Sekilas Riwayat Muhammadiyah di Aceh

Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan Islam Besar di Indonesia, yang didirikan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H atau 18 Nopember 1912 M oleh almarhum K.H. Ahmad Dahlan, di Yogyakarta. Sebagai gerakan Islam yang dinamis, Muhammadiyah terus melakukan ekspansi serta menyebar sampai ke seluruh pelosok Nusantara, Indonesia, sejalan dengan cita-citanya untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Dalam posisinya sebagai gerakan tajdid (pembaruan), maka Muhammadiyah dalam aktivitasnya tampil dengan cara-cara yang lebih modern, elegan serta mengambil langkah-langkah yang tepat, terorganisir secara rapi serta profesional dalam tatanan kehidupan masyarakat yang terus berkembang dan berubah sejalan dengan perubahan zaman.

Muhammadiyah Aceh yang memiliki potensi yang besar dan terus berkembang harus hadir dengan kebenaran data yang ada, sehingga dapat tampil prima di tengah kehidupan masyarakat yang membutuhkan serta berusaha untuk ikut serta menjalin kerjasama yang sesuai dengan perkembangan dunia. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik, sesuai dengan cita-cita Muhammadiyah yang ingin menciptakan masyarakat utama. Oleh karena itu, Muhammadiyah Aceh juga harus mampu tampil dengan data yang baik untuk kebutuhan kehidupan masyarakat modern yang semakin cerdas menyikapi segala perkembangan yang berlaku di dunia.

Pada awalnya Muhammadiyah di Aceh diperkenalkan oleh Almarhum Djajasoekarta pada tahun 1923. Beliau adalah seorang pegawai pemerintah Belanda yang berasal dari Sunda ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk mengunjungi daerah-daerah, salah satunya adalah Aceh. Hal ini dimanfaatkan beliau untuk mengembangkan Muhammadiyah di daerah Aceh. Oleh karena itu, gagasan tentang Muhammadiyah telah muncul sejak tahun 1923. Oleh karena itu, Djajasoekarta disebutkan sebagai penggagas atau pelopor, bahkan “Bapak” Muhammadiyah Aceh.

Berdasarkan catatan sejarah kehadiran Muhammadiyah di Aceh pada tahun 1927, yakni setelah 15 tahun berdiri di Yogyakarta, dan juga setelah sekitar empat tahun diperkenalkan di Aceh. Muhammadiyah Aceh didirikan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang), pada waktu itu berada di Jalan Merduati (Jalan KH Ahmad Dahlan No. 7, sekarang). Pendirian dimulai dengan pengajian, selanjutnya berkembang dalam bentuk pendidikan sekolah, yaitu Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM) di Lorong Melati, Merduati, kemudian sekolah menengah pertama muhammadiyah (SMPM) dan sekolah menengah atas Muhammadiyah (SMAM/SMUM) di Jalan Merduati. Terakhir SMA Muhammadiyah pindah ke Kampung Setuy dan SMP Muhammadiyah pindah ke Jalan Prof. A. Majid Ibrahim sekarang. Selanjutnya kegiatan Muhammadiyah terus berkembang di sekitar Kampung (Desa) Merduati, Jalan Taman Siswa, Punge Blang Cut II, dan Kampung (Desa) Setuy, Sukaramai, Keudah dan Kota Baru (Lampriek) Banda Aceh. Kemudian Muhammadiyah terus berkembang ke sekitar Kota Banda Aceh.

Sementara itu, di luar kota Banda Aceh Muhammadiyah berdiri di Seulimum, Sibreh, Samahani, Saree, Lhoknga dan Lhong, yaitu di sekitar Aceh Besar dan Sabang sebagai kota pelabuhan yang sudah cukup dikenal serta banyak disinggahi kapal-kapal penumpang yang mengisi bahan bakar dan bekalan air untuk keperluan berlayar.

Konsul Muhammadiyah pertama di Kutaradja (Banda Aceh) adalah Teuku Hasan Geulumpang Payong, merupakan tokoh yang sangat berjasa mengembangkan Muhammadiyah ke daerah-daerah seluruh Aceh lainnya. Berbagai amal usaha dalam bentuk sekolah dan yang lainnya terus berkembang di seluruh Aceh. Demikian juga era abad ke-20 diikuti dengan perkembangan pendidikan melalui perguruan tinggi Muhammadiyah Aceh.

Kemudian sesudah berdirinya Muhammadiyah di Kutaradja (Banda Aceh) terus menyebar di daerah-daerah lainnya. Dalam penyebarannya juga tidak sama, sesuai dengan kondisi serta sejalan dengan penerimaan serta perkembangan masyarakatnya.Ada daerah yang dapat didirikan organisasi Muhammadiyah sesudah zaman penjajahan Jepang. Demikian pula, perkembangan Muhammadiyah di sepanjang pesisir Timur Aceh ikut berperan pula seorang ulama muda, yang mendakwahkan menyampaikan ajaran-ajaran Muhammadiyah bernama A.R. Sutan Mansur, beliau juga berprofesi sebagai seorang montir. A.R. Sutan Mansur tinggal beberapa tahun di Lhokseumawe (Aceh Utara), dan juga beliau turut meresmikan berdirinya Muhammadiyah di Sigli (Pidie) pada 1 Juli 1927. Namun, sebelumnya beliau juga mendirikan Muhammadiyah di Lhokseumawe (Aceh Utara). Selanjutnya beliau mengembangkan Muhammadiyah di Takengon (Tanah Gayo/Aceh Tengah) tahun 1928. Tahap berikutnya Muhammadiyah berdiri di Kuala Simpang, Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang) pada 4 Oktober 1928 yang diresmikan oleh M. Yunus Anis Wakil Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kemudian berkembang ke Langsa (Aceh Timur). Untuk Kuala Simpang lebih dahulu lahir Aisyiyah yaitu 28 September 1928, sementara untuk daerah lainnya Aisyiyah lahir setelah didirikan Muhammadiyah. Muhammadiyah di Aceh Tenggara berdiri pada tahun 1937, meskipun sebelumnya beberapa pemuda telah menyebarkan ajaran Muhammadiyah di Aceh Tenggara sejak 1930-an, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Tawalib School, di Minang Kabupatenau (Sumatra Barat).

Demikian pula perkembangan Muhammadiyah di pesisir Barat dan Selatan Aceh. Meskipun sejak Muhammadiyah didirikan di Kutaradja, gagasan Muhammadiyah sudah mulai masuk menyebar di daerah-daerah tersebut, tetapi 15 tahun kemudian baru dapat berdiri Muhammadiyah di Tapak Tuan (Aceh Selatan) pada tahun 1933. Sementara itu pada tahun yang sama Muhammadiyah telah hadir di Labuhan Haji (Aceh Selatan) yang dikembangkan oleh alumni Tawalib School Minang Kabupatenau. Muhammadiyah di Meulaboh (Aceh Barat) didirikan pada 31 Mei 1942 oleh Said Aboebakar yang berasal dari Kampung Aceh di Penang, Malaysia. Meskipun ajaran Muhammadiyah juga sudah dikenal Muhammadiyah didirikan di Kutaradja pada tahun 1927.

Oleh karena itu, perkembangan Muhammadiyah sebelumnya ada yang cepat serta ada pula yang lamban sampai dengan tahun 1942, bertepatan dengan masuknya Jepang ke Aceh. Selanjutnya Muhammadiyah demikian aktif terutama dalam memberikan pengajian-pengajian khususnya untuk anggota Muhammadiyah. Kemudian setelah penjajahan Jepang Muhammadiyah mendapatkan peluang yang baik untuk melaksanakan aktivitas organisasinya, sehingga Muhammadiyah berkembang dengan pesat.

Demikian pada awal perkembangan Muhammadiyah di Aceh ada kantong kantong potensial ajaran Muhammadiyah hidup secara baik serta mantap yang disebut sebagai “daerah modal”. Di Banda Aceh yaitu, Merduati, Sukaramai, Keudah dan Bandar Baru atau Lampriet, Lhong Blang-me (Aceh Besar), Meureudu (Pidie), Bireuen (Aceh Utara atau Aceh Bireuen sekarang), Tritit (Aceh Tengah), Kuala Simpang (Aceh Timur atau Aceh Tamiang sekarang), Jeuram (Aceh Barat), Blang Pidie (Aceh Selatan atau Aceh Barat Daya sekarang) dan Kota Kutacane (Aceh Tenggara). Dalam perkembangannya Muhammadiyah di Aceh terus berkembang dengan berbagai aktivitas serta amal usahanya. Masyarakat dan pemerintah telah merasakan dampak positif dari kemajuan organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah yang terorganisir rapi, menjadi bagian dari kemajuan masyarakat. Bersatu dalam kehidupan bermasyarakat dan mewarnai gerakan kemajuan pembangunan di Aceh. Muhammadiyah yang mandiri berkembang semata-mata karena tujuan Muhammadiyah yang lurus, jauh dari paham yang menyimpang, dan bergerak dalam seluruh aspek pendidikan, ekonomi, kesejahteraan sosial, hukum dan HAM serta kesejahteraam dan keamanan umat. Kemapanan Muhammadiyah ini tidak pernah mengusik dan menjelekkan golongan lainnya baik dari golongan muslim maupun non muslim. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Muhammadiyah telah dikenal di Aceh, berkembang dengan pesat dan turut serta membangun masyarakat.

Sumber :
Hitam Putih MUHAMMADIYAH di Aceh, Mengungkap Realitas dan Fakta Gerakan Muhammadiyah, penulis : Rizki Dasilva, S.Pd.I, MA

http://aceh.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *