Bolehkah Kita Berjunub, Berjima’, dan Berciuman Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan?
Pertanyaan:
Kami mendengar keterangan dari seorang mubaligh, bahwa apabila pada malam bulan Ramadhan sepasang suami isteri melakukan jima’ (bersetubuh) dan sampai terbit fajar (saat mulai ibadah puasa) belum sempat bersuci (mandi janabat), baru bersuci setelah masuk waktu puasa maka puasanya sah.
Hal ini (menurut mubaligh tadi) didasarkan pada dalil ayat al-Qur’an surat al-Baraqah ayat 187. Setelah kami melihat ayat tersebut, ternyata ayat itu tidak menerangkan hal tersebut, sehingga timbullah pertanyaan:
1)Bagaimana ayat itu bisa dijadikan dalil untuk masalah tersebut.
2) Bagaimana hukumnya kalau suami isteri tersebut melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, bagaimana pula kalau hal ini dilakukan karena lupa,
3) Bagaimana hukumnya kalau suami isteri tersebut berciuman di siang hari bulan Ramadhan? Mohon penjelasan dengan dalil. (Mahasiswa tinggal di Yogyakarta).
Jawaban:
Ada tiga pertanyaan yang ditanyakan oleh penanya, dan kami akan menjawabnya satu persatu.
1) Ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 187, yang menurut keterangan saudara penanya dijadikan dalil oleh mubaligh untuk menetapkan sahnya puasa Ramadhan bagi orang yang dalam keadaan junub, bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bercampur dengan istri- isteri kamu: mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajar kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.
Ayat tersebut memang tidak langsung menegaskan mengenai sah dan tidaknya puasa seseorang yang ada dalam keadaan junub. Ayat itu menegaskan mengenai kebolehan seseorang (suami isteri) untuk melakukan jima’ (bercampur) pada malam hari di bulan Ramadhan.
Dimaksud dengan malam hari menurut ayat tersebut adalah sampai terbit fajar yaitu sampai batas waktu dimulainya ibadah puasa. Dengan demikian, ayat ini memberi pengertian kebolehan bagi suami isteri untuk melakukan jima’ pada malam hari di bulan Ramadhan hingga terbit fajar. Pengertian ini menurut teori Ushul Fiqh adalah pengertian yang didasarkan pada atau difahami dari ‘iba-ratu nash.
Menurut teori Ushul Fiqh, suatu ayat atau nash dapat pula diambil pengertiannya berdasarkan pada atau difahami dari isyaratnya (isyaratan nash). Maksudnya adalah bahwa pengertian itu tidak diambil secara langsung dari lafaz-lafaz atau susunan kata-kata nash tersebut tetapi berdasarkan pada isyaratnya.
Pengertian yang diambil berdasarkan pada isyarat ini merupakan keharusan logis dari lafaz-lafaz atau susunan kata- kata yang terdapat dalam nash tersebut. Dengan kata lain, pengertian itu tidak ditunjukkan secara langsung atau tidak dimaksudkan oleh lafaz-lafaz atau susunan kata-kata nash itu, tetapi keharusan logis, baik terang maupun tersembunyi, menunjukkan pada adanya pengertian itu.
Keterangan mubaligh yang penanya utarakan di atas itu barangkali didasarkan pada teori ushul Fiqh yang terakhir ini, sebab memang ayat itu bisa juga difahami secara demikian. Artinya bisa difahami berdasarkan pada isyaratnya yaitu menunjukkan sahnya puasa seseorang dalam keadaan junub. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa suami isteri diperkenankan untuk melakukan jima’ pada malam hari di bulan Ramadhan hingga terbit fajar. Terbit fajar ini adalah saat dimulainya ibadah puasa. Oleh karena itu ayat itu membolehkan suami isteri melakukan jima’ sampai saat dimulainya ibadah puasa. Karena jima’ dibolehkan sampai saat dimulainya ibadah puasa, maka konsekuensinya adalah pada saat mulai ibadah puasa itu suami isteri dalam keadaan junub. Karena jima’ dibolehkan sampai saat dimulainya ibadah puasa Ramadhan maka konsekuensinya puasa dalam keadaan junub itu boleh artinya puasanya seseorang dalam keadaan junub itu hukumnya sah.
