True Story : Kisah Dibalik Tsunami Aceh (Darwati A.Gani)

Saat itu kami hidup di situasi yang tidak normal, suami saya Irwandi Yusuf menjadi tahanan politik. Setiap pagi menjadi kebiasaan saya adalah memasak dan mengantarkan nasi goreng halia ke LP Keudah sekaligus mengantarkan koran Harian Serambi Indonesia. Kami makan bersama setiap pagi dengan duduk saling berhadapan tapi dipisahkan oleh jeruji besi. Tidak ada keluh, kami menganggap itulah kehidupan yang harus kami jalani saat itu.

Pagi itu di Lingke, saat baru saja selesai menyiapkan makanan, tiba2 gempa yang begitu dahsyat datang. saya, anak2 yang masih kecil serta 2 asisten yg membantu saya sehari2 berlarian keluar dan duduk dan saling berangkulan di atas tanah, semua ketakutan, menangis, berdoa kepada Allah..

Setelah gempa reda, suami saya menelfon, menyampaikan hari ini tidak usah datang ke LP, di rumah saja bersama anak, itu percakapan terakhir di telfon karena terputus dengan tiba2. Tidak lama setellah itu gempa susulan datang lagi dan tidak lama setelah itu orang2 berteriak air laut naik dan berlarian.

Kami diajak oleh tetangga menumpang kenderaan yg mereka unt pergi juga, saat mobil melaju kami bisa melihat air yg begitu dahsyat datang bisa menghancurkan apapun, melihat rumah atau benda apapun terbawa mengikuti arus air.. Tiba2 mobil yg kami tumpangi harus berhenti karena kemacetan yg luar biasa, lalu kami smua turun berlarian, saat itu saya dan asisten memegang satu anak per orang, lalu kami berlarian dan terpisah di kerumunan orang.

Tiba2 saya dan anak saya Putroe Sambinoe Meutuah, merasakan air bah itu menghatam kami, merasakan timbul tenggelam dan terbawa arus masuk ke garasi rumah orang. Mendengar suara blup2 air yang masuk ke telinga kami, jd terpikir seperti inilah yg dialami oleh orang2 yg tenggelam. Dalam kepanikan saya selalu berdoa agar bisa tenang, terus memegang tangan anak saya. Dan tiba2 kami mengapung kembali, lalu kami berpegangan di kayu2 atap garasi rumah tsbt. Kami bergantungan, anak saya yang masih kecil, saat itu berumur 7 tahun menggigil kedinginan, akhirnya dia tidak sanggup lagi, saya peluk dia dengan satu tangan, sambil terus meminta pertolongan, lalu saya juga hampir kehabisan tenaga dan menyilangkan kaki ke kayu2 diatas saya, bergantungan kaki diatas kepala dibawah sambil terus memeluk anak. Alhamdulillah tiba2 bantuan datang disaat yang tepat, ada yg membuka atap seng dari atas dan menarik kami ke atas sehingga bisa duduk di atas atap..

Beberapa saat duduk disitu, saya melihat anak saya yg masih bayi yg digendong oleh yg menjaganya diatap yg lain, kira2 3 rumah berselang dari tempat kami, lalu kami merangkak pelan2 dari atap rumah yang satu ke rumah yang lainnya agar bisa ketempat anak saya yang bayi itu.. Kalau sekarang disuruh seperti itu tentu saya tidak bisa melakukannya..

Akhirnya tiba juga ke tmpt bayi saya tersebut, lalu menggendongnya, dia menangis kehausan, terpikir bagaimana mau menyusuinya, badannya kotor dan berlumpur, tp tiba2 mukjizat datang, air mineral terbawa air pas didepan saya dalam kondisi masih tersegel. Lalu saya mengambilnya dan membersihkan bagian tubuh saya dan bisa menyusuinya..

Selama bbrp jam km masih bertahan diatas atap, saat air mulai surut, kami pun turun perlahan, saya dengan kedua anak, sementara anak yg satu lagi tidak kami ketahui dimana, dalam hati masih selamatkah anak saya..

Kami turun, mencari2 tp tidak ketemu juga, malah tanpa diduga2 dalam waktu yg tidak begitu lama saya bertemu dengan suami saya, kami menangis berangkulan yg lama sekali, saya sampaikan anak kita rania tidak ada Pa, ga tau selamat atau tidak..

Kami terus mencari2, tp tanpa diduga juga, dia dan yang menjaganya pulang dari arah yang berlawanan dengan kami, dengan kondisi yang bersih tanpa kena air sedikitpun, ternyata saat terpisah dia dibawa lari dan dinaiikan oleh orang dgn mobil pickup ke arah Gampong Pineung. Alhamdulillah puji syukur kepada Allah, Allah begitu menyayangi kami. Bbrp hari km tinggal di Banda Aceh, lalu keluarga dari Bireuen menjemput kami, suami yang tahanan tentu tidak boleh berlama2 di Banda Aceh, berangkat ke Medan, Malaysia via Batam dan akhinya tinggal di luar negri Malaysia dan bolak balik ke Swedia. Sampai alkhirnya perundingan perdamaian dan penandatangan MoU Helsinky.

Beberapa waktu setelah itu suami saya terpilih sebagai pimpinan di Aceh, siapa yang bisa memprediksi rahasia Allah ini, selalu ada hikmah disetiap cobaan yang Allah beri.

Cerita ini saya tulis saat ini dalam perjalanan silaturrahmi saya ke Bireuen, mengalir begitu saja, dimaklumi saja kalau ada bahasa yang tidak pas, krn saya bukannlah seorang penulis. Itu sebagian kecil perjalanan kehidupan saya yang penuh warna, pengalaman inilah yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai persoalan dalam hidup ini. Mudah2an Allah selalu memberikan jalan terbaik bagi kami di masa hadapan. Amin

Banda Aceh, 26 Desember 2016.

Ditulis oleh Darwati A. Gani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *