Mukhlis Takabeya : Gubuk Kecil Pengganti Rumah
Semenjak ditinggal suaminya, Rabiah yang dulunya selalu menggantungkan segala asa kepada Cut Hasan harus menjadi tulang punggung (suaminya Cut Hasan berpulang kerahmatullah) , kini harus menjadi kepala keluarga. Beberapa anaknya memang sudah besar seperti Ustaz Ilyas, Ismail, dan Saifannur. Hanya saja kehidupan mereka juga pas-pasan.
Rabiah seorang ibu yang visioner. Bercita cita tinggi dan berwawasan luas. Ia tidak ingin anaknya dikungkung kebodohan. Siapa saja yang ingin bersekolah, tidak pernah ia larang. Baginya pendidikan sangat penting. Asalkan sanggup menahan diri dan sanggup bersusah payah karena ia sendiri serba kekurangan.
Dulu, dia juga memiliki impian yang sama. Ingin bersekolah setinggi mungkin. Ketika masih remaja Rabiah bercita-cita menjadi guru. Impian itu buyar karena kondisi keamanan daerah yang tidak kondusif. Ia pernah mengalami rasa kecewa yang berkecamuk hebat di dalam dada. Oleh karena itu, Rabiah tidak ingin pengalaman pahit tersebut berulang kepada putra-putrinya. Ia tidak ingin asa yang berbinar di mata mereka redup kemudian mati.
la juga masih memeluk erat impian suaminya. Cut Hasan bercita-cita agar anak-anaknya kelak menjadi orang sukses. Menjadi insan yang berguna kepada banyak orang.
Sebagai ibu, sepeninggal suaminya, Rabiah tidak lagi menjanjikan impian yang terlalu besar. Ia hanya menanamkan satu keyakinan kepada anak-anaknya. Baik anak-anak yang dilahirkan oleh Fatimah, maupun yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri.
“Capailah impianmu setinggi mungkin. Gantungkan harapan di langit, jangan di awan. Kelak, bila engkau mampu mencapai impian tertinggi, walau tak mencapai langit, setidaknya itu berkat usaha dan perjuangan yang tidak mengenal kata menyerah. Ibu akan mendukung hingga batas kemampuan maksimal yang kumiliki,” petuah Rabiah kepada anak-anaknya.
Satu per satu petak sawah dan kebun dijual. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Bahkan Amiruddin terpaksa menjual warisan untuk membiayai hidupnya selama kuliah di Banda Aceh.
Rumah peninggalan Cut Hasan akhirnya menjadi tidak layak huni. Rabiah tidak mampu merenovasi rumah tersebut. Konon lagi bila harus membangun kembali. Rumah Aceh itu sangat besar sehingga mustahil oleh seorang janda miskin mampu membangunnya seperti sedia kala.
Akhirnya, dengan susah payah Rabiah berhasil membangun sebuah gubuk kecil berukuran enam kali enam meter. Sebuah rumah petak yang di dalamnya ada tempat tidur, dapur, dan ruang keluarga.
Di dalam gubuk itulah Rabiah merajut kembali harapannya. Kala itu hidupnya sangat susah. Jangankan untuk menyantap ikan laut sebagai lauk, menu ikan asin pun jarang. Kala itu ia sudah sangat lama tidak lagi merasakan manisnya gula pasir. Untung saja garam adalah komoditas yang murah dan tidak terlalu banyak dibutuhkan.
Dalam kondisi demikian perih, tapi tidak ada yang mengeluh. Bila Muslim ingin makan ikan, maka ia akan mengajak Mukhlis untuk menangkap ikan di sawah atau di parit-parit di sepanjang jalan kampung.
Sering kali Mukhlis mengambil “sange” (red : tudung saji) milik ibunya dan menjadikan alat untuk menjaring ikan di parit di areal persawahan. Saat itu ikan-ikan air tawar masih sangat banyak di sawah. Ikan sepat, krueb, lele, gabus, groe, keudawah, dan lainnya melimpah disediakan oleh alam.
Sering pula hasil berburu ikan itu mereka jual kepada warga. Warga pun membelinya dengan ikhlas karena mereka sayang kepada para yatim itu. Mereka juga mengingat jasa Cut Hasan yang sangat besar untuk Alue krueb.
Walau rajin mengambil ikan di sawah, tapi Mukhlis tidak mau mencicipi ikan-ikan itu. Jika terpaksa, maka hanya ikan lele yang mau ia makan, itu pun harus dibalur ke dalam nasi hangat dan segera ditelan tanpa mau mengunyahnya.
Setiap berangkat ke sekolah, Mukhlis dan Muslim tidak lagi dibekali uang jajan. Bila pun ada itu hanya seminggu sekali saat pelajaran olahraga. Itu pun hanya cukup untuk membeli sepotong es lilin.
Untuk menutupi defisit dana belanja, Rabiah membuat rempeyek kacang kedelai dan ditaruh di warung-warung di kampung. Selain untuk dijual, rempeyek itu juga dipakai sebagai pengganti lauk ikan.
Rabiah juga membuat penganan ringan yang bisa dijual oleh Mukhlis di sekolah. Setiap hari Rabiah menggoreng keripik pisang dan keesokan harinya dibawa oleh sang anak ke sekolah dan dijual. “Itu untuk membiayai kebutuhan sekolah dan jajan alakadar,” kenang Mukhlis.
Suatu hari Mukhlis menangis meraung-raung. Sudah beberapa hari perutnya sakit. Dia berlari ke sana kemari dan meminta Rabiah mengantarnya ke rumah sakit. Zuraida yang melihat adiknya kesakitan hanya bisa menangis.
Rabiah tidak punya uang sepeser pun kala itu. Dia membujuk Mukhlis untuk bersabar. Mukhlis tak tahu, sabar yang dimaksud sang ibu harus sampai kapan? Kala rasa sakit datang, dia bahkan harus berguling-guling di dipan.
Hingga suatu hari Rabiah berhasil mendapat utangan entah dari mana, segera ia membawa Mukhlis ke Lueng Daneun, sebuah gampong yang berjarak sekitar dua kilometer dari Alue Krueb. Di sana mereka menumpang mobil pick up milik warga. Alhamdulilah, akhirnya Mukhlis sembuh. Rupanya dia mengidap batu ginjal.
Dalam kondisi gubuk yang kian hari kian pula menua, atap-atapnya mulai bocor, andaikan bisa, Rabiah sangat ingin memanjatkan doa agar Allah tidak menurunkan hujan. Namun, doa itu tentu tak boleh dipanjatkan karena melawan kebutuhan seluruh alam raya.
Setiap hujan turun, mereka harus segera melipat tikar. Hampir seluruh bagian atap rumah bocor. Mukhlis, Muslim, Rabiah, dan kakak mereka yang lain harus duduk sembari memeluk lutut. Awalnya kondisi itu membuat mereka sedih, tetapi lama-lama menjadi rutinitas yang menjadi guyonan. Tentunya dengan tetap berharap datangnya keajaiban. Mereka sudah sangat lelah harus merasakan tidur dengan posisi tidak normal.
Cerita Dikutip dari Buku “Mukhlis Takabeya, Petarung Dari Selatan” ditulis oleh Muhajir Juli