Seudati Menghentak di Negeri Kangguru
Ditulis oleh: Fymizta Azka Syechan dan Khansa Humaira (Keduanya adalah siswi SMAN Modal Bangsa Aceh)
Di sebuah aula budaya di Brisbane, Australia, dentuman dada dan hentakan kaki menggema di antara sorakan kagum ratusan penonton. Delapan pria tampil sederhana dengan pakaian kasual. Tak ada musik, tak ada orkestra megah. Hanya tubuh mereka yang bersuara-dada dipukul, jari dijentikkan, tangan ditepuk, dan suara lantang melengking menembus udara. Malam itu, yang bergema bukan hanya irama, tapi juga warisan budaya Aceh yang telah menembus batas negeri: Seudati.
Tarian Seudati, yang berasal dari Aceh, bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah simbol perjuangan, penyampaian pesan, sekaligus bentuk ekspresi spiritual. Kata “Seudati” berasal dari bahasa Arab syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Tak heran jika tarian ini dulunya sering dipentaskan di meunasah (surau), mengiringi dakwah dan semangat keislaman masyarakat Aceh.
Namun siapa sangka, dari lantai-lantai meunasah di tanah rencong, Seudati kini bisa menemukan panggung barunya di luar negeri-berkat semangat tak kenal lelah dari para pelestarinya. Salah satu sosok penting di balik gaung Seudati di Australia adalah Mirzal, pria berdarah Peusangan, Bireuen, yang akrab disapa Syeh oleh rekan-rekannya.
Mirzal lahir pada 1975 dan tumbuh besar di Matangglumpang Dua, tepatnya di Desa Pante Gajah, sebuah kawasan di Kabupaten Bireuen. Sejak kecil, ia telah menunjukkan ketertarikan mendalam pada seni tradisional, khususnya Seudati. “Saya mulai menari Seudati saat masih SD, sekitar tahun 1986,” kenangnya. Saat itu, ia bergabung dengan Grup Seudati Muda Seudang, satu-satunya grup Seudati cilik saat itu.
Langkah kecil mereka langsung membuahkan pengalaman besar: tampil dalam acara malam pelantikan Gubernur Aceh, Prof. Ibrahim Hasan, di Banda Aceh. Mereka juga turut serta dalam berbagai event pementasan tarian tradisional seperti Festival Seudati KNPI, Festival Seudati Porseni Aceh, saat itu di mana hanya ada dua grup Seudati cilik yang tampil-mereka dari Aceh Utara (dulunya Bireuen belum menjadi Kabupaten, masih dibawah Kabupaten Aceh Utara) , dan satu lagi dari Aceh Selatan

Diatas adalah Grup Seudati Muda Seudang Peusangan setelah tampil pada acara Perpisahan SMPN 1 Matangglumpang Dua
Ketika melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Matangglumpang Dua, ia tetap aktif menari bersama rekan-rekan satu grup yang juga bersekolah di tempat yang sama. Bahkan saat kuliah di Poltekkes Aceh, jurusan Keperawatan, Mirzal tetap aktif melatih kader Seudati dan juga dalam berbagai pementasan. Dan juga meraih penghargaan dan juara festival tarian tradisional Aceh.
Baginya, Seudati bukan hanya tarian, tapi juga identitas. “Tari ini sudah menjadi bagian dari jiwa saya. Setiap hentakan kaki adalah panggilan darah,” ucapnya penuh keyakinan.
Pada 2006, Mirzal mendapat kesempatan melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia melalui beasiswa dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh lembaga yang dibentuk pascatsunami untuk membangun kembali Aceh. Di masa yang sama, ia juga terpilih mengikuti program short course di Melbourne, Australia
Awalnya, ia hanya terpesona oleh keindahan budaya asing yang ditemuinya di Brisbane. Tapi dari ketertarikan itulah muncul kesadaran: jika budaya mereka bisa dikenal dunia, mengapa budaya Aceh tidak? Keinginan untuk memperkenalkan Seudati mulai tumbuh, meski sempat diselimuti rasa ragu.
“Saya pikir, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Ini peluang emas,” ujarnya mengenang titik balik tersebut. la lalu mengajak tujuh temannya yang juga di Australia saat itu untuk mempersiapkan pementasan. Mereka berlatih penuh semangat meski harus menyesuaikan jadwal masing-masing.
Dan tibalah malam yang dinantikan itu-sebuah malam yang tak akan pernah ia lupakan. Seudati mungkin untuk pertama kali dan yang terakhir dalam sejarah hidup mereka tampilkan di hadapan publik Australia. Meski hanya mengenakan pakaian kasual tanpa busana adat lengkap, pertunjukan itu memukau seluruh penonton.
“Rasanya luar biasa. Tidak pernah saya bayangkan akan mendapat standing applause dari ratusan orang. Mereka berdiri, bersorak, dan menatap kami dengan kekaguman. Saya hampir menangis saat itu,” ujar Mirzal dengan mata berbinar.
Bagi Mirzal, memperkenalkan Seudati ke panggung internasional bukanlah pencapaian pribadi semata. Itu adalah panggilan jiwa untuk menjaga agar warisan leluhur ini tetap hidup. la sadar bahwa tarian tradisional seperti Seudati semakin terpinggirkan, terutama di kalangan anak muda.
“Zaman sekarang, anak muda lebih kenal dance K-pop atau TikTok. Tapi saya percaya, kalau kita kenalkan Seudati dengan cara yang relevan, mereka pasti tertarik,” ujarnya. la pun mulai merancang berbagai program pengenalan budaya, termasuk pelatihan Seudati untuk generasi muda Aceh, baik di dalam maupun luar negeri.
“Saya ingin anak-anak Gen Z tahu bahwa budaya Aceh itu keren. Seudati itu bukan tarian kuno, tapi identitas kita yang kuat dan punya cerita hebat di baliknya,” tambahnya.
Menampilkan budaya lokal di panggung internasional bukan tanpa tantangan. Selain perbedaan bahasa, para penari juga harus menjaga keaslian gerakan Seudati tanpa menyinggung budaya tuan rumah. Menurut Mirzal, proses ini adalah bagian penting dari diplomasi budaya.
“Kami tidak sekadar menari, tapi juga menjelaskan makna di balik setiap gerakan. Seudati itu spiritual, mengandung filosofi dan nilai perjuangan,” katanya. Inilah yang menurutnya justru membuat penonton luar negeri terkesan-karena mereka melihat kedalaman, bukan sekadar pertunjukan.
Melalui pengalamannya membawa Seudati ke Brisbane Australia, Mirzal berharap langkah kecil ini bisa menjadi awal dari gerakan besar pelestarian budaya Aceh. la ingin lebih banyak komunitas, pemerintah, dan institusi pendidikan terlibat dalam memperkenalkan dan membina seni tradisional ini.
“Saya bermimpi suatu hari nanti Seudati bisa diajarkan di sekolah-sekolah, tidak hanya di Aceh, tapi juga di luar negeri. Kita bisa buat program pertukaran budaya, pelatihan daring, festival lintas negara. Jangan biarkan Seudati mati di tanah sendiri,” ucapnya penuh harap.
la juga menekankan pentingnya peran media dan teknologi untuk mempopulerkan Seudati ke kalangan anak muda. “Bayangkan kalau Seudati bisa viral di TikTok atau YouTube. Tapi bukan hanya viral, melainkan juga dipahami, dihargai, dan dipelajari. Itu tugas kita semua.”
Tarian Seudati mungkin berasal dari masa lalu, tapi ia bukan milik masa lalu. Lewat perjuangan para pelestari seperti Mirzal, suara leluhur itu terus menggema, bahkan hingga ke negeri sejauh Australia.
Malam itu di Brisbane hanyalah awal. Hentakan kaki dari tanah Aceh kini tengah melangkah menuju masa depan, membawa pesan bahwa budaya bukan untuk disimpan di museum, tapi untuk ditampilkan, dikenang, dan diwariskan-dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mirzal telah membuktikan bahwa satu langkah kecil bisa menghasilkan gema besar. Kini, waktunya generasi muda mengambil estafet itu. Karena ketika budaya dijaga dengan cinta dan semangat, ia tak hanya hidup-tapi juga tumbuh, menginspirasi, dan menjangkau dunia.