History of Canon Lada Sichupa (Kisah Meriam Lada Sicupak, Hadiah Kesultanan Ottoman Turki)
Meriam Lada Sicupak atau Canon Lada Sichupa ( red. dalam buku Snouck Hurgronje, The Achennese) adalah sebuah meriam yang memiliki nilai sejarah kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh masa lalu.
Meriam Lada Sicupak juga merupakan simbol keakraban dan persaudaraan antara Aceh dan Turki yang sudah terbina sejak jaman dahulu waktu Aceh masih berkuasa dalam bentuk Kerajaan Aceh.
Sejak abad ke-16 Kesultanan Aceh dan Ottoman telah menjalin sebuah hubungan diplomatik yang cukup harmonis. Bahkan hubungan tersebut dipertegas dengan dibuatnya mata uang berupa koin emas bertuliskan nama Sultan Aceh dan Sultan Ottoman yang berdampingan.
Hubungan diplomatik tersebut terbina antara lain sebagai bentuk kerja sama menghadapi Portugis yang kian getol memperluas pengaruhnya di Selat Malaka sejak 1511, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Kesultanan Aceh saat itu dipimpin Sultan Al-Kahar yang merupakan Sultan Aceh ketiga yang berasal dari Dinasti Meukuta Alam, pendiri Kerajaan Aceh. Beliau berkuasa antara 1537 sampai 1571. Di bawah kepempimpinannya, Aceh menjadi sebuah kekuatan politik dan ekonomi yang paling dominan di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaka. Giancarlo Casale dalam tulisannya The Ottoman: Age of Exploration menuliskan bahwa setelah Kesultanan Ottoman tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya, ia menjadi tumpuan harapan bagi Kesultanan-Kesultanan Islam di Timur (India dan Kepulauan Nusantara) yang baru berkembang.
Utusan dari Aceh untuk pertama kalinya datang mengunjungi Istanbul sekitar tahun 1562. Tujuan mereka adalah meminta bantuan senjata berupa meriam. Sultan Ottoman yang berkuasa saat itu, Sultan Suleiman I merasa terkesan dan bersedia mengirimkan bantuan meriam lengkap dengan teknisi dan seorang diplomat yang bernama Lufti Bey.
Kedatangan Lufti Bey di Aceh ternyata menjadi satu hal yang cukup penting, karena berdasarkan laporannya itu para pemangku jabatan di Kesultanan Ottoman menjagi paham akan posisi strategis Aceh sebagai pusat perdagangan dan juga garis terdepan umat Islam dalam menghadapi Kristen Portugis di Nusantara.
Sementara dari pihak Aceh sendiri sangat antusias berada di bawah Ottoman. “Sultan Aceh, Sultan Al-Kahar menitipkan surat diplomatik untuk Sultan Suleiman I melalui Lufti Bey. Surat tersebut berisi pernyataan Sultan Al-Kahar yang tak lagi ingin sekadar meminta bantuan senjata pada Sultan Suleiman I, dan tidak pula ingin menjalin hubungan politik antardua kesultanan yang berdisi sama sejajar, namun Sultan Al-Kahar ingin agar dirinya dan negerinya bisa berada dan diperintah secara langsung oleh Sultan Suleiman I sebagai pengganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis, ” kata Casale dalam tulisannya itu.
Hal senada juga diungkapkan Dr Mehmet Ozay penulis Kesultanan Aceh dan Turki- Antara Fakta dan Legenda. Dalam buku tersebut disebutkan Sultan ketiga dari Kerajaan Aceh Darussalam yaitu Sultan Ali Mughayat Syah Al-Qhahar telah melakukan sebuah tindakan monumental dengan mengirimkan utusannya untuk menemui Sultan Suleiman I.
Utusan tersebut di antaranya bernama Omar dan Hussein yang dikirimkan Sultan Aceh untuk menemui pejabat Kesultanan Ottoan pada 7 Januari 1565 dengan membawa sejumlah besar komoditas berharga ke Konstantinopel. Peristiwa tersebut dikenal dengan lada sicupak, tulis intelektual muslim ini.
Pada saat utusan Aceh itu tiba, Sultan Suleiman sedang memimpin pasukan dalam sebuah peperangan melawan Hungaria di Szigetwar, Eropa Timur. Menanti sampai peperangan berakhir serta mangkatnya Sultan Suleman I membuat para utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel (Istanbul).
Setelah Selim II, putra Sultan Suleiman I selesai dilantik, barulah utusan Aceh mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Istana, yaitu dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki. Namun hadiah yang tersisa hanyalah secupak (segenggam) lada dan hanya itulah yang dapat mereka tawarkan sebagai hadiah untuk sang sultan yang baru saja naik tahta.
Dalam pertemuan resmi tersebut, Sultan Selim II memutuskan untuk mengupayakan bantuan militer ke Aceh yang di antaranya adalah sebuah meriam yang secara simbolis diberi nama Lada Sicupak atau meriam yang ditukar dengan segenggam lada. Istimewanya, Sultan Ottoman saat itu tidak meminta Aceh supaya mengiri upeti tahunan sebagaimana tradisi Kesultanan tersebut kepada masing-masing negara pengikutnya pada masa itu.
Bantuan ini bukan semacam belas kasihan yang diberikan olehOttoman di Istanbul, melainkan sebuah pertimbangan politik yang secara khusus sebagai bentuk hibah politik kepada Kesultanan Aceh untuk menyempurnakan kedaulatannya” tulis Ozay dalam bukunya itu.
Meski kedatangan utusan dari Aceh ini hanya membawakan sedikit lada saja, namun mereka mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari Sultan Ottoman yang berkuasa saat itu, Selim II. Selim II yang kemudian memberi perintah kepada angkatan lautnya untuk mengirimkan 15 armada kapal layar ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat militer, teknisi meriam, juga ahli-ahli pertukangan seperti penambang, pandai besi dan pandai emas.
Namun sayang, armada yang seharusnya tiba di Aceh pada tahun 1568 harus dengan terpaksa mengalihkan tujuan perjalanannya ke Yaman, Arab Selatan, guna memadamkan sebuah pemberontakan. Sementara yang tetap berlayar menuju Aceh hanyalah dua buah kapal yang membawa sekelompok pedagang dan para teknisi meriam, yang jumlahnya bahkan tidak cukup untuk memuluskan rencana Sultan Al-Kahar menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1570.
Walaupun kemudian rombongan dari Turki itu tidak sepenuhnya berperang secara langsung melawan Portugis seperti yang dibutuhkan Aceh, namun mereka juga yang membuat pendidikan militer dan melatih rakyat serta pasukan Aceh dalam menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Bahkan mereka ini juga yang mengajarkan rakyat Aceh untuk membuat sendiri senjata meriam dan membuat kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya. Sekarang banyak dari meriam-meriam Aceh yang diambil Belanda sekitar tahun 1870-an saat Perang Aceh dan kini sekitar 11 pucuk meriam Aceh disimpan di museum Bronbeek ARnhem negeri Belanda.
Meriam Lada Sicupak pemberian Ottoman Turkish (Turki Utsmani) pada 1560-an yang diambil Belanda sekitar 1870-an dan kini disimpan di museum Bronbeek Arnhem negeri Belanda. Foto menurut buku ‘Kesultanan Aceh dan Turki – Antara Fakta dan Legenda’ oleh Mehmet Ozay.
Meriam sepanjang 5,7 meter, dengan berat 7 ton itu, telah ditempelkan maklumat Ratu Belanda dalam bingkai kaca, ditempel tepat didekat moncong meriam pemberian Turky kepada rakyat Aceh itu.
Musium Bronbeek terletak dikota Arnhem-Belanda, hampir seisi musium ini memamerkan peralatan perang Aceh, mulai dari meriam, dari yang jumbo hingga yang kecil, senapan panjang, rencong, baju perang, hingga jimat pejuang Aceh dipamerkan.
Sumber : https://turkinesia.net/index.php/2021/01/26/kisah-meriam-lada-sicupak-hadiah-istimewa-turki-untuk-aceh/