Aceh dalam Kenangan Gadis Betawi

MENDAPATKAN kesempatan ikut Program Pertukaran Mahasiswa bagi mahasiswa pada umumnya bukanlah perkara yang mudah. Serangkaian seleksi dengan jutaan mahasiswa lain di negeri ini membuat persaingan semakin ketat dan sengit. Mereka yang terpilih tentu telah memenuhi sekian banyak ktiteria yang telah ditetapkan oleh panitia pusat yang menyelenggarakan program ini. Di antara kami yang terpilih, tak satu pun yang mengetahui sebelumnya akan ditempatkan di provinsi mana dan universitas apa. Kami hanya dipersilakan memilih pulau tujuan kami saja. Segala ke putusan murni wewenang panitia pusat. Ketika keputusan diumumkan melalui media massa milik panitia penyelenggara dan dikirimkan juga ke surat elektronik kami, semua merupakan kejutan. Keberangkatan kami juga sempat terjadi penundaan akibat kondisi pan demi Covid-19 yang tidak memungkinkan. Dengan segala puji dan syukur kehadirat llahi, kami mendapat restu untuk berangkat hingga akhirnya menginjakkan kaki di Bumi Serambi Mekkah ini.

Dengan latar belakang sebagai mahasiswa pendidikan sejarah, saya secara bertahap telah mengelilingi tempat-tempat bersejarah di Kota Banda Aceh. Mulai dari Museum Aceh dan Museum Tsunami di Banda Aceh hingga Museum Rumah Cut Nyak Dhien di Gam pong Lampisang, Aceh Besar

Program Pertukaran Mahasiswa yang mengantarkan kaki saya hingga ke provinsi paling ujung dari Pulau Sumatra juga turut mengantarkan saya berjumpa dengan berbagai tokoh inspiratif. Membuka mata saya akan keadaan sebenarnya dari masyarakat Aceh, budaya, dan tradisinya, hingga ragam keunikan lainnya yang turut membuat saya takjub. Sangatlah tepat jika masyarakat Aceh menyebut tanah mereka dengan sebutan Tanoh Pusaka Indatu Mo yang’. Tanah pusaka nenek moyang ini telah diwariskan sejak berabad lampau bersama dengan megahnya kebudayaan dan sejarahnya yang agung, Harga mahal dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara nyatanya tersimpan rapi di sini.

Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang. Reusam bak Laksamana (Bentara), demikian ‘narit majah’ atau pepatah masyarakat Aceh yang secara jelas menyatakan sikapnya menjaga nilai adat, tradisi, dan warisan kebudayaan dari para. nenek moyang mereka.

Syariat Islam ditegakkan. sungguh-sungguh di berjalan seiring dengan kebinekaan yang dijalin dan menghadirkan bentuk toleransi yang belum saya temukan di mana pun, bahkan di Jakarta sekalipun.

Sebagai seorang gadis asli Jakarta (Betawi) dan didukung dengan latar belakang pendidikan sejarah yang sedang saya tempuh membuat kecintaan saya pada tanah Aceh ini semakin mendalam.

Tiga bulan saya berjalan di “tanoh aulia” ini sebagai mahasiswa pertukaran yang ditempatkan di Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh. Saya menjalani aktivitas bersama masyarakat di sekitar saya, menikmati keberagaman dan kemegahan tradisi yang berjalan, bahkan lukisan alamnya yang asri dan masih terjaga benar-benar membuat saya tak mampu memalingkan mata dan pikiran ke tempat lain.

Dalam kajian sejarah yang selama ini saya pelajari di kampus asal saya, jika ingin melihat sejarah Aceh, kami pasti akan membuka terlebih dahulu catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh Snouck Hurgronje. Seorang antropolog merangkap spionase Belanda yang mencatat dan memecah belah rakyat Aceh dengan hasil catatan atau advisnya ke elite Belanda.

Tokoh-tokoh pahlawan dari Provinsi Aceh juga yang selalu muncul tidak lebih dari Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, dan Teuku Chik diTiro. Nyatanya, masih banyak sekali tokoh pahlawan yang berasal dari Aceh yang jarang disebutkan perannya untuk negeri ini. Bahkan, baru saya sadari betapa kuatnya masyarakat Aceh dalam berpegang teguh pada agama dan tradisi mereka. Hingga produk-produk kebudayaan mereka masih terjaga dan lestari hingga era modern sekarang ini.