Demikian barangkali jalan fikiran mubaligh tersebut dalam mengistinbathkan hukum dari ayat tersebut, sehingga ayat 187 surat al-Baqarah itu dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum bahwa puasa dalam keadaan junub itu sah.
Mengenai sahnya puasa bagi seseorang yang dalam keadaan junub itu ditunjukkan pula oleh dalil yang berupa Hadits Nabi saw seperti berikut ini:
(a) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah:
كانَ رَسولُ اللهِ ﷺ يُصْبِحُ جُنُبًا مِن جِماعٍ، لا مِن حُلُمٍ، ثُمَّ لا يُفْطِرُ ولا يَقْضِي (رواه البخاري ومسلم من أم سلمة)
Artinya: “Rasulullah saw pernah bangun pagi dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau tidak buka puasa, (membatalkan puasanya) dan tidak pula mengqadlanya” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah).
Hadits ini menegaskan bahwa Rasulullah saw pernah berpuasa dalam keadaan junub dan beliau tetap menjalankan puasanya itu, ini berarti bahwa keadaan junub ini tidak membatalkan puasa.
(b) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah:
أنّ النَّبيَّ ﷺ كان يُصبِحُ جُنُبًا مِن غيرِ احتلامٍ فيغتسِلُ ويصومُ.
Artinya: “Waktu fajar di bulan Ramadlan sedang beliau dalam keadaan junub bukan karena mimpi, maka mandilah (mandi janabat) beliau dan kemudian berpuasa” (HR. Muslim dari ‘Aisyah).
Hadits ini juga menegaskan bahwa Rasulullah saw berpuasa dalam keadaan junub.
Kesimpulan terakhir bahwa puasa dalam keadaan junub hukumnya sah.
2) Pernyataan yang kedua adalah mengenai hukum jima’ di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan puasa. Mengenai hal ini telah dijelaskan dalam Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
جاءَ رَجُلٌ إلى النبيِّ ﷺ، فَقالَ: هَلَكْتُ، يا رَسولَ اللهِ، قالَ: وما أهْلَكَكَ؟ قالَ: وقَعْتُ على امْرَأَتي في رَمَضانَ، قالَ: هلْ تَجِدُ ما تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قالَ: لا، قالَ: فَهلْ تَسْتَطِيعُ أنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ؟ قالَ: لا، قالَ: فَهلْ تَجِدُ ما تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قالَ: لا، قالَ: ثُمَّ جَلَسَ، فَأُتِيَ النبيُّ ﷺ بعَرَقٍ فيه تَمْرٌ، فَقالَ: تَصَدَّقْ بهذا قالَ: أفْقَرَ مِنّا؟ فَما بيْنَ لابَتَيْها أهْلُ بَيْتٍ أحْوَجُ إلَيْهِ مِنّا، فَضَحِكَ النبيُّ ﷺ حتّى بَدَتْ أنْيابُهُ، ثُمَّ قالَ: اذْهَبْ فأطْعِمْهُ أهْلَكَ
Artinya: Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw, lalu ia berkata: “Celakalah saya wahai Rasulullah saw.” Rasulullah saw bertanya: “Apa yang telah mencelakakan engkau?” Laki-laki itu menjawab: “Saya telah mencampuri isteri saya di siang hari pada bulan Ramadhan”. Lalu Rasulullah saw bertanya: “Apakah kamu mempunyai kemampuan untuk memerdekakan bamba?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak”, Kemudian Rasulullah saw bertanya lagi: “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” laki-laki itu menjawab: “Tidak”, Rasulullah saw. bertanya lagi: “Adakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak”, Kemudian laki-laki itu duduk lalu ada seseorang datang kepada Nabi saw membawakan satu keranjang kurma. Rasulullah saw bersabda: “Bersedekahlah kamu dengan (kurma) ini”, laki-laki itu bertanya: “Apakah (sedekah ini) harus kepada orang-orang yang lebih fakir dari pada saya? Di sekitar ini tidak ada satupun penghuni rumah yang lebih perlu kepada kurma ini daripada kami. Lalu Rasulullah saw tertawa sehingga kelihatan giginya yang sebelah dalam. Lalu Nabi saw, bersabda: “Pergilah dan berikanlah kurma itu kepada penghuni rumahmu untuk dimakan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas tegas menjelaskan tentang hukum bagi orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan puasa.
