Laksamana Keumalahayati : Meredam Rencana Kudeta Sulthan
Diangkatnya Keumalahayati sebagai Laksamana juga tak lepas dari keadaan kerajaan Aceh waktu itu yang dipenuhi intrik untuk perebutan kekuasaan (kudeta). Saat itu sulthan sudah berusia 94 tahun, karena itu muncul intrik di kalangan istana untuk menyiapkan pengganti sulthan bila sewaktu-waktu ia mangkat. Sulthan sangat menyadari hal itu, sehigga ia tak bisa percaya penuh kepada orang-orang di sekelilingnya.
Untuk menghindari intrik para petinggi kerajaan, maka pengangkata laksamana juga harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan, maka Keumalahayati dianggap sebagai orang yang netral untuk diangkat menjadi laksamana yang tak akan memperuncing keadaan perpolitikan di istana. Selain itu Keumalahayati juga dinilai memiliki darah pelaut turun temurun dari kakek dan ayahnya yang juga pernah menjabat sebagai admiral di Kerajaan Aceh.
Menurut Marie Van Zeggelen, pengangkatan Keumalahayati sebagai Laksamana bersamaan dengan pengangkatan seorang perempuan lainnya Cut Limpah sebagai pimpinan dewan rahasia istana, yang oleh Marie Van Zeggelen disebut sebagai “geheimtraad”.
Dengan jabatannya sebagai Laksamana, sejak diangkat Keumalahayati melakukan koordinasi dan mengkomandoi sejumlah pasukan laut (marinir) untuk mengawasi pelabuhan dan perairan yang berada di bawah kekuasaan Syahbandar Kerajaan Aceh.
Julius Jacobs dalam buku “Het Familie en Kampoengleven op Groot Atjeh” terbitan Leiden, 1894, mengungkapkan bahwa, Jhon Davis dari Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumalahayati menjadi admiral menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada saat itu memiliki armada laut yang terdiri dari 100 kapal perang (galey), diantaranya ada yang berkapasitas muatan 400 sampai 500 penumpang yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati.
Hal yang sama juga diungkapkan T Braddel, dalam “On the History of Acheen” JIAEA vol V Singapore tahun 1862. Braddel menulis: “Pada awal abad XVII Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang sangat kuat. Kekuatan yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki angkatan lautnya, di samping pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan daratnya.
Selain di Kerajaan Aceh sendiri yang beribukotakan Bandar Aceh Darussalam, kapal-kapal itu juga ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kerajaan tersebut, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu terdapat kapal yang besar, bahkan melebihi kapal-kapal yang dibuat di Eropa pada kurun waktu yang sama.”
Sumber : Buku Laksamana Keumalahayati, Penulis L.H.Haroen, Penerbit SYAM tahun 2017