Solidaritas dan Kesetiakawanan Muslim
🖋 Ustadz Thoriq Abdul Aziz At-Tamimi, LC.MA حفظه الله تعالى
Seorang dokter Saudi di kota Riyadh bercerita;
Suatu Ketika di salah satu rumah sakit Riyadh, datanglah ambulan membawa seorang pasien asal Yaman yang sedang pingsan. Tentu saja ia dilarikan langsung ke unit darurat guna mendapat pertolongan pertama pasien. Begitu kondisinya membaik, ia pun dialihkan ke kamar pasien yang biasa untuk melanjutkan perawatan yang dibutuhkan beberapa hari ke depan.
Aku pun memasukkan tanganku ke saku pasien untuk melihat adakah uang yang cukup untuk biaya RS. Ternyata aku tidak dapati selain 20 reyal (70-80 ribu) saja. Padahal pengobatan yang dibutuhkannya minim adalah 400 reyal per hari. Sedang pasien ini paling tidak harus dua hari menginap. Sedang diriku tak bisa berbuat apa-apa sebelum pasien siuman. Aku duduk menunggu di sampingnya sampai ia terjaga dari pingsannya.
Cukup lama juga penantianku…
Begitu sadar, ia kaget menyadari dirinya di RS dengan beberapa dokter di sekitarnya. Aku tenangkan dirinya, dengan menyuguhkan minum. Lalu ku ceritakan bagaimana dirinya dibawa ambulance ke RS. Juga uang receh di sakunya.
Setelah itu kutanyakan tentang karib kerabatnya untuk ditelepon agar datang guna mendampingi dan mengurus serta menanggung biaya perobatan. Ternyata dia pendatang baru, tak punya saudara. Dia pun menanyakan resep yang harus dibeli. Ku sodorkan padanya resep itu, beberapa saat diamatinya lalu ia kembalikan padaku seraya berkata, “Bawalah resep ini ke jalan raya depan RS! Bila engkau lihat ada orang Yaman lewat, sapalah dia dan berikan resep ini. Katakan padanya, ada orang Yaman sedang dirawat di sini, lantai sekian nomor sekian.”
Aku terperangah dengan kata-kata pasien ini, juga ada rasa penasaran menggelitik di hati namun amanahnya wajib kulakukan. Aku pun mengamati orang yang mondar-mandir di depan RS tempatku bekerja. Tak lama, ku melihat dua orang yang tampak dari pakaiannya mereka adalah dari Yaman. Setelah basa-basi menyapa keduanya, ku lakukan amanah pasien terhadap diriku.
Dengan ringan mereka menerima resep tadi sambil menanyakan alamat ruang pasien secara detail. Dalam hati ku bergumam, “Hampir dipastikan mereka kan menghilang dan merobek resep itu”. Aku Kembali ke ruang kerjaku, lalu bercerita kepada teman-teman sejawat tentang apa yang ku lakukan. Mereka tertawa karena cerita tidak masuk akal yang baru di dengar.
Masih belum reda tawa kami, tiba-tiba datanglah salah seorang yang tadi ku cegat di depan RS membawa obat yang diminta dan yang satunya dibelakangnya membawa buah-buahan. Kami mendadak terdiam dan seolah tak percaya dengan yang kami lihat.
Mereka berdua menuju ruang pasien tersebut, lalu membangunkannya. Mereka menghiburnya, mendulangnya dengan buah-buahan yang dibawa dst. Setelah satu jam, keduanya pamit. Salah seorang dari mereka, mengangkat bantal dan meletakkan sesuatu di bawahnya. Sedang aku memperhatikan mereka. Begitu mereka pergi dan pasien tertidur, aku meraba bawah bantalnya. Ternyata uang 2000 reyal (7jt-an).
Demi Allah, tak sadar aku meneteskan airmata. Sangat memungkinkan aku melakukan apa yang dilakukan dua orang tadi bahkan lebih. Akan tetapi diriku lemah, pengecut, tak berani memerangi kikir dan was-was setan di dada. Bahkan sekedar ide pun tak terbesit di benak.
Benarlah kata ahli hikmah dan orang bijak: “Membahagiakan orang lain itu mendatangkan kelezatan, yang tak dapat dirasakan kecuali oleh pelakunya!”.
Subhanallah…