Mukhlis Takabeya : Ang Tong

Matahari menyelinap masuk dari celah dinding rumoh Aceh yang berdiri di kaki bukit kecil. Di hadapan rumah panggung berkonstruksi kayu itu, membentang hamparan luas berupa persawahan tadah hujan. Bayang cahaya mentari pagi menerpa wajah bocah kecil yang masih berada di balik selimut.
Bocah itu menggeliat. Tangan kirinya meraba pinggir dipan. Tangan mungil itu menemukan sesuatu. Dengan mata masih terpejam, dia tersenyum. Dia menggenggam gagang sebilah parang yang sudah patah. “Parang puntong” ( parang yang sebagian sudah payah) , demikian orang Aceh menyebutnya.
Setelah dia menemukan parang puntong. Bocah itu segera bangkit dari tempat tidur menuju sumur di belakang rumah. Disana dia melepas celana, kemudian kencing sembari menghadap dinding kamar mandi plus sumur yang dibuat dari bilah papan. Tidak lama kemudian, dia mengguyur tubuhnya dengan air yang sudah disiapkan di dalam ember hitam.
Bocah itu adalah Mukhlis bin Cut Hasan. Mukhlis dan parang puntong itu seperti teman sejati. Di mana ada Mukhlis, di situ ada parang tersebut. Benda tajam itu baru tidak menyertai sang bocah bila ia sedang bersekolah atau mengaji.
Tiap kali hendak tidur, parang itu selalu ditaruh di dekatnya. Tiap malam, sang ibu selalu memeriksa keberadaan parang itu. Bila Mukhlis menaruh di sisinya, Rabiah akan memindahkan dan meletakkannya ke kolong dipan.
Ketika bangun tidur dan bila ia tidak menemukan parang itu, Mukhlis segera memanggil ibunya sembari melontarkan tanya, “Ang tong oung ho, Mi?”
(Parang Puntong saya mana, Bu)
Bicaranya saat itu masih cadel. Suaranya terkesan berat dan kerap tak jelas vokalnya. Namun, seluruh isi rumah, mulai manusia sampai cecak di sudut dinding paham bila yang dimaksudkan Mukhlis adalah, “Parang puntong lon ho, Mi?
Tiap mendapat pertanyaan seperti itu, Rabiah selalu menjawab sesuai dengan kondisi saat itu. Bila hari libur, ia segera mengatakan tempat dia menaruh parang tersebut. Bila hari sekolah, ia mengatakan bahwa parang itu di tempat biasa. Tapi Mukhlis harus segera mandi agar tidak terlambat ke sekolah.
“Parangmu ada di tempat biasa. Nanti sepulang sekolah bisa kamu ambil. Cepat mandi dan makan, nanti terlambat ke sekolah,” ujar Rabiah.
Mukhlis adalah sosok anak kecil yang tidak pernah bisa diam. Dia tidak banyak bicara, tidak juga bisa menetap di suatu tempat berlama-lama. Setiap pagi, bila libur sekolah, atau setelah pulang sekolah, ia segera menuju halaman rumah. Dengan parang puntung itu dia menetak sebatang rambutan yang kala itu besarnya sudah seukuran betis orang dewasa. Sedikit demi sedikit dia menguliti, menetak daging batang, hingga pada suatu hari rambutan itu tumbang.
Mukhlis girang bukan kepalang. Sebatang pohon rambutan akhirnya berhasil ia robohkan setelah selama berminggu-minggu ditetak sedikit demi sedikit. Rabiah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Purna sudah tugas sang pohon rambutan yang telah berkali-kali dinikmati buahnya yang ranum.
Bila malam tiba, seusai mengaji, Mukhlis selalu memanggil ibunya untuk segera tidur. Mukhlis tidak bisa tidur bila tidak ditemani oleh Rabiah. Sang ibu sudah sangat paham perilaku tersebut. Dia dengan sabar meninabobokan sang bocah dengan penuh kasih sayang.
Dikutip dari Buku “Mukhlis Takabeya, Petarung Dari Selatan” ditulis oleh Muhajir Juli