Laksamana Keumalahayati : Menahan de Houtman Bersaudara

Laksamana Keumalahayati merupakan perempuan dengan perawakan tinggi besar dan selalu bersikap tegas dalam setiap tindakannya. Sikap itu ditunjukkannya pada saat menangkap dan menahan kapal Belanda di perairan Aceh yan dinakkodai oleh Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Peristiwa penangkapan itu ditulis dalam berbagai buku sejarah ten- tang Aceh oleh sejarawan Barat, seperti Van Zeggelen (1835), Davis dan Jacob (1894) dan Tiele (1881).

P A Tiele dalam “Frederick de Hout- man te Atjeh” terbitan De Indische Gids 1881 mengungkapkan, pada 21 Juni 1599 dua kapal Belanda yang bermana de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di pelabuhan ibu kota kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua bersaudara, yaitu Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman.

Mulanya kedua kapal itu mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena diharapkan akan dapat membangunan perdagangan yang baik dengan harga yang baik dari rempah-rempah dan hasil alam lainnya di kerajaan Aceh, khususnya perdagangan lada.

Namun dalam perkembangannya, akibat hasutan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang sudah lebih dulu dekat dengan pihak Kerajaan Aceh, sehingga di jadikan penerjemah sulthan, mereka jadi tidak disenangi oleh sulthan. Pihak Aceh kemudian melakukan penyerangan terhadap mereka yang sedang berada di kapal.

Yang menjadi pimpinan penyerangan itu tak lain adalah Laksamana Keumalahayati. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sementara Frederick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke dalam tahanan Kerajaan Aceh.

Frederick de Houtman mendekam dalam penjara kerajaan Aceh selama dua tahun. Dalam masa itu ia berhasil menyusun sebuah karya ilmiah berupa kamus Melayu – Belanda yang merupakan kamus Melayu – Belanda pertama dan tertua di dunia.

Tidak berapa lama setelah peristiwa itu, pada tanggal 21 November 1600 datang lagi utusan dagang Belanda ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus Van Caerden. Kedatangan misi dagang kedua Belanda ini juga membawa petaka dan dinilai tidak bersahabat oleh Kerjaan Aceh, sehingga orang-orang Belanda itu diserang dan ditawan oleh Keumalahayati.

Tentang peristiwa itu ditulis Wap (1862) dalam buku “Het Gezantschap van de Sultan van Achin A” dan F Valentijn (1862) dalam buku “Oud en Nieuw Oos Indie I”. Keduanya mengungkapkan, sebelum memasuki perairan Aceh, kedua kapal Belanda itu melakukan tindakan yang ceroboh, yakni menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh setelah terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh. Hal itu membuat Sulthan Aceh berang.

Setelah peristiwa itu datang lagi rombongan kapal Belanda ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Jacob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan van Carden sebelumnya. Ketika merapat di pelabuhan Kerajaan Aceh pada 31 Juni 1601, mereka memperkenalkan diri sebagai orang dari Bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk berdagang dan membeli lada.

Begitu mengetahui bahwa rombongan itu adalah rombongan Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan pasukannya untuk menahan mereka dan memperlakukannya secara baik. Laksamana Keumalahayati menjelaskan kepada mereka bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan sebuah kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran, karena itu sebagai ganti rugi, Sulthan Aceh memerintahkan untuk menawan setiap kapal Belanda yang datang ke Aceh. Tentang peristiwa itu juga ditulis Julius Jacobs dalam “Het Familie en Kampoengleven op Groot Atjeh” terbitan Leiden, 1894.

Sumber Buku Laksamana Keumalahayati, Penulis L.H. Haroen, Penerbit SYAM tahun 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *