Mentaati Pemimpin Tidak Mutlak
Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati Allah, RasulNya dan ulil amri (pemimpin).Mentaati Allah dan RasulNya adalah mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi, tapi kalau kepada pemimpin atau penguasa, hanya kepada perkara-perkara yang baik saja.
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa : 59).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin suatu pasukan khusus (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu :بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَلَمَّا خَرَجُوا وَجَد عَلَيْهِمْ فِي شَيْءٍ. قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: اجْمَعُوا لِي حَطَبًا. ثُمَّ دَعَا بِنَارٍ فَأَضْرَمَهَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَتَدْخُلُنَّهَا. [قَالَ: فَهَمَّ الْقَوْمُ أَنْ يَدْخُلُوهَا] قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ شَابٌّ مِنْهُمْ: إِنَّمَا فَرَرْتُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ النَّارِ، فَلَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَلْقَوْا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَمَرَكُمْ أَنْ تَدْخُلُوهَا فَادْخُلُوهَا. قَالَ: فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ لَهُمْ: “لَوْ دَخَلْتُمُوهَا مَا خَرَجْتُمْ مِنْهَا أَبَدًا؛ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ”.
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan suatu pasukan khusus, dan mengangkat menjadi panglimanya seorang lelaki dari kalangan Ansar.Manakala mereka berangkat, maka si lelaki Ansar tersebut menjumpai sesuatu pada diri mereka. Maka ia berkata kepada mereka, “Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kalian untuk taat kepadaku?” Mereka menjawab, “Memang benar.” Lelaki Ansar itu berkata, “Kumpulkanlah kayu bakar buatku.” Setelah itu si lelaki Ansar tersebut meminta api, lalu kayu itu dibakar. Selanjutnya lelaki Ansar berkata, “Aku bermaksud agar kalian benar-benar memasuki api itu.”Lalu ada seorang pemuda dari kalangan mereka berkata, “Sesungguhnya jalan keluar bagi kalian dari api ini hanyalah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Karena itu, kalian jangan tergesa-gesa sebelum menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kalian agar memasuki api itu, maka masukilah.”Kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sebenarnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan (HR. Imam Ahmad. Berkata Syekh Al Arnut : Isnad Shahih atas syarat Bukhari Muslim).
Ketaatan kepada Allah dan Rasulnya adalah mutlak, sebagaimana perkataan ulama mengenai lafadz أَطِيعُوا yang di ulang dua kali hanya untuk Allah dan RasulNya dan tidak diulang ketika kepada ulil amri di ayat di atas, ini menunjukan bahwa taat kepada Allah dan Rasulnya mutlak, dan taat kepada pemimpin hanya kepada yang ma’ruf (baik).
Mencermati tafsir ibnu katsir di atas, pemimpin yang menyuruh untuk berbuat maksiat, yakni memerintahkan untuk bunuh diri dengan masuk ke dalam api yang menyala-nyala, maka tidak patut untuk ditaati. Sebagaimana kalau ada pemimpin yang memerintahkan untuk berbuat syirik dan bid’ah, mencuri atau korupsi, mengajak berzina, meminum khamar, membunuh tanpa hak dan lain sebagainya, maka tidak patut ditaati.Kalau perintahnya tidak menyelisihi kebenaran, maka kita harus mentaatinya, tetapi kalau perintahnya menyelisihi syariat, menyuruh untuk maksiat dan berbuat dosa maka tidak ada ketaatan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَة.
“Mendengar dan taat diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat. (HR. Bukhari).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang baik. (HR. Bukhari).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya kepada hal yang baik. (HR. Muslim dari Ali radhiyallahu anhu).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla (HR. Ahmad dari Ali radhiyallahu anhu. Berkata Syekh Arnuth isnad shahih atas syarat Bukhari Muslim).
Orang-orang yang senantiasa mengikuti apa saja perintah pimpinannya atau para pembesarnya tanpa melihat apakah perintahnya itu melanggar syariat atau tidak. Apakah melanggar ketentuan Allah dan RasulNya atau tidak, maka orang seperti ini akan menyesal nanti di akherat, ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka.
Allah Ta’ala berfirman :يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (68) (الأحزاب : 66-68).
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 66-68).
Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir, Tawus mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sadat ialah orang-orang yang terpandang dan orang-orang yang besar, yakni para cendikiawan mereka.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa kami MENGIKUTI para pemimpin dan pembesar kami, yakni para tetua kami; dan kami menentang para RASUL dengan keyakinan bahwa pemimpin kami berada dalam jalan petunjuk, dan sekarang ternyata mereka bukan berada dalam jalan petunjuk. (Tafsir Ibnu Katsir).
Untuk itu, sebelum menyesal pada hari kiamat nanti, taatilah Allah dan RasulNya secara mutlak, sedangkan kepada pemimpin, hanya terkhusus pada perkara yang baik saja. Baik pemimpin di rumah, seorang bapak atau seorang suami, pemimpin perusahaan, pemimpin lembaga, pemimpin ormas, pemimpin di pemerintahan, pemimpin kemasyarakatan dan lain sebagainya sampai kepada tingkat pemimpin negara.