Dalam Hadits itu dinyatakan bahwa orang-orang berjima’ di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan puasa harus melakukan salah satu dari pilihan yang dalam bahasa fiqhnya disebut dengan kifarat, berikut ini:
(a) Memerdekakan seorang hamba, kalau tidak mampu memerdekakan hamba, maka
(b) Berpuasa dua bulan berturut-turut, maka kalau tidak mampu…maka
(c) Memberi makan enam puluh orang miskin; kalau masih tidak mampu juga maka…
(d) Bersedekah menurut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Adapun mengenai orang yang berjima’ di siang hari bulan Ramadhan karena lupa, misalnya karena tidak ingat kalau hari itu ia sedang berpuasa Ramadhan, maka tentu saja ketentuan menurut Hadits tersebut di atas tidak bisa diberlakukan, karena ada Hadits Nabi saw. yang memberikan keringanan hukum kepada orang yang lupa. Hadits tersebut adalah:
رُفعَ عن أمَّتيَ الخطأُ والنِّسيانُ وما استُكرِهوا عليهِ.
Artinya: Diangkat (bukum atau dosa) dari umatku karena silap (keliru), karena lupa atau karena dipaksa. (HR. Ibnu Hibban).
Hadits Nabi saw yang lain yang mendukung Hadits di atas
من أفطر يومًا من رمضانَ ناسيًا فلا قضاءَ عليه ولا كفّارةَ.
Artinya: Barangsiapa berbuka puasa pada suatu hari dari bari-hari bulan Ramadhan karena lupa, maka ia tidak wajib qadla dan tidak pula wajib membayar kifarat. (HR. Daruquthny).
3) Pertanyaan ketiga mengenai hukum berciuman suami isteri disiang hari pada bulan Ramadhan. Untuk menjawab pertanyaan ini perhatikan Hadits-Hadits Nabi saw berikut ini:
(a) Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah:
عن عائشة أم المؤمنين أنّ النبيَّ ﷺ كانَ يُقَبِّلُها وهو صائِمٌ
Artinya: Dari Aisyah r.a., ia berkata bahwasanya Nabi saw, pernah menciumnya, padahal Nabi saw, sedang berpuasa. (HR. Muslim).
(b) Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah:
قَالَتْ عَائِشَةُ : كان النبيُّ ﷺ يقبلُ وهو صائمٌ ويباشرُ وهو صائمٌ (رواه مسلم من عائشة )
Artinya: ‘Aisyah telah berkata: “Nabi saw pernah mencium, padahal beliau dalam keadaan puasa: pernah juga memeluk, padahal beliau dalam keadaan puasa”. (HR. Muslim dari ‘Aisyah).
(c) Hadits Nabi saw, yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari ‘Aisyah:
قَالَتْ عَائِشَةُ : أهوى النبيُّ ﷺ ليُقبِّلَنِي، فقلتُ: إنِّي صائمةٌ فقال: وأنا صائمٌ، فقبَّلَني
Artinya: ‘Aisyah telah berkata: “Nabi saw, pernah mendekatiku untuk menciumku lalu aku berkata: “Aku sedang puasa”, maka beliau bersabda: “Aku juga sedang puasa”. Kemudian aku diciumnya”. (HR. an-Nasa’i dari ‘Aisyah).
Berdasar Hadits-Hadits Nabi saw di atas itu cukup jelaslah kiranya bahwa berciuman suami isteri dalam keadaan puasa tidak membatalkan puasa.
Wallahu’alam bish-shawab
Source Reference :