Berawal Dari Tudingan Aneh terhadap Organisasi Ini
Suatu siang ba’da Dzuhur, saya lupa tanggal dan bulannya, yang kuingat hanya tahunnya 1966. Kala itu, saya yang berusia 10 tahun, sebagaimana kebiasaan aktifitas saya setelah pulang sekolah, membantu orangtua di kedai kopi yang sudah beroperasi baru 3 tahun. Pada saat itu, ada 4 orangtua setengah baya ngobrol sambil menikmati hidangan yang sudah kusuguhkan ke depan mereka. Dari pembicaraan mereka yang dapat saya tanggapi, katanya ada organisasi atau faham yang bernama Muhammadiyah. Faham ini katanya tidak sesuai dengan Ahlussunnah wal jama’ah seperti orang NU. Katanya, orang Muhammadiyah tidak mau mengamalkan yang sunat, seperti ratib (tahlilan), mentalkinkan mayat di kubur, dan kalau shalat Subuh tidak berqunut. Pada klimaksnya mereka menyatakan bahwa faham Muhammadiyah itu sesat.
Saya hanya mendengarkan saja pembicaraan mereka. Apalagi saya masih anak-anak belum bisa mencerna apa yang dimaksud pembicaraan mereka. Akan tetapi dalam fikiran saya timbul pertanyaan, apa iya sih Muhammadiyah itu faham sesat ?
Saya belum tahu kebenarannya, karena setahu saya tidak ada organisasi atau anggota Muhammadiyah di kampung kami. Tapi nama organisasi Muhammadiyah sering tercantum dalam berita di Koran Mingguan Mercu Suar dan majalah Kiblat dan majalah Sketmasa. Ayah saya yang seorang ustadz lulusan Pesantren Musthafawiyah Purbabaru, sudah lama berlangganan koran dan majalah itu. Setahu saya beliau termasuk pengurus NU di kampung kami, bahkan ikut pula pengurus GP Ansor di tingkat kecamatan.
Masalah tudingan mereka terhadap Muhammadiyah ini tidak lama bertahan dalam ingatan saya. Apalagi selama saya duduk di SD hanya belajar agama dari guru agama yang mengajar di SD kami. Saya tidak dimasukkan ke madrasah diniyah seperti teman-teman saya umumnya, karena saya mesti membantu ibu di warung sebab ayah sudah mulai sakit-sakitan. Sebulan sebelum tamat SD, ayah saya meninggal dalam usia 36 tahun. Setelah tamat SD, saya melanjutkan ke SMP di ibukota kecamatan Panyabungan dengan berjalan kaki dan menaiki sampan di sungai Batanggadis. Jarak tempuh antara kampung kami ke SMP ada lima kilometer.
Suatu saat, ketika kami disuruh guru agama tampil satu-persatu siswa ke depan kelas untuk membacakan do’a iftitah sholat (Allaahu akbar kabira), ada 4 orang teman sekelas mengusulkan supaya mereka diizinkan membaca Allaahumma ba’id, karena katanya mereka anak Muhammadiyah. Mereka tidak diajari do’a iftitah Allaahu akbar kabira. Guru agama pun menerima usul mereka dan mempersilahkan mereka membaca Allaahumma ba’id.
Pada saat itu saya teringat kembali pembicaraan orang di kedai kami tiga tahun lalu.Pada jam istirahat belajar, sering saya sempatkan waktu untuk menanyakan hal yang mengganjal pikiran saya tentang Muhammadiyah itu kepada temanku yang mengaku anak Muhammadiyah itu. Dari penjelasan mereka, saya berkesimpulan bahwa tidak benar Muhammadiyah tidak mengamalkan yang sunat.
Sejak tahun 1981, saya sering berinteraksi dengan warga Muhammadiyah dan juga untuk mengisi kekosongan saya dalam ilmu pengetahuan Agama Islam, saya yang dulunya hobi membaca novel beralih membaca buku-buku keislaman, seperti Fiqh Islam susunan H.Sulaiman Rasjid, buku-buku tulisan Hamka, buku-buku terjemahan yang disusun oleh ulama/penulis dari Timur Tengah, dan buku lainnya.
Di desa tempat tinggal saya yang baru, ada seorang ulama tokoh Jamiyatul Wasliyah. Beliau mengisi pengajian setiap malam Kamis di masjid. Hampir setiap pengajiannya saya ikuti. Pernah suatu kali saya datang ke rumahnya, menanyakan perihal faham Muhammadiyah. Beliau menjelaskan, sebenarnya Muhammadiyah itu suatu organisasi dakwah. Adapun perbedaan pendapat atau pemahaman hanya masalah furu’. Beliau juga menilai bahwa Muhammadiyah itu organisasi yang baik, bukan sesat.
Pertengahan Desember 1982, saya menikahi seorang guru agama Islam SD lulusan PGA Muhammadiyah Gunungtua Iparbondar Panyabungan. Sejak pernikahan kami, saya sering mengikuti pengajian rutin di Masjid Taqwa Muhammadiyah Gunungtua Iparbondar yang diisi Ustadz Amirhan Lubis. Manakala ada hal kurang kupahami, sering ustadz itu kudatangi ke rumahnya. Beliau seorang guru agama yang baik bagi saya dan peramah. Beliau mengisi pengajian rutin di banyak tempat, utamanya di masjid-masjid Taqwa. Ada yang harus ditempuhnya dengan berjalan kaki belasan kilometer.
Selama enam tahun, saya menjadi Simpatisan Muhammadiyah, selanjutnya resmi menjadi anggota pada tahun 1990 dengan memiliki KTA Muhammadiyah yang dikeluarkan PP Muhammadiyah, dan diangkat menjadi Sekretaris Dikdasmen Muhammadiyah Cabang Panyabungan.
Inilah sekelumit kisah saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
***** Foto KTA Muhammadiyah yang dikeluarkan pimpinan pusat.
Penulis : Erwin Ashari Hasibuan