Keteguhan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh telah sejak lama tertempa dengan berbagai peristiwa yang tercatat dalam sejarah terjadi di sini. Konflik antara kelompok GAM dengan Pemerintah RI pada tahun 1976-2005 membuat Aceh memiliki catatan sejarah kelam sebagai daerah konflik. Namun, hal itu tidak serta membuat pesona tanah Aceh ini sima. Justru membuat pesona tanah Aceh lebih berwarna.

Semakin lama dan jauh saya berkeliling Kota Banda Aceh hingga Aceh Besar, bahkan melawat ke Sabang, semakin bertambah kekaguman dan kecintaan saya pada tanah Aceh ini. Setidaknya, saya dapat mengagumi permainya Pantai Ulee Lheue, Lampuuk, Lhoknga. Alur Naga hingga Ujong Batee. Juga betapa indahnya panorama Hillside, Mata le, dan gugusan pegunungan dalam jajaran Bukit Barisan serta Gunung Seulawah plus bukit-bukit nan hijau lestari di kawasan Lampague hingga Ujong Pancu, Aceh Besar. Hal yang tidak saya temui di Jakarta sebagai kota metropolitan, jantung ibu kota negara Republik Indonesia. Setelah saya bersama tujuh teman saya menapaki Bukit Jalin di Aceh Besar, menyaksikan sendiri ketika tubuh ini begitu dekat dengan awan, benar benar membuat hati saya berat untuk meninggalkan tanah Aceh dan kembali ke Jakarta. Enggan untuk berpisah, tetapi harus tetap berpisah untuk tanggung jawab lainnya. Budayanya yang masih lestari, tradisinya yang masih melekat, kulinernya yang tidak mudah untuk dilupakan, hingga alamnya yang menyejukkan mata benar-benar membekas dalam ingatan saya tentang provinsi yang berada di ujung Pulau Sumatra ini.

Kulinernya pun tidak kalah meninggalkan bekas mendalam di benak saya. Belum pernah sekalipun di Jakarta saya dengan mudahnya makan olahan daging ikan hiu, pari, tiram, bahkan daging rusa sekalipun. Selama berada di Aceh, saya telah menikmati itu semuanya dalam berbagai variasi ragam hidangan.

Dari hanya sekadar topping dalam mi hingga memang berbentuk hidangan khas dari daerah yang berada di provinsi lumbung kuliner ini. Dengan kayanya rempah dalam setiap bumbu masakan khas Aceh, membuah hampir seluruh masakan khas Aceh sangat menggoda untuk dicicipi. Bahan baku masakan tersebut nyatanya berasal langsung dari tambak-tambak atau dari alam. Bagi siapa pun yang mencicipi kuliner asli Aceh langsung di daerah asalnya tidak akan menyesal sedikit pun dengan citarasanya, termasuk saya yang sudah menikmati ayam tangkap, ayam goreng Kayee Lheue, pari bakar, dan lain-lain. Terakhir, yang membuat Provinsi Aceh begitu terkenang dalam benak saya adalah saat setiap kali saya melakukan perjalanan dan singgah di masjid selalu ada kelompok-kelompok Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Anak-anak ramai yang mengaji Juz Amma dan Al-Qur’an bakda asar hingga menjelang waktu magrib tiba. Terharu saya melihat pemandangan tersebut. Tidak disangka bahwa pendidikan agama sangat diprioritaskan dalam lingkungan masyarakat di sini. Sungguh langkah baik yang telah diambil untuk menciptakan generasi penerus yang memiliki akhlak baik dan ketaatan kepada Allah, Sang Pencipta.

Sesuai dengan tagline Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang saya jalani, Bertukar Sementara, Bermakna Selamanya’. Saya merasakan sendiri saat saya bertukar wilayah dan memulai beradaptasi dengan budaya Aceh, lalu budaya Aceh yang juga penuh makna bakal mewarnai seumur hidup saya. Tiga bulan sudah berlalu. Lusa kami Aceh, kembali ke kampus masing-masing. Tapi sungguh, hati saya tertinggal di sini.

Ditulis Oleh MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka yang mengambil Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Universitas BBG, melaporkan dari Banda Aceh
<melinda.rahmawati7@gmail.com>

Serambinews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *