FATAHILLAH ( TUBAGUS PASAI ) BAPAK PENDIRI JAKARTA

Setiap tanggal 22 Juni selalu diperingati sebagai hari jadinya kota Jakarta, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, namun tidak banyak yang mengetahui mengapa tanggal 22 Juni, diawali dengan adanya peristiwa apa dibalik penetapan tanggal 22 Juni dan siapa tokoh di balik itu semua.

Penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari jadi kota Jakarta diawali dengan keberhasilan pasukan gabungan dari kesultanan Demak, kesultanan Cirebon dan Banten di bawah pimpinan Sayyid Fadhillah Khan/Falatehan/Fatahillah/Wong Agung Pasai/Tubagus Pasai dalam mengusir pasukan Purtugis dari kota pelabuhan Sunda Kelapa, peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527.

Peristiwa itulah yang kemudian di tetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta, jadi pada tahun 2012 diperingati sebagai HUT kota Jakarta yang ke 485, angka tersebut dihitung sejak peristiwa penaklukan pada tahun 1527 tersebut.

Fatahillah sebagai pimpinan pasukan gabungan ketiga Kerajaan Islam tersebut, kemudian dianggab sebagai Founding Father (Bapak Pendiri) kota Jakarta, karena dialah yang menjadi Penguasa pertama sejak peristiwa penaklukan itu dan mengubah namanya dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta ( kota Kemenangan ) kemudian berubah lafal menjadi Jakarta. Nama Fatahillah sendiri diabadikan sebagai nama salah satu museum yang ada di ibu kota Jakarta.

NASABNYA

Sejarah tidak banyak mengungkap siapa tokoh Fatahillah ini, kecuali hanya sebagai Senapati dari Kerajaan Demak Bintoro yang ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati ( Sultan Cirebon ) sebagai pemimpin tertinggi gabungan pasukan tiga kerajaan/kesultanan yakni kesultanan Demak, Cirebon dan Banten dalam penaklukan Sunda Kelapa dari tangan penjajah Portugis. Sementara itu dari mana asalnya, kapan dilahirkan, bagaimana nasabnya dan perjalanan hidupnya, hampir tidak terungkap dalam sejarah. Oleh karena itu tulisan ini diharapkan dapat mengungkap lebih dalam tentang siapa sebenarnya tokoh Fatahillah Sang Pahlawan Pendiri ibukota Jakarta ini.

Dalam disertasi yang disusun oleh Abu Bakar al-Mascati yang berjudul “Ketika Pasai menaklukkan Majapahit” dikatakan bahwa Fatahillah dilahirkan di Pasai pada tahun 1471, beliau terlahir dengan nama Maulana Fadhillah. Gelar Maulana diperoleh karena ia masih keturunan Nabi Muhammad, SAW ( dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib ). Menurut Saleh Dana Sasmita sesorang sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa beliau adalah Putra Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghofur bin Zainul Alam Barokat bin Jamaludin Husein al-Akbar yang lebih dikenal dengan nama gelarnya yakni Shekh Maulana Jumadil Kubro. Tulisan sejarawan Saleh Dana Sasmita ini bersesuaian dengan Kitab Sejarah Melalu “Sulalatus Salatin” karya Tun Sri Lanang, bersesuaian pula dengan catatan para keturunan Shekh Jumadil Kubro baik yang di Malaysia, Cirebon, Banten dan Palembang yang mana catatan-catatan tersebut juga telah diakui oleh Robitoh Fatimiyyah/Nakobah Azmatkhan, sehingga tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut di atas, maka Fatahillah termasuk keturunan Nabi Muhammad ke 23 dengan urutan sebagai berikut :

Fadhillah / Fatahillah ibn Mahdar Ibrahim Patakan ibn Abdul Ghafur ibn Barokat Zainul Alam ibn Jamaludin Husein ibn Ahmad Syah Jalaludin ibn Abdullah Azmatkhan ibn Abdul Malik Azmatkhan ibn Alwi ( Ammu Faqih ) ibn Muhammad (Shahib Marbath ) ibn Ali Qoli’u Qosam ibn Alawi Tsani ibn Muhammad ibn Alawi Awal ibn Ubaidillah/Abdullah ibn Ahmad ( Muhajir ilalloh ) ibn Isa Ar-Rummi ibn Muhammad Anakib ibn Ali ‘Uraidi ibn Ja’far Sidiq ibn Muhammad Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Ali Murtadlo / Fatimah Az-Zahro binti Muhammad SAW.

PERJALANAN HIDUPNYA

Terlahir di lingkungan kesultanan Pasai dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak dan Ayah Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur, Mufti kesultanan Pasai yang terkenal sangat alim dan menguasai ilmu-ilmu agama antara lain, ilmu alat ( nahwu, shorof dan balaghoh ), Fiqih, Usul Fiqih, Tafsir, Hadits dan juga Tasawuf, sehingga Mahdar Ibrahim juga diberi gelar Sayyid Kamil.

Mahdar Ibrahim juga dikenal sebagai penerjemah kitam “Daroil Mazlum” karya Muhammad Ishak, ulama Mekah, penerjemahan ini atas permintaan Sultan Mahmud Syah dari kesultanan Malaka.
Sebagai anak yang terlahir di lingkungan kesultanan Pasai, Fadhillah memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut, hal ini sesuai dengan kedudukan Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan dua pusat perdagangan yakni China dan India.

Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni sehingga dari kedua jenis ilmu ini ( kemiliteran dan agama ) kelak menempatkannya dalam kedudukan yang terhormat. Bekal ilmu kemiliteran menempatkan dirinya sebagai panglima tertinggi pasukan gabungan tiga kerajaan, sedangkan bekal ilmu agama mendudukkannya sebagai anggota Walisongo generasi ke IV bersama-sama dengan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Raden Fatah, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kalojogo (lihat buku Haul Sunan Ampel ke 555, tulisan KH. Muhammad Dahlan, terbitan Yayasan Makam Sunan Ampel 1979 ).

Pada usia 24 tahun tepatnya pada tahun 1495, pemuda Fadhillah meninggalkan kampung halamannya untuk merantau menambah pengalaman, dan tempat yang dipilih adalah kesultanan Malaka yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang nota bene adalah sahabat ayahnya ( Mahdar Ibrahim ) sehingga Fadhilah langsung mendapat kedudukan sebagai Tumenggung. Konon dalam perjalanan pelayarannya melalui selat malaka ia sempat membuat decak kagum Laksamana Hang Tuah ( pemimpin tertinggi Angkatan Laut ) kesultanan Malaka, karena atas laporan anak buahnya ketiga menyaksikan kepiawaian pemuda Fadhillah dalam menghalau para bajak laut selat Malaka yang waktu itu memang banyak dan kebanyakan adalah pelaut-pelaut dari China. Oleh karena itu ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai Laksamana dipercayakan kepadanya dengan gelar “Laksamana Khoja Hasan”
Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, ia mampu menjadi pengganti Laksamana Hang Tuah, meskipun namanya tidak sepopuler pendahulunya itu, namun sebagai Pangti AL ia mampu mengamankan selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan tentu saja hal demikian sangat menguntungkan kerajaan.
Fadhillah mengabdi selama 15 tahun tepatnya pada tahun 1510 ia berhenti dan kembali ke Pasai. Terdapat beberapa versi mengenai lengsernya Laksamana Khoja hasan ini.

Satu Versi lain mengatakan bahwa ia dipecat lantaran fitnahan dari orang Tamil Muslim sehingga terbunuhlah 4 orang pejabat kerajaan yaitu :
1. Tun Mutahir
2. Tun Hasan
3. Tun Ali
4. Seri Nara Diraja

Dalam peristiwa ini Laksamana Khoja Hasan dipersalahkan karena lalai sehingga ada pejabat kerajaan yang terbunuh, kemudian ia dipecat dan diperintahkan meninggalkan Malaka. Dalam versi lain dia mengundurkan diri karena merasa cukup pengalaman dalam bidang kemiliteran dan bermaksud kembali ke Pasai untuk memperdalam lagi ilmu dibidang keagamaan. Setelah Laksamana Khoja Hasan mengundurkan diri, jabatan Laksamana dijabat oleh Hang Nadim ( yang juga menantu Hang Tuah ).

Singkat cerita setelah 1 tahun mengundurkan diri yakni pada tahun 1511 Malaka diserang dan berhasil diduduki oleh Portugis, Sultan Mahmud Syah terpaksa mengungsi ke pulau Bintan. Dari pengungsiannya ini beliau meminta bantuan, karena untuk meminta bantuan ke Turki ( Pusat Islam ) terlalu jauh, maka pilihan jatuh ke Demak. Atas permintaan ini armada Demak Bintoro dengan dipimpin oleh Sultannya sendiri yakni Pati Unus pada tahun 1512/1513 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak. Konon dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur Fadhillah tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai.

Di Pasai kegagalan serangan Demak ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Menurut analisa mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa.

Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata api (meriam) dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju. Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India ( tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Shekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah ia bertemu sanak kerabatnya dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan, sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa ia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan saja yang orang Portugis melafalkannya menjadi Falatehan.

Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.
Konon kabarnya ketika di Turki Fadhilah Khan berhasil menjadi salah seorang perwira dan turut membantu Sultan Muhammad II (al-Fatih ) menaklukkan dan merebut Bisantium/Konstantinopel dari kekaisaran Romawi Timur yang kemudian dirubah namanya menjadi kota Istanbul. Berita ini begitu melegenda di kalangan masyarakat Sumatra dan Malaysia, namun menurut Pengamatan penulis ini hanyalah mitos, karena penaklukkan Konstantinopel terjadi pada tahun 1453 ( ketika itu Fadhillah belum dilahirkan karena Fadhillah lahir tahun 1471 di Pasai ) sedangkan Fadhillah Khan berangkat ke Turki dari Nasrabat, India, sekitar tahun 1513 / 1514. Pada saat itu yang berkuasa di Turki adalah Salim I ( berkuasa tahun 1512 – 1520 sebelum digantikan oleh Sulaiman I yang berkuasa tahun 1520 – 1566 ).

Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki selat Malaka karena sudah dikuasai Portugis yang pada tahun 1513 juga telah menguasai Pasai ( pada tahun 1525 wilayah Pasai berhasil direbut dari ribu Portugis oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan dijadikan wilayahnya ). Karena tidak dapat masuk ke selat Malaka maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang kemudian diteruskan ke Cirebon guna menjumpai kerabatnya/pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati ( Sunan Gunung Jati putra Syarif Abdullah ibn Ali Nurul Alam / Maulana Israil. Ali Nurul Alam atau Kakek Sunan Gunung Jati ini adalah saudara kandung dari Zainul Alam Barokat kakek buyut dari Fadhillah Khan). Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus ( Pati Unus menggantikan Raden Fatah yang meninggal pada tahun 1518 M ).
Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati pihak kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.

Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 prajurit gabungan 3 kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was, tetapi sial, perang baru berlangsung tiga hari ada peluru nyasar menghantam Kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenasah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Jawa.

Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para Wali berhitung, jika harus mengulangi serangan ke Malaka tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama, maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu kerajaan Pajajaran. Secara kebetulan pula pada ketika itu kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi kerajaan Islam.

Kehadiran Armada Portugis ini telah ditungu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya ( Nasrabat India ) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki, maka Armada Portugis berhasil diluluhlantakkan pada tanggal 22 Juni 1527 M.

Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan beroleh Gelar baru Yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Alloh, sedangkan tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari jadi ibukota Jakarta.

Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucu beliau yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya ( Pangeran Adipati Cirebon ) justru telah meninggal lebih dahulu, oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat Cirebon sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II. Mungkin karena itulah orang sering keliru dan beranggapan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama, padahal mereka jelas berbeda.

Perbedaan keduanya adalah :

SUNAN GUNUNG JATI

Terlahir dengan nama Syarif Hidayatullah, Lahir di Mesir/Champa tahun 1448, Putra Syarif Abdullah/sultan Mesir/Champa, Anggota majelis Walisongo generasi ke 3, 4 dan 5, Berusia 120 tahun, Bergelar Kanjeng Sunan Jati Purbo Panetep Panotogomo Auliya Alloh Kutubid Jaman Khalifatur Rosululloh, SAW

SUNAN GUNUNG JATI II

Terlahir dengan Maulana Fadhillah, Lahir di Pasai tahun 1471 Putra Mahdar Ibrahim ( Mufti kesultanan Pasai) Anggota Walisongo generasi 4, 5 dan 6 majelis, Berusia 99 tahun, Bergelar Laksamana Khoja Hasan/Fatahillah/Tubagus Pasai/Sunan Gunung Jati

Fatahillah menjadi Sultan Cirebon hanya selama dua tahun saja, karena pada tahun 1670, beliau sendiri dipanggil Sang Kholiq untuk menyusul pendahulunya, kekasihnya, pamannya, gurunya, mertuanya, yakni Sunan Gunung Jati.

KETURUNAN FATAHILLAH

Sepanjang hidupnya Fatahillah mengalami tiga kali pernikahan dan dari ketiga pernikahan itu memperoleh putra-putri, sebagai berikut ;

1. Dari Pernikahan Fatahillah (waktu itu masih bergelar Laksamana Khoja Hasan ) dengan Tun Sirah binti Hang Tuah melahirkan putra Maulana Abdullah, namun hingga saat ini belum jelas berada di mana keturunan Maulana Abdullah ini yang tersebar di Malaysia, Medan/Sumut dan kepulauan Riau.

2. Dari pernikahan Fatahillah dengan Ratu Winahon binti Sunan Gunung Jati melahirkan putra-putri :

– Ratu Wanawati Raras
– Pangeran Sendang Garuda

– Ratu Ayu

Ratu Wanawati Raras menikah dengan Pangeran Sendang Kemuning bin Pangeran Pasarean (Pangeran Dipati Cirebon), dari pernikahan ini lahirlah para sultan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan.
Keturunan Fatahillah dari Pangeran Sendang Garuda sampai saat ini tidak jelas datanya.
Ratu Ayu putri ketiga Fatahillah dari pernikahannya dengan Ratu Winahon binti Sunan Gunung Jati menikah dengan Tubagus Angke yang menggantikan Fatahillah sebagai Adipati Jayakarta/Jakarta.

3. Dari pernikahan Fatahillah dengan Ratu Pembayun binti Raden Fatah ( Janda Pangeran Jaya Kelana bin Sunan Gunung Jati ) melahirkan Kyai Mas Abdul Aziz/Tumenggung Nogowongso menurunkan bangsawan Palembang yang bergelar Kemas dan Kyai Bagus Abdul Rahman/Tumenggung Bodrowongso, menurunkan bangsawan Palembang yang bergelar Ki Agus.

Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=181896523842525&id=100060665361330

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *