan, hari raya, hari besar keagamaan, ataupun hari besar adat.
Wujud syukur dan kegembiraan. Sebagai wujud syukur dan ungkapan kegembiraan atas perjuangan dan keberhasilan yang diperoleh, misalnya sebagai ungkapan syukur telah berhasil menunaikan ibadah puasa selama bulan Ramadan.
Melestarikan tradisi. Permainan Meriam bambu adalah salah satu dari sekian banyak kekayaan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat melayu sehingga sangat perlu untuk dilestarikan agar tidak punah terkikis oleh perkembangan zaman.
Melatih kreativitas. Meriam bambu bukanlah permainan yang bisa dibeli dengan mudah seperti kebanyakan permainan modern yang ada saat ini. Untuk bisa memainkan Meriam bambu seorang harus membuat sendiri. Proses pembuatan Meriam bambu inilah yang menjadi proses kreatif seseorang.
Melatih keberanian. Memainkan Meriam bambu memang mengandung risiko bahaya, namun jika tetap berhati-hati dan selalu waspada dalam memainkannya, justru dapat melatih keberanian seseorang.
Meriam bambu merupakan salah satu permainan tradisional yang dimiliki oleh bangsa bangsa melayu serumpun. Permainan harus terus dijaga kelestariannya supaya tidak punah meskipun di zaman sekarang, terutama di kota-kota besar, tradisi permainan Meriam bambu sudah mulai sulit ditemukan, selain Karena tergeser oleh berbagai macam jenis permainan modern juga Karena sulit didapatnya bahan-bahan untuk membuat Meriam bambu ini yang berasal dari bahan – bahan yang disediakan oleh alam.
Nonton cuplikan video Festival Budee Trieng DKA Bireuen 👇
Referensi
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Meriam_bambu
https://www.wasatha.com/2019/06/buede-trieng-tradisi-perang-dari-pidie.html
https://harianrakyataceh.com/2021/11/12/sejarah-baru-festival-budee-trieng-perdana-digelar-di-bireuen/
https://www.acehtrend.com/2021/11/12/dentum-bude-trieng-di-tepi-paya-kareueng/
https://www.facebook.com/311462298901181/posts/858639077516831/